"Mampus, gue kan nggak tau kak Gia kelas berapa."
Pintar sekali ya diriku ini. Tadi aja sok-sokan mau ngambil buku di kelas Kak Regia, tapi faktanya aku bahkan tak tahu dia itu ada di kelas XII bagian mana.
Ya kan selama ini Kakak sialan bin ceroboh itu hanya menyebutkan bahwa dia siswi kelas 12 yang paling cantik dan imut. Haduh, pusing kepalaku mengingat ocehan Kak Regia. Untung saja aku membawa ponsel, jika tidak malas rasanya harus bolak-balik tak jelas.
"Kelas lo di mana?" tanyaku begitu telepon tersambung.
Nggak perlu basa-basi karena Kak Regia bukan orang yang harus kuhormati, tolong anda sekalian jangan protes. Habis dia itu banyak tingkahnya dan suka merebut perhatian Mama jadi aku tak mau memberinya kehormatan yang tinggi.
["Maaf anda siapa ya?"] Balasan yang sesuai harapan.
Astagfirullah. Punya Kakak cewek satu aja kenapa kelakuannya kek gini banget yak?
"Assalamualaikum, Kak," sapaku ulang. Malas berdebat karena akan berujung kiamat.
["Eh Suu Suu ternyata. Waalaikumsalam sayangku, ada apa ni?"] Kak Regia sok ramah seperti biasa, meng-capek lama-lama brader.
Sudah kuduga kalau Kak Regia hanya ingin main-main saja, untung dia itu kakakku jika bukan sudah ku lemparkan dia ke Bengawan Solo. Er mengingat Bengawan Solo aku jadi rindu nenek juga kakek, mereka apa kabarnya ya?
Oke sekarang aku akan mengabaikan rasa rinduku dan fokus pada Kak Regia terlebih dahulu.
"Kakak kelas berapa?"
["Dua belas MIPA 5, cari aja ya kelasnya deketan sama IPS 1 kok,"] jawabnya terdengar ogah-ogahan.
Mbok ya ngomong dari tadi to mbak. Ngapain pakai drama segala sih tadi, dasar anaknya Paman Dewa ini memang tak ada yang bagus tingkahnya.
"Beneran bawa buku banyak kan, Kak? Aku mau minta dua soalnya," ujarku yang setelah mengatakan itu aki ingin muntah dengan segera.
Ah, sialan! Sapaan aku kami dengan orang selain Mama atau Papa membuatku ingin muntah saja rasanya. Terlebih saat ini aku mendengar suara tawa cekikikan dari seberang, kakaknya siapa sih itu kok baiknya kebangetan?
["Buat Jeno kampret lah, nggak sekalian? Aku bawa satu pack sih, Suu."]
"Dih kakak nggak tau Jeno kayak gimana? Mana boleh dia keluar rumah sebelum segalanya siap tersedia," jawabku sambil memutar bola mata.
Malas sekali rasanya lantaran harus berjalan menuju kelas Kak Regia sambil menelpon begini.
Terlebih ini masih jam istirahat, banyak orang yang menatapku. Entah karena mereka menyukai parasku atau justru mereka mengganggapku gila karena menelpon sambil jalan-jalan begini ya?
Aku mendongak menatap papan nama kelas, ku urutkan satu-satu dan ketemu!
12 MIPA 5.
Kelasnya Kak Regia akhirnya ketemu juga, "Kak aku udah di depan kelas bisa nggak bukunya bawa keluar aja?"
["Em tapi maaf ya Suu Suu, prinsipnya kakak tuh nggak gitu,"] kekehnya yang sepertinya memang berniat menyiksaku saja.
Tepat setelah Kak Regia mengatakannya buru-buru kumatikan sambungan telepon kami. Jika kakak kandung Gibran sudah berkata demikian maka mau tak mau aku harus masuk sendiri ke dalam kelas.
Karena, prinsipnya adalah, "siapa yang butuh?"
Tak jelas memang prinsipnya namun ya begitulah kenyataannya.
"Permisi?" kataku begitu berdiri tepat di depan pintu kelas Kak Regia.
"Hehe Suu Suu makin ganteng aja deh. Temen kakak ada yang mau kenalan loh mau?"
Sudah kutebak tadi kalau Kak Regia hanya ingin mempermainkanku saja!
Lah kalau dia sudah berdiri di depan pintu juga kenapa malah memintaku untuk kemari!? Untuk berkenalan dengan teman-temannya? Haha sorry kak aku tak mau!
"Mana bukunya?" pintaku.
Kali ini senyum yang tadi sengaja kupasang seketika langsung kulenyapkan. Sebisa mungkin aku juga menghindari kontak mata dengan lain orang, hanya pada Kak Regia saja aku menatapnya dengan tatapan yang seakan-akan aku berkata, "jangan banyak tingkah ya kak aku ke sini minta buku doang ini!"
Namun sepertinya Kak Regia tidak peka. Dengan begitu polosnya dia malah menarik tanganku.
Tentu saja aku yang belum siap menerima tarikannya itu kini hampir menubruk seseorang. Eh? Bukankah dia?
"Gimana Suu Suu? Itu adik temenku cakep kan sampai kamu betah banget peganginnya xixi," celetuk Kak Regia
Untung dia mengingatkan jika tidak mungkin aku tak akan melepaskannya lagi kali ini. Terakhir kali melihatnya aku dibuat malu karena dia mengucapkan namanya bahkan sebelum aku bertanya.
Kuambil paksa buku tulis dari Kak Regia. Ini bukan waktu yang tepat untuk bisa mengobrol dengan Febiranza. Entah bagaimana bisa takdir kembali mempertemukan kami.
"Kenapa nyet?" tanyaku begitu menggeser tombol hijau karena tiba-tiba saja ada panggilan masuk.
Gibran menelponku jadi aku harus segera kembali ke kelas. Sekiranya begitulah yang ku katakan lewat tatapan mata pada Kak Regia yang masih mengerucutkan bibirnya.
Hm dia begitu karena gagal lagi menjodohkanku. Bagaimana bisa aku mengetahuinya? Karena, yang barusan itu bukan yang pertama kalinya.
Tapi, kak sepertinya itu bukan perjodohan yang gagal namun hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk bisa mengobrol banyak dengannya. Jika yang dulu-dulu kakak yang begitu menginginkan perjodohan konyol ini maka kali ini akulah yang bersemangat untuk melakukannya.
Jadi seharusnya kakak bahagia bukan?
***
"Ya elah sat ngambil buku tulis aja lama banget," ucap Gibran begitu kakiku memasuki area kelas.
Respon yang baik, jadi untuk menanggapinya adalah putar bola mata lantas abaikan saja dia.
Dengan malas kuserahkan buku tulis itu kepadanya, rupanya Kak Regia tadi memberikan empat buku padaku. Ya mungkin saja yang tiga buat adik kandungnya satunya lagi buat aku bukan?
"Nggak gitu blok!" maki Gibran begitu aku membagikan buku dari Kakaknya itu..
"Apanya yang nggak gitu?" tanyaku bingung.
Memangnya ada yang salah dari pemikiranku ini? Bukankah ini sudah bener ya tapi kok dia malah ngegas begitu sih, dasar bocah ini tidak tau sopan santun!
Walau kami sekelas tetap saja aku yang sedikit lebih tua jadi sudah seharusnya dia menghormati ku ya. Eh kalau kayak gini aja aku baru mau menyadari kalau aku tua, cih, seharusnya aku tak sadar saja karena menjadi anak kecil yang tak tau apa-apa itu jauh lebih menyenangkan.
"Ini dikasih empat sama Rania tuh suruh dua-dua bukan malah lo satu gue tiga. Lo kayak baru kenal Gia aja deh," jelasnya lantas memberikan satu buku lagi padaku.
Ya kalau gitu ngapain segala pakai ngegas sih. Hm, ini juga alasan kenapa aku malas bersikap baik pada Kakaknya. Lah wong adiknya saja hanya asal memanggil nama kenapa aku harus serba sopan sih ha!?
Ya kalau di depan Mama atau Papa sih aku tak keberatan sopan pada kakak itu karena Gibran pun begitu. Namun kalau hanya ada kami bertiga buat apa pakai kata-kata yang sopan segala?
"Oh," jawabku.
"Eh nyet cewek yang duduk di samping lo namanya siapa?" tanya Gibran.
Heleh sejak tadi dia duduk saja tidak tanya giliran dia pamit ke kamar mandi baru tanya sekarang. Tapi aku bahkan tak tau siapa namanya, tunggu, dia sudah memberitahukan namanya apa belum ya?
"Tanya aja sendiri," ucapku ketus.
Memang sih aku berkata ketus pada Gibran namun tanpa ku sadari sudut bibirku rupanya membentuk seringaian.
Ah tadi pertemuan kedua, anggap saja jika ada pertemuan ketiga maka Febiranza benar-benar calon menantunya Mama.
-BERSAMBUNG-