Ada fase dimana aku bingung hendak memilih apa dan bagaimana, melihat Mama yang hanya diam sambil mengompres lukaku juga Papa yang bersikap acuh tak acuh malah membuatku merasa sangat berdosa. Memang sejak tadi mulutku rasanya kelu untuk bercerita, padahal tadi saja aku meminta Gibran melihat sesuatu yang tak seharusnya.
Namun, kenapa?
Kenapa justru saat bersama dengan Mama dan Papa sulit sekali rasanya untuk memulai cerita. Aku mengembuskan nafas kesal, bahkan Mama tak pernah menanyakan apa aku baik-baik saja atau justru tidak.
Mama hanya diam dan terus diam seolah-olah tengah memintaku menceritakan segalanya saat ini juga. Sulit menghadapi situasi ini, oh ayolah Ma paling tidak anakmu ini pulang dengan selamat.
Dan bukan kah seharusnya Mama bertanya anak Mama ini kenapa?
"Aku mau gabung taekwondo lagi Pa," ujarku lirih begitu Mama selesai mengoleskan salep di wajahku yang penuh dengan lebam-lebam ini.
Papa mendengus. "Biar makin jago berantemnya? Kalau iya nggak usah, buang-buang uang aja."
Terkejut?Jelas.
Selama ini semarah apapun Papa tak akan pernah membahas seberapa banyak uang yang ia habiskan untuk merawatku sampai sebesar ini. Ya memang ini kali pertama aku begini, tapi bukan kah mereka harus bertanya dulu apa alasannya sebelum memutuskan?
"Ma? Mama percaya kalau aku nggak berantem tanpa alasan kan?" tanyaku yang kali ini menatap Mama.
Namun Mama justru memalingkan muka. "Entah Jie, Mama nggak tahu karena nggak ada penjelasan sama sekali kayak gini."
Aku terdiam, Jie? Bahkan Gibran saja masih sering memanggilku Suu loh Ma.
"Aku nolongin gadis yang hampir dilecehkan, apa itu salah?"
Wajah tenang Mama juga tawa meledak Papa jelas membuatku heran. "Gibran udah bilang?"
Barulah saat mereka berdua mengangguk semangat aku menggeleng frustasi, Gibran itu apa sih? Dia terlalu sering memanjakanku begini loh. Sejak dulu dia begini, dan bagaimana mungkin aku tadi lupa akan kebiasaannya?
Ah ini menyebalkan sekali karena kukira Mama dan Papa akan berlanjut marah hingga sampai batas waktu yang belum ditentukan kepastiannya. Aku duduk diam sambil tersenyum tipis, "Mama nggak mau nonjok muka aku sebagai bonus?"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kananku, setelahnya yang ku lihat hanya wajah Mama yang tampak cengengesan. Bukannya marah aku justru bahagia, entah lah saat aku merasa bersalah aku justru lebih senang dibentak atau yang lainnya ketimbang harus di diamkan selama beberapa hari.
Bagiku begini jauh lebih baik, karena itulah aku langsung memeluk Mama. Dia memang wanita paling baik di dunia, meski niat utama melindunginya telah di ambil posisinya oleh Papa namun aku bahagia bisa menjadi anak Mama.
"Jangan nangis ya, Mbul," ujar Mama sambil mengusap rambutku perlahan-lahan.
Aku terbahak-bahak. "Apa sih Ma, mana mungkin aku kayak gitu paling-paling juga kan mogok makan."
"Ih Mbul itu jauh lebih parah dong, biasanya kamu nangis sambil nyemil tapi kalau kamu mogok makan Mama loh yang kelimpungan. Jadi nanti kamu jangan mogok makan ya sejauh ini kan kamu belum pernah mogok makan kecuali puasa, kalau puasa kan pasti siangnya kami mogok makan."
Aku melepaskan pelukan Mama ketika mendengar tawa meledak dari Papa, astaga Mama tuh memang yang paling tau cara mencairkan suasana ya. Dan juga, apa yang Mama ucapkan benar kok.
Enam belas tahun menjadi anak Mama aku belum pernah mogok makan karena Papa akan mengomeliku habis-habisan. Padahal dulu Mama pernah bercerita bahwa selagi aku masih kecil dulu Papa bahkan tak akan mau ganti baju kerjanya sebelum menggendong ku.
Ah si Papa tuh ya, tsundere sih wekaweka. Dan entah keyakinan dari mana aku yakin sekali kalau kelak aku juga akan bersikap seperti Papa.
"Udah deh kalian tuh malah ketawa semua, mas ayok makan! Jangan ketawa ya mau Mama usir!?"
"Ya Gusti dek galak banget sih sama anak sendiri."
"Bodo amat! Pokoknya kalau kalian ketawa terus aku usir kalian!"
Aku dan Papa hanya bisa saling tatap lantas geleng-geleng kepala melihat Mama yang pergi begitu saja. Ini jarang terjadi namun bukan berarti tak pernah terjadi ya, karena itu lah aku dan Papa sudah cukup bisa mengatasinya.
Untung Mamaku yang begitu kalau orang lain mungkin aku akan balik marah lagi ahahaha.
***
"Jadi, gadis yang disukainya duduk di samping kamu ya? Terus ... cewek tadi, ah lupakan!"
Kini aku tengah membaringkan kepala di atas pangkuan Mama. Entah, namun meskipun usiaku terus bertambah bercerita sambil menaruh kepala di pangkuan Mama tetap terasa nyaman.
Hingga kadang aku ingin tidur dengan posisi seperti ini. Namun sayangnya Papa tak akan mengijinkan ku melakukannya, karena sudah semenjak masuk sekolah dasar tidurku jadi terpisah dengan mereka.
"Iya Ma, Gibran suka sama cewek yang duduk sama aku. Buat masalah baku hantam ini, kita janji nggak akan bahas lagi," jawabku.
Terdengar suara kekehan geli dari Mama dan aku masih senantiasa memejamkan mata. "Dia cantik ya? Tapi sayangnya Gibran udah ada rasa sama dia, Mama cuma bisa berharap kamu bisa pilih jalan yang benar ya nak."
Aku mengangguk paham. "Aku tau kok Ma dan aku yakin kalau pilihan aku nggak salah, Mama nggak marah lagi kan?"
Kini aku membuka mata lantas mendongak menatap wanita cantik yang telah susah payah melahirkan kulit ke dunia lantas merawatku hingga aku bisa sebesar ini.
"Mama nggak pernah marah kan Mbul? Kamu tau banget Mama itu kayak gimana, selagi Mama yakin kamu dan Papa nggak salah dan penjelasan kalian masuk nalar juga logika, maka, Mama nggak akan marah."
Senyum hangat yang Mama tunjukkan membuatku pun juga ikut tersenyum lebar. Ya begitulah Mama, selalu saja bisa memaafkan dengan begitu mudah.
Kadang kala aku juga ingin bertanya apa yang di lakukan Papa di masa lalu sampai-sampai Mama terbiasa memaafkan hanya dengan sebuah penjelasan.
Apa yang Papa lakukan?
"Mama bahagia?" tanyaku ragu-ragu.
Wanita cantik itu menyentil keningku, mungkin saja jika ibu lain akan melakukannya sedikit pelan namun Mama bukan tipe orang yang seperti itu. Bahkan kalau ada kaca aku akan melihat pantulan diriku disana dan aku sangat yakin bahwa keningku sedikit memerah wejangan.
Mama tampak menatapku tajam dia bahkan mungkin akan meninju rahangku atau lebih parahnya membanting tubuhku ke lantai. Tapi, "Mama kalau nggak bahagia sudah ninggalin Papa kamu sejak lama Mbul. Kakek nenekmu mana mungkin biarin Mama hidup sama laki-laki yang nggak bisa buat Mama bahagia? Kamu nanya aneh-aneh lagi Mama ceburin ke kali ya."
Aku terbahak-bahak. "Nggak diceburin ke Bengawan Solo aja Ma?"
"Idih Bengawan Solo terlalu berkelas buat kamu yang biasa-biasa aja."
Melihat gaya bicaranya Mama aku benar-benar terbahak-bahak. Ah tahun berapa sih sekarang kenapa Mama bisa jadi Mama gaul begini sih?
Namun sebanyak apapun kami berdebat ujung-ujungnya kami akan terbahak-bahak tak jelas. Ahahaha lucu sekali tapi aku menyukainya kok Ma.
Karena aku bangga bisa lahir dari rahim Mama.
-BERSAMBUNG-