"Tadi di kelas kamu disuruh ngapain?"
Aku tersenyum tipis, istirahat kedua kami juga memutuskan untuk duduk di sini lagi. Toh, ini tempat umum jadi tak akan ada yang melarang meskipun sejak tadi aku merasa ada seseorang yang tengah mengawasi namun aku tak peduli.
Oh ya, tadi Gibran kegirangan karena dia sudah mengetahui nama, alamat, beserta nomor ponsel gadis yang duduk di sampingku.
Sialnya, dari raut wajah gadis itu aku bisa menebak kalau dia mengira aku jatuh hati padanya. Ouch dasar Gibran teman sialan!
'Jika bukan karena permintaan itu adalah timbal balik maka sudah putus kepalanya itu,' desisku mulai gerah.
Lagi-lagi dia hanya menjadikanku umpan agar dia bisa meraih apa yang sebelumnya tidak bisa ia raih. Meski begitu, aku yang sudah menganggapnya sebagai keluarga ini dengan pintarnya menuruti semua keinginannya.
Kan, dia satu-satunya orang yang selalu ada saat aku membutuhkan bantuannya. Dia juga yang sering mengingatkan kalau aku tak sendirian saat Papa dan Mama sibuk dengan pekerjaan.
Ah kalau mengingat bagian ini aku benar-benar seperti sepasang kekasih dengannya, sialan memang.
"Cuma disuruh nulis surat cinta. Nggak jelas emang," jawabku.
Ah dia tersenyum lagi. Matanya menyipit lagi. Dan, aku terpana lagi. Sungguh, jika diijinkan aku ingin agar hanya aku yang melihat senyuman manisnya namun aku hanya bisa sadar tentang derajat ini.
Um bukan masalah tahta ya, ini masalah derajat antara kekasih dan sahabat atau hanya pelampiasan semata.
Intinya, aku tak berhak memintanya untuk hanya menampilkan senyum itu padaku. Mengekang anak orang? Hahaha aku saja tak suka dikekang jadi mana mungkin aku akan mengekang anak orang.
"Aku dapet loh," ucapnya membuatku kebingungan.
"Hm? Kamu dapet apa?"
"Surat cinta. Punya kamu kan ini?" tanyanya sambil menyodorkan sebuah kertas dengan lipatan yang tampak begitu buruk.
Woy! Dasar kakak kelas laknat itu, mereka bilang surat cinta itu akan segera dibuang begitu semua siswa di kelas mengumpulkannya.
Tapi, ini apaan!?
Kalau saja aku tahu bahwa ternyata surat cintanya ditukar dengan kelas lain maka sudah pasti akan kubenahi tulisan juga lipatan kertasnya. Terlebih jika aku bisa menebak bahwa Febi yang akan menerimanya, ouch kalau begini aku yang malu.
Karena, di dalam surat cinta itu ada sebuah puisi yang menggelikan hingga tadi Gibran tertawa cekikikan.
"Dapat dari Kakak kelas anggota OSIS itu?" tanyaku dan dia mengangguk.
"Bukannya kelas kamu juga kebagian? Kan tuker-tukeran."
Aku menggeleng, jelas lah aku tak dapat karena tadi saat ada yang membagi-bagikan surat cinta lusuh itu aku malah langsung membuangnya ke tempat sampah. Ya bagus sih karena dengan begitu kan aku tak perlu repot-repot membacanya.
"I LOVE YOU?"
"Hah?" Aku yang tadi sedang tak fokus pun kini menyatukan kedua alis.
Apa telingaku sudah mulai terganggu ya sekarang makanya aku mulai mendengar sesuatu yang aneh-aneh begini?
"Di kalimat terakhir kamu tulis I LOVE YOU, dan WILL YOU BE MINE?"
Aku menggaruk leher bagian belakang, apa ya? Mana mungkin aku alay begitu.
Ha-ha-ha, aku tak alay kan?
"Oh, mungkin emang aku yang nulis. Lupa wekaweka," kataku kikuk.
Duh bukan kikuk, namun aku juga gugup dan malu dengan Febi. Harusnya kakak kelas laknat itu tak membagikan surat cinta sembarangan, bagaimana kalau yang menerima surat itu orang lain? Bisa-bisa mereka akan membuntutiku seharian.
Untung lah yang menerimanya Febi, aku yakin dia bukan tipe gadis yang blak-blakan.
"Berlaku buat aku juga?" tanyanya sambil terkekeh kecil.
Apa? Kok firasat ku mendadak buruk ya. Semoga saja bayangan buruk dalam otakku ini tak terjadi.
"Kali ini yang kamu maksud apa?" tanyaku balik, tak boleh ada kesalahpahaman karena sepertinya Febi memang suka bermain teka-teki.
"Pertanyaan kamu di surat ini, berlaku buat aku juga?" Dia tampak sungguh-sungguh, berbahaya.
Astagfirullah, kenapa juga tadi aku menuliskan pertanyaan itu! Oh shit! Rasanya kepalaku mungkin benar-benar akan pecah kalau begini keadaannya.
Mana sekarang dia menggoyangkan suratnya lagi, kelihatan banget kalau dia sedang menunggu jawaban.
Ah, "wekaweka itu cuma permainan bukan. Jadi, buat apa dipikirkan? Lagian bakalan lucu kalau beneran punya ayang."
Dia tampak murung sekilas, namun setelahnya dia tertawa. "Menurut kamu gitu ya? Oke deh," katanya.
Huft! Selesai juga masalahnya.
"Kalau gitu aku balik ke kelas lagi ya. Kan bentar lagi bel juga," sambungnya dan aku hanya mengangguk.
Lantas ia pergi meninggalkanku yang duduk diam sambil menatap langit yang membiru.
Apa tadi dia marah?
Sejujurnya aku paham bahwa bukan jawaban itu yang dia nantikan namun tujuanku hanya ingin berteman.
Juga, kalaupun dia marah dan kami tak bisa menjadi teman itu tak apa. Aku tak begitu mengharapkan respon baik darinya, harusnya ini sudah lebih dari cukup.
Drt.
Getaran dari saku celanaku membuat tangan yang tadi ku gunakan untuk mengusap wajah kini langsung meraih benda pipih itu.
Oh Mama ternyata.
"Assalamualaikum cantik," sapaku dan seperti biasa terdengar kekehan dari Mama.
["Waalaikumsalam nak, Mama sama Papa mau jalan-jalan bentar jadi nanti kalau kalian bertiga udah pulang pesan aja ya makan malamnya. Hehe Mama pengen kencan,"] jelas Mama.
Mendadak suasana hatiku membaik dan tanpa sadar aku tertawa lepas. Mama memang wanita yang spesial, satu-satunya wanita yang bisa membuatku merasa bahagia hanya karena sepatah kata saja.
"Iya Ma, nanti biar aku yang ngomong sama mereka."
["Ya udah kalau gitu Mama tutup ya, Sayang. Assalamualaikum."]
"Waalaikumsalam."
Aku menutup panggilan lantas mengembalikan ponsel itu ke dalam saku. Bel sudah berbunyi itu artinya aku harus segera masuk kelas, meski belum pembelajaran secara aktif namun karena mood baikku telah kembali jadi aku semangat untuk menjalani hari-hari.
Langkah kaki yang terasa ringan, suara dedaunan yang kini terdengar begitu jelas di telingaku. Aku tersenyum tipis melihat gadis-gadis yang saling bersenda gurau menatap beberapa kakak kelas laki-laki yang sedang memperebutkan bola.
"Nanti gue juga kayak gitu," ujarku bangga.
Ya sesuai permintaan Mama, jika tak ingin masuk ke anggota OSIS maka mau tak mau aku harus bisa menjadi anggota basket atau futsal.
Daripada futsal aku lebih suka basket jadi mungkin saat mereka merekrut anggota aku akan mendaftarkan diriku nantinya. Aku menghela nafas lantas menggelengkan kepalaku, Papa kapten tim basket jadi lucu kalau nanti aku tak bisa menjadi sekadar anggota.
Masalahnya adalah, bagaimana bisa aku yang beberapa waktu lalu menghina basket terus mendadak jatuh cinta? Ah, setidaknya demi Mama aku harus melakukannya.
"Eh lo tau nggak gue dapet surat cinta yang Kawai banget huaa. Senengnya hatiku huhu huhu."
Aku menghentikan langkahku. Surat cinta lagi ya?
I LOVE YOU (?)
Mendadak pertanyaan Febi tadi terlintas kembali seolah-olah aku memutar ucapannya selama beberapa kali.
Maaf, hanya kata itu yang terlintas dalam benakku untuk saat ini. Selebihnya aku benar-benar tak tahu akan bagaimana kedepannya nanti. Semoga ya baik-baik saja sih.
-BERSAMBUNG-