"Sini elah duduk diem bentar doang," titah Kak Regia yang tak akan bisa kubantah.
Apalagi Mama tadi sudah mengatakan kalau kami harus makan di luar. Dan dalam hal ini aku menggantungkan hidupku pada gadis cerewet itu.
Ya beginilah kalau jarang makan di luar sendirian. Um kalau di kantin sih sering sendiri, tapi untuk mencari makan sendiri aku jarang melakukannya.
Tunggu, bukankah di rumah ada budhe lantas kenapa Mama membodohiku!?
"Kak gue pulang aja ya, serah kalau kakak mau makan dimana aja. Ck gue lupa kalau ada budhe di rumah," kataku sambil bangkit dari kursi yang tadi ku duduki.
"Loh lo nggak tau, Suu?" tanya Gibran tiba-tiba.
"Tau apa?" tanyaku balik.
"Budhe pulang dan cuti dua hari ke depan jadi di rumah lo nggak ada orang sekarang. Sana pulang, kalau nanti lo kelaparan ya bodo amat sih," jawab Kak Regia sambil mengangkat bahunya tak minat.
Astagfirullah ingin rasanya aku marah-marah namun aku hanya tersenyum tipis dan duduk kembali, "Nggak deh kayaknya gue berubah pikiran. Nanti tolong kasih gue makan karena udah jadi budak kalian, mohon bantuannya."
Ya. Sudah dapat ditebak bahwa Gibran akan tertawa terbahak-bahak begitu, ah malu-maluin saja sih diriku ini. Kenapa kalau cari informasi selalu setengah-setengah begini hm?
Aku hanya diam sambil mendengar dua orang itu mengoceh tentang masalah akan menginap atau justru pulang ke rumah. Ya sebenarnya mereka tak perlu pulang toh Paman Dewa pun juga tak peduli sih, dan juga kan buat apa mereka pulang jika ujung-ujungnya mereka balik ke rumahku lagi.
Lalu apakah ada niatan untuk mendebat dan menghentikan ocehan mereka?
Tentu saja tidak bung, apa kalian pikir aku manusia bodoh yang akan ikut campur urusan orang lain? Hadeh maaf-maaf saja tapi aku benar-benar tak akan melakukannya.
Mending aku duduk diam, walau ini rasanya sedikit gerah. Mana sekarang sekolah sudah lumayan sepi tapi aku yakin para anak Paman Dewa ini tak akan pernah beranjak pergi dari sini.
"Mama pasti nanti marah-marah Bran, mana mau kakak dengerin Mama ngoceh lagi. Aduh kakak tuh butuh ketenangan," ujar Kak Regia.
Ya, aku akan menganggapnya sebagai angin lalu saja.
"Heleh bilang aja kakak masih dapet stok uang jajan dari Om Jiwoon makanya nggak mau pulang," sinis Gibran menyebut nama papaku.
Nah, untuk ucapan Gibran barusan aku setuju. Bapak Lee Jiwoon yang terhormat itu memang terlalu loyal ya, anak orang aja tiap hari dikasih makan, minum dan juga uang jajan.
Jadi, pasti anak sendiri lebih diperhatikan bukan?
Aku yakin kalau kalian memikirkan hal itu, tapi sayang. Omong kosong macam apa itu? Kan, aku sudah mengatakannya bahwa Papa itu orangnya sok sibuk.
Eh maaf Pa, anakmu yang tampan ini hanya sekadar berbicara mengenai fakta yang ada loh ya. Jadi dimohon untuk anda jangan marah-marah hehe.
"Dih, tau aja sih. Tapi bayangin aja deh kalau kita pulang pasti Mama marah-marah terus, um gimana kalau kita minta Ayah Jiwoon buat angkat kita jadi anaknya?"
Woy setan! Tidak tahu diri itu juga ada batasnya kali! Nah, sederet kalimat itu hendak kulontarkan tapi aku tak melakukannya. Bisa perang dunia kalau aku mengumpat di hadapan Kak Regia.
Karena, wanita licik itu adalah informan sekaligus mata-mata yang Mama kirimkan untuk mengawasi ku.
"Suu Suu, menurut lo gimana?"
Mampus.
Kenapa juga hal yang hendak ku hindari malah datang sendiri. Haha ini nggak lucu loh, tolong di skip aja.
"Gue mau ke kamar mandi bent—"
"Jangan!"
"Nggak boleh!"
Buset. Bahkan kini mereka juga kompakan untuk membuatku tetap bertahan disini. Tapi, masalahnya aku sekarang sedang tak ingin melibatkan diri dalam masa-masa sulit.
Teruntuk kalian bersaudara mohon jangan melibatkan saya.
Dengan malas aku kembali duduk di antara mereka berdua yang tengah menatap tajam ke arahku. Ah jadi aku harus memberikan saran yang bagaimana sekarang?
Yang pro?
Atau yang kontra?
Um, sepertinya keduanya itu pilihan yang buruk. Karena, detik ini otakku tak mau merespon.
Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang tolong datangkan bidadari surga yang akan menyelamatkan hambamu ini dari setan-setan sialan. Iya kan? Mereka berdua yang ada di hadapannya ini sejenis setan bukan?
"Permisi."
Alunan suara indah itu jelas langsung membuat kami bertiga menoleh, ada Kak Regia yang menatap tak suka, ada Gibran yang mendengus pelan. Sedang aku, senyuman langsung ku tampakkan.
Aku tak tau kalau rupanya Allah SWT. mengirimkan bidadari surga secantik ini dalam waktu yang sangat singkat. Tanpa mendengarkan ocehan dua orang ini aku langsung berdiri, ya kalau begini kan aku jadi punya alasan untuk pergi haha.
"Maaf ya kak, gue ada urusan," ujarku yang kini mengaitkan tangan dengan Febi lantas berlalu pergi.
"Di taman aja," ucap Febi tadi saat kami berlari.
Dan kini aku bisa mengembuskan napas lega sambilan menikmati semilir angin sore di taman ini. Meski tadi dia gazebo tempat Kak Regia dan Gibran duduk ada semilir angin namun pembahasan yang mereka bawakan menyesakkan jiwa raga, jadi, wajar saja jika aku tak nyaman.
"Tangan," ucap Febi.
Oh haha kalau dia tak mengatakannya mungkin aku lupa kalau tangan kami masih saling bertautan.
"Jisuu?"
"Hm?"
"Mereka berdua itu siapa?"
Aku menoleh, menatapnya seakan-akan bertanya seberapa jauh dia mendengarkan obrolan kami tadi.
Nyalinya tampak menciut dan sesuai dengan pemikiranku tadi. Dia sambil cengengesan berkata, "maaf tapi tadi aku nggak sengaja denger mereka manggil orang tua kamu pakai sebutan ayah, bunda, mommy bahkan kadang juga Daddy. Jadi ya, gitu, aku kepo hehe. Eh tapi kalau kamu nggak mau kasih tau aku ...."
"Mereka anak-anak dari temennya Papa. Dari kecil udah gitu, wajar sih karena dulu Papaku dan Papa mereka temenan lebih dari 20 tahun."
Tadi sempat ingin diam saja, tapi dia penyelamatku jadi tak apa lah kalau hanya sedikit berbagi cerita. Toh ini hanya cerita biasa bukan aib keluarga.
"Aku kira cewek tadi pacar kamu," ucap Febi.
Entah lah, tapi telingaku merespon kalau dari ucapan itu dia seperti merasa sangat lega. Dia kenapa ya?
"Kenapa kamu mikir kalau dia pacarku?"
"Ya nggak mungkin sih kalau cewek manggil Mama cowok lain dengan sebutan mommy kalau nggak ada hubungan apa-apa," jelas Febi menjawab pertanyaanku tadi.
Oh. Benar juga sih yang dia katakan.
"Kalau kamu mau boleh kok manggil Mamaku dengan sebutan mommy," godaku.
Namun, responnya, "seriusan?"
Dia menanyakan itu dengan mata berbinar-binar membuatku gelagapan. Sayangnya Mama tak suka jika orang yang tak dikenalnya bersikap sok akrab.
Jadi, "wekaweka gue bercanda kali serius amat neng."
"Oh cuma bercanda, gue baperan banget soalnya."
Dan aku menyesal karena telah mengatakannya, karena, sorot matanya tampak begitu kecewa. Lagi-lagi aku membuatnya kecewa padahal ini masih hari-hari awal kami mengenal. Lantas bagaimana hari-hari berikutnya?
-BERSAMBUNG-