Chereads / Hello My Girl! / Chapter 14 - Tentu Saja Ya

Chapter 14 - Tentu Saja Ya

"Mana boleh kayak gitu Pa!?" teriakku begitu Papa selesai berbicara.

Emang sih tadi aku ada niatan untuk pergi ke rumah Paman Dewa dengan alasan menginap. Tapi bagaimana bisa itu di anggap menginap namun sejatinya Gibran dan Kak Regia saja masih ada disini.

Itu mah nanti namanya bukan nginap lagi Papa, tapi nanti namanya numpang tidur!Huft tenangkan jiwa dan pikiran karena biar bagaimanapun ide untuk menginap juga tak buruk kok.

"Bisa, nanti baju-baju Gibran pakai semua aja kayak biasanya. Terus nanti kamu bilang aja ke Daddy kamu itu buat beliin apapun yang terlintas di otak polos ini," ujar Papa sambil menyentil kening ku.

Entahlah namun melihat kelakuan Papa aku terbahak-bahak, ah kalau begini ini emang benar-benar ide yang bagus sih. Boleh minta apapun yang terlintas dalam otakku ya?

Uwah aku benar-benar tergiur sekarang sampai-sampai aku ingin segera pergi. Tapi, "Papa nggak ngomong gini karena pengen buang aku kan?"

Yew bukan tanpa sebab ya aku menanyakan kalimat itu pada Papa, namun mana ada Papa dari anak lain yang akan bersikap seperti Papaku ini?

Dan juga, dulu sekali sih aku pernah melakukannya dengan tujuan membujuk Paman Dewa agar dia mau membawa anak-anaknya kembali. Sayangnya dulu tak sampai menginap loh, dan kali ini jelas beda.

"Buang anak gundulmu! Nggak gitu ya Mbul, Papa tuh kasian sama Daddy kamu. Kamu lihat kan dia terus-menerus nyoba deketin saudara kamu itu tapi mereka berdua nggak mau dan malah bersikap seolah-olah orang tua mereka nggak peduli."

"Tapi kan Daddy Dewa sama Mommy Annisa emang nggak peduli sama Gibran dan Kak Gia tuh Pa," bantahku.

"Heh! Dasar kamu tuh Mbul, gini nak coba kamu lihat kenapa Gibran dan Gia bisa anteng-anteng saja di sini. Kamu tau itu alasannya kenapa?"

Aku menatap Papa lantas mengangguk, "itu karena mereka punya banyak uang untuk bertahan hidup walau sekarang nggak ada di rumah."

Papa tertawa kencang, sepertinya jawabanku benar. Namun jika aku pergi sekarang bisa repot urusannya karena besok kan harus sekolah. Mempersiapkan ulang semuanya tak semudah itu untukku.

"Ini seriusan nggak sih, Pa?" tanyaku lagi mencoba memastikan.

Dalam hati aku hanya bisa berharap kalau yang Papa ucapkan tadi hanya prank saja dan setelah ini aku boleh kembali ke kamar. Namun gelengan kepala Papa benar-benar menghancurkan segala ekspektasi yang telah ku susun dalam benak ini.

"Besok kamu pulang sekolah nggak perlu ikut mobilnya jemputan si Mamang, pesen taksi aja terus langsung berangkat ke rumah Daddy kamu. Nggak perlu mikir buku paket belum dikasih juga kan?"

"Tapi Pa—"

"Udah malem Mbul mending sekarang kamu tidur yang nyenyak anggap sebagai salam perpisahan sementara sama kasur posesif kamu itu. Oh ya Mama di mana?"

"Gazebo," jawabku tak minat.

"Papa pergi jangan lupa tidur ya habis ini," ujar Papa sambil mengusap-usap kepalaku lantas berlalu pergi.

Ah jadi ini seriusan begitu ya?

Hiks susah sekali rasanya berpisah dengan kasur posesif itu. Tapi apa boleh buat, ini jalan terbaik ketimbang aku harus tinggal dengan saudara palsu itu sampai waktu yang entah kapan akan berakhir.

Oke, ini hanya hal mudah toh Mommy Annisa begitu menyayangi anak penurut sepertiku ini kan wekaweka. Jadi untuk sekarang yang perlu ku lakukan adalah tidur dan berharap besok akan ada hal baik yang terjadi.

Selamat malam dunia.

***

Aku menatap kesal Kak Regia juga Gibran yang cengengesan. Di depan mereka kini ada semangkuk bakso hasil merampok uangku.

Namun tentu saja bukan itu yang membuatku marah melainkan fakta kalau ternyata mereka yang mengusulkan agar Papa mengirimiku ke rumah Daddy Dewa. Duh begini lah rasanya punya saudara yang super laknat dan suka ngajak baku hantam.

Mana dengan tak tau malunya mereka mengambil uang jajan milikku lagi, sabar Jie-soe sabar, maklum saja mereka bukan manusia tapi setengah setan hiks.

"Mau kemana, Suu?" tanya Gibran ketika aku beranjak dari kursi yang ku duduki.

"Kelas, kasian Jeno sendirian."

Tentu saja aku mengatakan kalimat itu dengan nada ketus. Ya bodo amat lah kalau kesannya kelakuanku ini kayak cewek ngambek atau kayak bocah TK yang permennya diambil temen.

"Dih beneran ngambek ni anak, gitu aja ngambek sih. Dasar Aaa Suu Suu," ujar Kak Regia.

Namun karena dia mengucapkannya sembari menahan tawa maka anggap saja kalau yang tadi itu hanya lebah yang sedang berdengung di telingaku. Setan memang mereka, sudah kerjaan bisikin sesuatu yang nggak berguna suka ngambil uang jajan pula, waw kita sepertinya memang bukan saudara.

"Serah. Tadi udah ngambil uang kan, nggak kurang?" tanyaku.

Ah lagi-lagi aku begini, meski memaksa untuk bersikap tak peduli yang namanya saudara ya tak bisa di pisahkan begitu saja. Dan juga Mama sudah berpesan untuk bersikap baik pada mereka, meski tak suka jika Mama lebih baik pada mereka daripada kepadaku namun aku akan tersenyum tipis saja.

"Udah sih, seriusan nih, Suu? Ayok deh makan lagi masak kamu cuma makan dikit sih. Nanti kalau kamu nggak gembul lagi pipi siapa yang aku cubitin?" tanya Kak Regia sambil menangkup pipinya dan mengedipkan matanya.

Uwah cantiknya, sampai pengen muntah karena aku merasa mual melihatnya.

"Nggak kak makasihhh," ujarku.

"Yew dasar bocah ngambekan," timpal teman Kak Regia.

Namanya? Ya mana aku tau, ngapain juga aku ingat-ingat nama teman-temannya. Kalian kira aku kuker begitu ya? Uh maaf-maaf saja aku tak pernah kurang kerjaan hingga mau menghapalkan nama teman-teman Kak Rania.

Lah wong teman sekelasku saja tak ada yang ku ketahuilah namanya, eits terkecuali Jeno dan juga Gibran. Untuk dua kunyuk ini aku aku sama sekali tak perlu susah-susah mengamalkannya karena sedari kecil aku sudah hapal nama mereka.

"Gue ikutan deh Suu, males sama mbak-mbak ini."

"Heh! Mbak-mbak tuh siapa ya!?" sahut Kak Regia ngegas dengan ucapan Gibran barusan.

Aku malas tolong, jadi ketimbang telingaku harus pecah mendengarkan ocehan mereka maka lebih baik sekarang aku segera berjalan menuju ke kelas saja. Ini masih ada banyak waktu sebelum bel masuk tiba, kebetulan kantin yang tadi kami pakai adalah kantin area kelas dua belas yang otomatis jaraknya jauh dari kelasku.

Aku berhenti berjalan saat mendengar suara seseorang menangis, tunggu bukankah katanya gudang sekolah tak. pernah dipakai lagi semenjak ada rumor siswi meninggal disini ya?

Eh aku juga belum yakin sih untuk rumornya karena Gibran lah yang lebih tahu detailnya, yang jelas kali ini suara tangisannya pun semakin terdengar di telingaku. Ah shit! Harusnya tadi aku tak sok-sokan memilih jalan ini.

Mana sekarang rasa kepoku berlebihan, lagian tak mungkin kan ada setan siang bolong begini?

Ha-ha-ha tak mungkin kan?

Ah kok aku mendadak merinding sih, oke rasa kepo ini tak mungkin bisa ku tahan jadi pelan-pelan aku harus melangkahkan kakiku menuju ke gudang sekolah itu.

Brak!

Entah itu bunyi apa, yang jelas itu suara dari dalam gudang ini. Aku menatap tak minat handle pintu yang usang ini, perlahan ku gerakkan benda kecil itu hingga terbuka.

Dan, pupil mataku membesar melihat sesuatu yang mengerikan di dalam sana. Sialan!

-BERSAMBUNG-