"Oke boleh keluar," ucap kakak OSIS.
Ah malas rasanya memanggilnya kakak begitu.
Ini sudah hari ketiga dan sejak pagi aku belum melihat Febiranza keluar dari kelasnya. Apa dia sibuk?
Tak mungkin kan dia sesibuk itu sampai tak punya waktu untuk keluar kelas. Ya meskipun rata-rata anak cewek di kelasnya juga jarang keluar sih namun paling tidak kan seharusnya Febiranza pergi ke kamar mandi atau gimana gitu.
Lah ini?
Leherku sampai sakit rasanya kalau harus terus menoleh untuk memastikan dia keluar dari kelasnya atau tidak. Mana Gibran masih mode tsundere lagi.
Maksudku dia ingin berkenalan dengan gadis yang kemarin kutolong itu tapi dengan pintarnya dia hanya mengandalkan diriku. Bukan tak mau membantu teman, tapi kebanyakan hal ini lebih cenderung berisiko gagal bukan?
Jika aku yang bergerak bukannya malah dekat dengan Gibran bisa saja gadis ini malah menaruh hati padaku. Aku masih begitu normal jadi aku tak akan melakukan kesalahan-kesalahan yang sama sampai berkali-kali.
Akan lebih baik jika menolak di awal daripada di salahkan belakangan. Maaf Bran, namun aku benar-benar tak ingin hubungan persahabatan ini hancur berantakan hanya karena seorang gadis saja.
Ah bukan. Kami bukan lagi sahabat namun sudah saudara mengingat kalau Kak Regia dan Gibran belum juga kembali ke rumah mereka masing-masing.
Mataku mulai berair lantaran mengantuk, apalagi duduk di bangku yang ada di bawah pohon begini membuatku merasa nyaman. Bahkan bangku tua yang keras ini pun terasa seperti kasur empuk, haha memang kalau sudah mengantuk begini aku jadi sering meracau tak jelas.
"Boleh aku duduk di samping kamu?"
Pertanyaan dan suara itu ... kedua mataku yang tadi terpejam kini langsung terbuka lebar dan menemukan wajah cantik bak putri bangsawan, siapa lagi pemilik wajahnya jika bukan Febiranza. Tanpa menunggu lagi aku memilih untuk segera duduk, duh kenapa pula tadi aku memposisikan tubuh untuk tidur?
Kan kalau aku memberi ruang untuknya tadi dia tak perlu susah-susah bertanya begini. Ah kenapa semakin kesini aku semakin tak peka begini ya?
Mungkin saja ini karena aku lebih sering bergaul dengan Kak Regia dibandingkan dengan Gibran.
"Baru keluar?" tanyaku memulai obrolan.
Karena dari tingkah Mama, Bunda juga kak Regia aku tau kalau wanita paling benci jika harus mencari topik pembicaraan. Jadi, selagi masih ada kesempatan baik maka biarkan aku saja yang pusing memikirkannya.
Jangan sampai karena hal sepele begini Febiranza jadi pergi meninggalkanku yang sudah menunggunya sejak pagi tadi. Aku akan mencoba untuk dekat dengannya.
Meski tujuan ke sekolah untuk mendapatkan pelajaran bukan malah pacaran tapi ya paling tidak kami bisa menjadi teman bukan?
'Asalkan Aku masih tetap tahu tujuan utama kurasa segalanya masih akan baik-baik saja,' gumamku menyangkal perasaan lucu ini.
Dan jika dipikir-pikir menjadi teman menurutku jauh lebih baik daripada menjadi sepasang kekasih. Meski kemungkinan besar kamu harus siap merelakannya, ya begitulah akhirnya.
Walau belum pernah mencobanya aku yakin aku pasti bisa melakukannya, tenang saja karena aku tak akan melupakan segala pesan-pesan Mama. Sejauh ini aku sudah mendapatkan jabatan sebagai anak Mama.
Jadi, aku harus bisa menjadi teman baik Febiranza. Sungguh tingkah laku juga wajahnya yang ayu membuat mataku tak bisa terpaling walau hanya beberapa waktu.
"Duduk aja nggak perlu tanya toh ini tempat umum," ujarku.
Dan setelahnya aku merutuk diri karena kebodohan yang semakin menjadi ini. Bagaimana bisa aku mengatakan hal itu? Bisa saja dia merasa tak nyaman bukan!?
Argh padahal kan aku sudah menunggunya selama seharian!
Eh?
Loh?
Dia duduk dan tak pergi? Demi apa, sambil mengucapkan kata terimakasih disertai dengan senyum menawan yang dia berikan.
"Um nama kamu Jisuu kan ya?" tanyanya ragu.
Eh?
Bukankah dia kemarin-kemarinnya hanya mengucapkan namanya lantas pergi begitu saja ya? Tapi kok dia mengetahui namaku?
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, mungkin aku pernah menyebutkan nama tanpa sengaja dan sekarang aku lupa. Haha mana mungkin dia mencari tau namaku sendiri kan? Itu konyol, mana ada hal seperti itu?
"Aku tanya temen kamu, dia bilang nama kami Lee Jie-soe. Dia bahkan juga jelasin kalau kami anak tunggal dan panggilan kamu, aku juga dikasih tau."
"Maaf nggak begitu tahu pelafalannya, jadi ... Jisuu begitu kan ya?"
Dia mengucapkan semua kata itu tanpa menatap ke arahku. Pandangannya tampak lurus ke depan seolah-olah tengah memikirkan sesuatu.
Namun maaf, fokusku kini bukan itu melainkan fakta bahwa dia ternyata benar-benar mencari tahu tentang diriku. Tapi, kenapa harus bertanya pada Gibran!
Yak! Sialan.
Kalau begini aku yakin nanti Gibran akan membutuhkan imbalan yaitu dengan informasi mengenai gadis yang duduk di sampingku itu. Dia pasti akan memaksa karena umpan yang dia berikan memang tepat mengenai sasaran.
Jadi aku juga gak memiliki kuasa untuk menolak keinginannya itu, ya mungkin memang aku harus sedikit membantunya. Semoga saja nanti di akhir kisahnya dia tak menyalahkanku karena kecerobohannya saat ini.
Meski aku juga ceroboh dan bodoh namun kunci utamanya kan tetap masih dia.
"Ah dia emang berlebihan kadang. Informan yang buruk. Terserah mau manggil gimana, yang penting nyaman aja," ujarku lantas terkekeh sambil menatapnya.
Dia menoleh. Juga menatapku sambil tersenyum manis, sudah pernah ku katakan bukan kalau dia memang gadis cantik bak bidadari juga bak boneka Barbie yang mampu memporak-porandakan isi hati.
"Makasih," ujarnya begitu lirih m
Setelah kulihat, warna iris matanya coklat terang. Juga, dia tak seperti gadis lain yang rambutnya berwarna hitam.
"Kamu blasteran?" tanyaku.
Bodoh!
Wah bahkan di obrolan pertama begini saja aku sudah meninggalkan kesan buruk padanya. Haduh betapa bodohnya diriku ini ha?
Ouh bahkan Jeno yang paling piyik di antara kami pun juga tak sebodoh ini loh. Sudah tak tau sopan santun meninggalkan kesan pertama yang buruk pula, aish kalau Mama tau dia pasti akan mengomeliku habis-habisan.
Terlebih lawan bicaraku itu wanita, yang harus di jaga kehormatannya.
"Bukan, aku bukan blasteran. Aku ... calon Mama dari anak-anakmu deh kayaknya."
Matanya menyipit saat dia tertawa. Bahunya bergetar pelan membuatku merasa lega, oh jadi dia tipe wanita yang humoris dan mudah akrab ya
Bagus lah karena aku kan jarang bergaul dengan lawan jenis jadi tak paham apa-apa. Jika begini tentunya kami akan saling melengkapi bukan?
"Kenapa kamu ngomong gitu?" tanyaku dengan nada yang kubuat dingin dan sengaja aku menatap matanya dengan tatapan tajam.
Dia tampak kikuk, "memangnya kenapa?" tanyanya ragu-ragu.
"Karena seharusnya aku ngomong duluan," kataku kemudian.
Raut wajah ketakutan tadi kini berubah dalam sekejap menjadi memerah, entah dia malu atau marah.
Saat dia memukuli lenganku aku tau kalau wajahnya memerah karena dia malu. Kami lantas sama-sama terbahak-bahak bahkan matanya sampai berair karena mengikuti gelak tawaku.
Oh betapa lucunya gadisku itu.
Ekhem, apa aku boleh mengatakan jika dia gadisku ya?
Ah mungkin saja boleh. Karena, waktu akan mengatur prosesnya nanti.
-BERSAMBUNG-