Kalau boleh berteriak saat ini mungkin aku akan teriak kegirangan wekaweka.
Sungguh meski gadis di sampingku hanya menunduk saja namun aku tau persis bahwa matanya menyejukkan. Oh ya Allah terimakasih atas kenikmatan yang engkau berikan ini.
Dan lebih alhamdulilah lagi karena ternyata kelas kami bersebalahan. Berjalan berdampingan dengannya sungguh membuat jantungku ingin meledak rasanya.
Um, mungkin setelah ini Gibran akan mengoceh seharian lantaran pagi-pagi begini aku sudah membuat ulah. Dan juga, kenapa kelas sepuluh MIPA 2 sudah kelihatan sih!?
Er tunggu, di depan kelas MIPA 1 kenapa rame begitu?
Ah abaikan karena sekarang waktunya untuk bertanya namanya dia.
"Nama lo—"
"Makasih udah mau anterin. Namaku Febiranza, salam kenal ya."
Di satu sisi aku merasa beruntung karena tanpa perlu bertanya dia sudah memberitahukan namanya.
Tapi woy!?
Di sisi lain harga diriku seolah hancur tak bersisa. Hiya! Sialan sekali, mana ada cowok pecundang macam diriku ini ha?
Huft! Aku hanya bisa menghela napas mencoba menyabarkan hati supaya tidak sering-sering emosi.
Tunggu, siapa tadi namannya? Febiranza ya?
Febi?
Oh Febi?
Nama yang cantik seperti orangnya, ditambah lagi dia pemalu juga. Entah kenapa mendengar cerita dari Papa tentang versi muda Mama aku jadi yakin kalau Febi dan Mama tak jauh berbeda.
Kuangkat bahu lantas menutup kepalaku dengan tudung Hoodie. Dengan langkah kaki pelan aku berjalan menuju ke kelas.
Yah sayang disayangkan, seharusnya masih ada Febi di sampingku saat ini. Ahahaha santai lah aku hanya bergurau saja, bisa mengetahui namanya sudah lebih dari cukup.
Tujuanku kemari adalah sekolah bukan untuk mencari istri yang siap berumah tangga. Jadi, cukup sebatas ini saja aku melangkah ke arahnya. Lain kali aku akan melangkah ke masa depan yang sudah ku rencanakan sebelumnya.
"Ngapain sat?" tanyaku begitu sampai di depan kelas dan menemukan Gibran yang tampak menjijikkan.
Oh maksud kata menjijikkan itu karena dia dikerumuni banyak cewek tak jelas. Mana penampilan mereka menor semua, kek tante-tante aja.
"Nih lihat kan dia jauh lebih ganteng. Sama dia aja!" ketus Gibran lantas dia berlalu pergi.
Aku terdiam menatap cewek-cewek yang tadinya tampak agresif kini justru menunduk malu-malu. Ah kan baru saja aku mengatakan kalau aku ini melangkah ke masa depan yang sudah ku rencanakan kenapa malah begini!?
"Sorry bisa kalian minggir?" tanyaku yang sebisa mungkin bersikap ramah.
Argh sialan kenapa mereka malah semakin menunduk malu-malu begitu!?
Namun satu hal yang sangat ku syukuri karena mereka langsung menyingkir dan membuatkan jalan untukku. Haha baguslah karena dengan begitu mungkin saja kedepannya akan jauh lebih baik kan ya?
***
"Lo berdua mau kemana?" tanya Jeno padaku dan Gibran yang sengaja bangkit hendak meminta ijin ke kamar mandi.
Sangat parah, hari pertama masuk sekolah dan kakak OSIS itu sudah banyak ceramah. Aku heran mengapa Jeno tetap santai-santai saja padahal kelas ini terasa memuakkan sekali hingga rasanya ingin segera pergi.
"Duduk. Gue tau niat kalian berdua jadi mending lo berdua duduk lagi aja," ucapnya tak terbantahkan.
Ya mungkin karena aura Om Galen lah Jeno sekarang kelihatan mengerikan. Dengan malas aku dan Gibran kembali duduk lagi di tempat semula.
Gibran sih memilih untuk duduk dengan Jeno sedangkan aku malah duduk dengan gadis tak dikenal. Ya kalau dia tak mau memperkenalkan namanya untuk apa aku susah-susah menyapa?
Um tapi dia ini kan wanita yang harus ku hormati dan ku jaga martabatnya. Oleh kerena itu, "nama gue Jie-soe. Nama lo?"
Abaikan saja celotehan Gibran dari bangku belakang karena setidaknya kan selama satu tahun kedepan aku harus duduk dengan gadis ini. Untuk berjaga-jaga kalau ada tugas kelompok nanti maka aku harus mengakrabkan diri.
Toh berteman itu tak perlu membeda-bedakan bukan?
Semoga saja dia mau menerima ajakan pertemanan ini dengan baik. Er tapi kok sejak tadi dia hanya diam saja ya? Bahkan menoleh pun tidak.
Dia hanya menunduk seolah sedang merasa ketakutan.
Dia kenapa?
Dengan ragu aku meraih pipinya. Hangat, eh tunggu!?
Ini bukan lagi hangat namun tanganku bahkan hampir terbakar hanya karena menyentuh wajahnya. Lagi-lagi dengan perasaan ragu ku tangkup keduan pipinya dengan dua telapak tanganku.
Sialan!
Kenapa juga aku harus bertemu dengan gadis yang memiliki banyak masalah begini sih.
"Kak!" panggilku yang memang sengaja menaikkan nada bicara.
"Dia demam," ucapku lirih.
Di belakang tampaknya Gibran berhenti berceloteh. Ya tentu saja, aku yang jarang berhubungan dengan seorang gadis kini dengan sok baiknya mengkhawatirkan gadis ini.
"Bawa dia ke UKS, Dek!" teriak salah satu kakak OSIS itu.
Uh sialan kenapa mereka semua harus cewek juga!? Mana sih anggota OSIS yang laki-laki!
"Tapi kak—"
"Jadi cowok yang gentleman dong, Dek!" bentaknya, sialan nggak kenal sudah main bentak-bentak.
Sudah kukatakan belum sih kalau wanita itu menyebalkan dan sangat merepotkan. Untuk Mama pengecualian ya.
Dengan kesal aku beranjak dari kursi dan menggendong gadis yang rupanya sudah memejamkan matanya ini. Padahal ini hari pertama kenapa dia sudah sakit begini sih?
Dan kalaupun dia hendak sakit seharusnya dia menjauh saja tadi dan tak perlu bertanya apa dia boleh duduk denganku. Namun, wajahnya yang memerah ini membuatku yang hendak memaki-maki jadi tak tega.
Apalagi, suhu badannya benar-benar tinggi. Tanganku yang kini tengah menggendongnya ini mungkin akan segera terbakar mengingat jarak UKS masih jauh.
"Mama."
Perlahan aku menunduk, meski jalanku setengah berlari tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas kalau tadi dia menggigau tak jelas.
Mama?
Jadi orang yang paling dia cintai di dunia ini itu Mamanya ya? Tapi seandainya memang begitu dia tak mungkin datang di hari pertama ke sekolah dalam keadaan sakit begini.
Lantas kenapa pula aku harus bersikap seakan-akan aku tertarik padanya!? Ah woy lah tujuanku sekolah kan hanya untuk belajar saja bukan malah mencari pacar!
Fyuh! Akhirnya sampai juga di ruangan yang dihuni oleh ....
"Kak Regia?"
"Lah Suu?"
Hiya!
Double sialan, hilang sudah kharisma yang selama ini ku pertahankan setelah mendengar kak Regia memanggilku Suu. Dasar kakaknya Gibran itu.
Eh tapi dia ada di sini itu artinya dia anak PMR bukan? Er ... bukankah siswa siswi kelas dua belas tak dibolehkan ikut organisasi ya?
Ah masa bodoh, yang terpenting sekarang aku sudah meletakkan gadis sialan ini di brankar yang sudah di sediakan.
"Lo mau kemana njir?" seru Kak Regia membuatku yang hendak melangkah pergi ini menoleh ke belakang lagi.
"Balik ke kelas," balasku enteng.
"Lah kok balik?"
"Emang mau ngapain lagi sih, Kak?" heranku.
"Ya kasih tau namanya dia lah."
"Aku nggak tau," jawabku masih mencoba tenang.
"Um bukannya dia pacar lo ya? Janji deh kalau lo kasih tau namanya gue nggak akan bilang ke Tante Tya kalau si gembul udah dewasa hehe."
Kesalahpahaman macam apa ini, Kak!?
Mana mungkin aku memiliki pacar!?
Dan masih sempat-sempatnya kakak cengengesan dalam situasi macam ini? Astagfirullah demi Mama yang cantiknya minta ampun, dia bukan pacarku! Double shit! Namanya aja aku nggak tahu.
-BERSAMBUNG-