Dua jam. Selama itu juga aku menunggu Kak Regia dan juga Gibran yang masih makan.
Astaga, mereka berdua ini niat banget sih nggak mau pulang. Walau Mama dan Papa memang tak ada di rumah namun bukan berarti aku bisa pulang terlambat.
Tapi, kalau aku pulang sekarang dengan sopir maka nanti apa kabar dua orang ini. Uh astaga mendengar nanti Mama akan marah padaku karena meninggalkan anak kesayangannya membuatku terpaksa berpikir ulang.
'Kalau nggak dituruti yang ada mereka bakal ngadu lagi. Haruskah aku melenyapkan mereka saja biar aman?' kekehku sambil merencanakan sesuatu yang licik saat ini.
Tapi semuanya jelas tak jadi. Kini aku menatap piring ketiga Kak Regia namun dilihat dari raut wajahnya dia mau nambah lagi dong hahahaha. Astagfirullah, hebat sekali ya karena ternyata Papa lah yang membayar semua makanan kami.
Ah harusnya sih kalau mereka mau menghabiskan banyak makanan kan bisa di restoran Bibi Annisa alias restoran Mama mereka sendiri, jika begitu kan tak usah bayar. Daripada sekarang? Sudah bayar dan aku diminta menunggu lagi.
Mungkin kapan-kapan biar aku saja yang menginap di rumah Mami Annisa. Ya itung-itung aja biar Paman Dewa ganti uang Papa yang saat ini dipakai untuk kedua anaknya.
Ups, aku tuh bukan mau perhitungan ya tapi memang begitulah cara kerja dunia saat ini. Biarkan saja sih saat ini aku menunggu nanti lain kali akan ku putar balik keadaannya.
"Pulang kapan, Kak?" tanyaku.
"Nggak usah pulang, kita main aja sampai besok pagi. Eh besok tanggal merah kan ya?"
Gibran mengangguk.
"Baru awal-awal sekolah udah libur lagi?" tanyaku heran namun mereka berdua mengangguk semangat jadi aku hanya bisa diam saja.
Dan diam-diam tentu aku memastikan apa yang mereka katakan itu benar atau justru tidak. Namun, bahkan di google pun juga menunjukkan hak yang sama di mana besok adalah tanggal merah.
Tepatnya hari lahirnya istilah Pancasila, ah padahal kan besok sudah mulai kegiatan belajar mengajar secara aktif. Namun kok bisa bertepatan dengan hari libur sih?
Huft, pantas saja mereka santai-santai begini. Kalau besok benar-benar hari libur nasional maka meski setelah makan nantinya aku yakin kalau dua orang ini akan pergi ke tempat lain.
Jadi untuk menghindari perisitwa itu akan lebih baik jika aku membuat mereka berdua tak beranjak dari tempat duduknya hingga tengah malam tiba. Masa bodoh jika Mama marah, nanti ya tinggal aku bilang Kak Rania biang keroknya.
Aku memiringkan ponsel bersiap memainkan game online. Namun, sesaat aku ingat kalau tadi aku dan Febi bertukar kontak.
Ah kan seharusnya laki-laki yang mencari lebih dulu tapi rasa gengsi ini sudah telanjur menguasai. Maka, aku akan menunggu sampai hari esok tiba.
Kalau tak ada notifikasi juga maka aku akan bertindak nantinya.
Tawa cekikikan Kak Regia dan Gibran tak membuatku mengalihkan pandangan dari ponsel. Habisnya nanggung banget kalau sudah log in dan harus meladeni mereka.
"Tapi seriusan deh Bran tu anak tetangga kita ngakak banget woy," ujar Kak Regia yang entah mereka membahas topik apa.
Kebetulan aku mendengarkan, ini bukan menguping ya karena sejak tadi aku duduk di hadapan mereka.
"Iya sih, mana dulu pas waktu kecil dia juga yang sering nyemplung di selokan. Sumpah waktu itu gue pengen ngakak doang eh lo malah nolongin kak, cinlok mampus ya ntar," kelakar Gibran.
"Heh! Apaan!? Gue mana pernah nolongin dia Bambang!" bantah kak Regia.
"Heleh Papi punya videonya kok, kalau mau kita pulang aja nanti biar aku minta Papi ngasih flashdisk punyanya," usil Gibran, dari lahir begitu sih.
"Nggak ya, Bran! Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan pokoknya bukan gue yang nolongin dia waktu itu," sungut Kak Regia.
"Lah kalau bukan kakak yang nolongin kenapa barusan kakak bilang 'waktu itu?' hm apa bisa dijelaskan kakakku tersayang?"
Lah, sialan si Gibran. Padahal aku sudah menahan diri untuk diam dan hanya sekadar mendengarkan, namun ocehan mereka tak mungkin tak membuat orang lain tertawa ngakak.
Apalagi terang-terangan Kak Regia mengelak, wekaweka yang mereka bahas itu mas-mas tetangga sebelah. Menurut Mama sih dia gantengnya kelewatan, entah untuk alasan apa namun Kakakku itu selalu berkata kalau dia sangat jelek.
Matanya butuh pemeriksaan rutin sepertinya. Lah aku saja yang cowok mengakui kalau dia tampan, dalam definisi aku iri karena dia diam-diam banyak yang mengagumi.
Jika aku, boro-boro ada yang mengagumi yang mau ngajakin kenalan aja kagak pernah ada gini kok.
"Serah lo berdua sama-sama sialan!"
Tuh kan, aku sudah menduganya kalau nanti pasti aku juga akan dibawa-bawa padahal aku tak salah apa-apa hiks. Selesai makan kami bertiga pulang, dan aku tak bisa tidur karena percekcokan mereka berlanjut bahkan hingga dini hari.
Anehnya meski bertengkar habis-habisan namun Gibran masih setia menemani Kak Regia menonton drama Korea. Aku benar-benar tak paham dengan dua orang itu namun aku sungguh merasa iri melihat kedekatan mereka.
Kalau boleh saat ini aku tengah menyetujui ucapan Papa kala itu bahwa sepertinya memiliki adik bukan hal yang buruk. Sayangnya aku sudah sebesar ini, apa tak papa ya jika aku memiliki adek?
Um entah, aku hanya malas kalau terus dipaksa memahami keadaan dengan duduk diam di rumah sendirian. Melihat Kak Regia dan Gibran siapa saja pasti menjadi iri dan ingin segera memiliki saudara, tak urung aku pun juga sama dengan orang-orang itu.
"Suu Suu kakak mau tidur duluan ya, bye!"
Ah pasti sekarang sudah jam tiga pagi makanya Kak Regia meninggalkan kami. Um rasa-rasanya Kak Regia bukan meninggalkan kami tapi hanya meninggalkanku saja.
Karena saat ini Gibran sedang berkutat di dapur entah sedang melakukan apa. Mungkin masak mie instan seperti biasanya, di sana kan ada dua dus mie instan yang sengaja bocah itu beli untuk dirinya sendiri.
Aku tersenyum tipis. Definisi anggap saja seperti rumah sendiri, syukur lah mereka tak menjual rumah ini karena menganggap rumah ini rumah mereka.
"Suu makan kagak!?" teriak Gibran seolah menggema di pagi buta ini.
Karena jarak ruang tengah dengan dapur lumayan jauh maka untuk menjawab pertanyaan Gibran aku juga harus berteriak dong. "Kopi juga Bran! Mie sedap spesial rasa soto Lamongan!"
Nah karena sudah terlanjur begadang dan makanan juga sudah disiapkan oleh Gibran maka sekarang lanjutkan permainan dan hadapi segala rintangan juga tantangan. Masalah tidur kan bisa besok siang ehe, santai saja dan kalem wae besok libur.
Plus Mama dan Papa tak ada di rumah, dengan begini aku kah tuannya. Selamat hari libur nasional dan selamat melanjutkan permainan.
Untuk Gibran, selamat masak makanan yang menyehatkan untuk sang tuan ini ya. Um ... saat ini Gibran sedang bermain menjadi pelayan bukan. Aku tak salah kan?
-BERSAMBUNG-