Chereads / Hello My Girl! / Chapter 6 - Di mana Letaknya?

Chapter 6 - Di mana Letaknya?

"Dia bukan cewek gue kak! Astagfirullah dibilangin enggak juga kakak masih aja ngotot," cetusku tak suka.

"Heh gue yakin ya tadi lo natap dia tuh kayak cowok natap bininya!" sanggah kak Regia tiada guna.

"Tapi gue aja nggak tau namanya!" Aku tetap membantah karena tuduhannya salah.

"Halah basi ocehan lo!"

"Sudah selesai debatnya?" tanya Mama yang seketika langsung membuat kami menoleh.

Ya.

Sama halnya dengan Gibran yang menginap maka Kak Regia pun memilih untuk menginap juga. Entah kenapa dan bagaimana ceritanya namun Mama memang sudah menyediakan dua kamar beserta baju dan perlengkapan lainnya untuk mereka.

Eh bukan dua sih, melainkan asa tiga kamar kosong dan satunya bertuliskan nama Jeno. Huh! Kadang aku ingin mencak-mencak mengingat kalau isi kamar tiga orang sialan ini jauh lebih bagus daripada isi kamarku.

Mama tuh curang banget tau nggak sih.

"Budhe mana, Ma?" tanya Kak Regia.

Budhe yang dia maksud itu asisten rumah tanggaku yang baru dipekerjakan oleh Mama beberapa tahun lalu. Ya kalau tidak salah semenjak Papa membangun rumah ini, namun daripada asisten rumah tangga budhe lebih mirip keluarga.

Karena kan Mama juga masih sering membersihkan rumah sendiri dan hadirnya budhe, kata Mama itu untuk menemaninya mengobrol sambil mencuci atau memasak. Jangan tanya kenapa Mama bisa begitu, maklum kadang sebagai anak cowok aku masih tak becus walau hanya sekadar disuruh mencuci.

Dan sialnya Mama ingin anak cewek juga, katanya bagus dong kalau aku dipanggil Abang. Sayangnya Allah SWT. belum menghendaki, jadi kami hanya bisa bersabar diri.

Um tapi kalau dipikir-pikir ulang sepertinya memiliki seorang adik memang bagus deh. Dengan begitu nantinya tak akan ada yang memanggilku 'gembul' lagi kan?

Tenang saja, aku tak akan merengek pada Mama seperti saat kecil dulu. Ya kan waktu itu aku masih begitu polos dan tak paham adik itu apa dan bagaimana cara mendapatkannya.

Ekhem-ekhem, walau sekarang belum paham-paham banget tapi kan ada otak Gibran yang siap menerjemahkannya. Ya intinya meski sialnya aku yang paling tua namun jika menyangkut hak beginian Gibran sebagai anak Paman Dewa lah yang memimpin.

"Kamu belum makan ya?"

"Belum lah Ma, tadi pas mau pulang sekolah aja harus nungguin mereka berdua."

Ah ratu drama memang si Kak Regia.

"Gue tidur di kamar lo lagi ya nyet," bisik Gibran.

Ya terserah sajalah, mencoba mencegahnya pun tak ada gunanya. Kenapa? Karena nanti Mama pasti akan mengatakan kalau sesama saudara itu harus baik-baik ya.

Malas sudah aku membahas dua orang ini.

"Mbul makan sekalian ayo kenapa malah diam di situ sih?" seru Mama membuatku dengan malas berjalan ke meja makan.

Melihat tampang cerah Kak Regia dan Gibran membuatku sangat yakin kalau akhir-akhir ini suasana hati Bibi Annisa sedang buruk. Eh maksudku Bunda Annisa sih.

Lain dengan mereka yang bisa fasih memanggil Mamaku dengan sebutan Mama entah kenapa kelu rasanya mulutku memanggil orang lain dengan sebutan Bunda.

***

"Sorry bisa minggir?" tanya gadis yang kemarin.

Ouh ternyata aku menghalangi jalan ya, dengan malas kuangkat kakiku untuk memberinya jalan agar bisa masuk.

Ya salahin dia kenapa milih bangku pojok padahal anak cowok. Setauku rata-rata anak cewek lebih suka duduk di depan biar kelihatan pinter gitu. Walau nyatanya terkadang mereka biasa aja.

"Gila enak banget ya jadi anaknya Mami, gue mau diangkat jadi anaknya kalau gini."

Kuambil buku tulis yang ada di meja lantas menepuk puncak kepala Gibran sedikit kencang.

Apa tadi kau bilang? Mau jadi anaknya Mama? Oh maaf ya Mama hanya menerima satu anak lagi, itupun cewek loh. Terkecuali jika Anda mau operasi, hm tapi aku sangat yakin kalau Gibran masih ingin menjadi laki-laki tulen.

Uh dan juga dia itu sedikit berlebihan, hanya dibuatkan sarapan dan dibangunkan dengan cara lembut saja dia sudah baperan begini. Lah aku saja yang sudah begitu sejak bayi biasa saja tuh.

"Maaf itu buku aku," gumam seseorang.

Kutatap buku tulis yang masih ada di tanganku, lah beneran ini buku dia. Hehe lantaran ini baru hari kedua makanya aku hanya membawa sebuah pena di dalam tasku ini.

Kata Kak Regia santai-santai saja. Kalaupun butuh buku nanti katanya disuruh bilang padanya, ya itu hanya untuk mencari pandangan baik dari Mama.

Aku sangat yakin bahwa jika saja tadi Mama tak ada maka Kak Regia tak akan bersikap seperti itu. Oh Paman Dewa, sungguh aku tak tahan dengan segala sifat dan tingkah laku anak-anakmu ini.

"Maaf balik karena pakai buku lo buat hal yang nggak berguna kayak gini," ujarku lantas kuserahkan buku miliknya itu.

"Soal yang kemarin—"

Aku diam menyimak apa yang akan dia katakan. Sedetik, dua detik dia masih kunjung melanjutkan ucapannya.

"Makasih," ujarnya lirih di menit entah yang keberapa.

Aku tersenyum tipis, dia lucu ya. Ngomong satu atau dua patah kata saja butuh waktu selama itu haha. Padahal tadi aku benar-benar berniat mendengarkan ucapannya, namun dia membuatku menunggu terlalu lama.

Maaf, tapi sejak dulu Mama selalu mengatakan bahwa dia benci menunggu. Bisa dikatakan bahwa sikap Mama menurun padaku, aku sekarang juga benci menunggu.

Toh dia hanya mengatakan sesuatu yang tak perlu dan tak seharusnya didengar oleh telingaku.

"Bran?" panggilku pada bocah yang masih menikmati makanannya.

Ya padahal dia sudah makan namun masih saja menghabiskan makanan yang Mama bawakan. Astagfirullah bocah ini tuh tak tau apa kalau diluar sana banyak orang yang bahkan tak makan selama berhari-hari.

Walaupun kadang aku memang seperti Gibran namun menghujat orang itu kan suatu kebutuhan. Mana sekarang Jeno juga ikutan makan lagi. Oh astaga mereka memang fans fanatiknya Mama ternyata, ya ya lagian masakan siapa lagi yang lebih hebat dari masakan Mamaku.

Maklumlah Mama kan memang wanita paling baik, paling anggun juga cantik yang pernah ada di dunia ini. Um entah bagaimana respon Papa jika mendengar aku berkata demikian.

"Kenapa?" jawab Gibran dan Jeno kompak.

"Gue mau ke kelas kakak lo, bukannya tadi disuruh ngambil ke dia kalau kita butuh buku."

Gibran cengengesan, kalau Jeno sih aku yakin anak itu sudah membawanya sendiri.

"Ya udah nyet langsung ambil dua ya kan gue nggak bawa," ucap Gibran.

Hm sudah kuduga bahwa dia akan mengatakannya.

Dengan segera aku beranjak namun gerakanku terhenti ketika seseorang memegang tanganku. "Buat yang kemarin, makasih."

Ah tingkahnya yang tiba-tiba ini membuatku merasa ngeri sendiri. Padahal dia tak perlu repot-repot mengucapkan kalimat itu lagi.

Ya untuk berjaga-jaga supaya dia tak mengatakannya lagi maka, "Nggak masalah. Tapi bisa tolong lepasin tangan gue? Risih, dan lain kali cukup sekali ngomong makasih."

-BERSAMBUNG-