Chereads / Hello My Girl! / Chapter 4 - Kenapa Ada Kesempatan?

Chapter 4 - Kenapa Ada Kesempatan?

Kalau boleh memilih aku pasti akan memilih untuk tidak berangkat bersama dengan Gibran. Anak kandung dari Paman Dewa ini sangat menyusahkanku, padahal tadi pagi kakaknya sudah datang untuk menjemput adiknya itu.

Namun bocah satu ini malah merengek dan mengatakan hanya mau sekolah jika berangkatnya bersamaku. Haduh sialan, aku jadi merasa kalau dia memiliki perasaan khusus padaku padahal nyatanya tidak.

Dia hanya tengah mencari alasan agar tidak mendapatkan omelan dari Bibi Annisa. Meski kelihatannya ramah begitu namun aku tau kalau Bibi Annisa lebih galak daripada Mama saat marah.

Dan karena itu Gibran tadi pagi berangkat dari rumahku. Hm entah berapa hari lagi dia akan menginap di rumahku. Yang jelas aku yakin dia tak akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin dia baru akan pulang akhir pekan nanti.

Terserah saja lah toh kata Mama kami saudara walau beda emak bapaknya. Setidaknya kan aku memiliki teman untuk baku hantam selama beberapa hari ke depan haha.

"Kelas berapa lo?" tanya Jeno.

Ck bocah ini tak asa sopan santunnya ya Hyung.

Ini memang hari pertama sekolah sekaligus hari pembagian kelas jadinya dengan terpaksa aku berdesak-desakan dengan para siswa baru ini. Sambil berharap semoga bisa bertemu dengan gadis itu, atau mungkin akan ku panggil nona saja ya?

Haha aku hanya bercanda, dia antara ribuan siswa ini mana mungkin aku bisa bertemu dengan gadis itu lagi secara kebetulan hm?

"IPA 1, kalau kalian?" tanyaku balik.

"Sama," jawab keduanya kompak.

Lah kok!?

Apalagi sih ini ya Allah. Kenapa lagi-lagi aku harus berhubungan dengan mereka hm? Sepertinya kami bertiga memang ditakdirkan untuk bersama ya haha, menyedihkan hiks.

"Nyari kelas dulu atau makan dulu?" tanya Gibran.

"Makan lah," jawabku, yang tentunya jawaban ini serempak dengan jawaban Jeno.

Meski sudah dikasih makan namun kami bertiga sama-sama suka banget sama yang namanya makanan. Jadi apapun tawarannya selagi makan ada dalam salah satu list-nya maka kami akan memilihnya.

Dengan langkah kaki yang ringan kami berjalan menuju kantin. Aku berdecak malas saat Gibran terang-terangan menggoda kakak kelas, haha untung saja kak Regia—kakaknya Gibran, langsung turun tangan.

Ah wajar sih kalau Gibran begitu, kata mama, Paman Dewa waktu masih muda kan begitu juga.

Dibandingkan dengan tadi saat memasuki area halaman depan bagian dalam sekolah tampak begitu sepi. Mungkin saja karena para kakak kelas sudah memulai pelajaran, namun ada beberapa yang bandel macam kakaknya Gibran.

Tuh buktinya dengan santainya Kak Regia malah menunjukkan jalan menuju kantin. Katanya sih Kakakku itu lapar juga, berhubung Bibi Annisa memang sering ngambek lantas jarang masak jadilah anaknya pada bandel semua.

Dear Bibi, tolong maafkan aku yang sedikit mengatakan hal-hal buruk tentangmu. Hehe Bibi, yang kukatakan ini fakta loh.

Meski kami sudah tiba di kantin namun aku tak segera memesan melainkan masih celingukan mencari seseorang yang akhir-akhir ini menjadikanku memiliki banyak beban pikiran. Dia kemana? Bahkan meski hampir mengelilingi seisi sekolah hanya untuk pergi ke kantin namun aku tak kunjung menemukannya juga

Oh jangan bilang dia bosan di lingkungan ini jadi dia pindah di hari pertama begitu? Em rasa-rasanya itu tak akan mungkin terjadi sih, lagian hal konyol seperti itu kenapa bisa sampai terlintas di pikiranku?

Haduh semakin kesini semakin gila saja ya aku ini.

"Udah dipesenin nggak mau makan juga, Suu?"

"Kak please deh nggak usah panggil kayak gitu," jawabku kesal.

Dasar Kak Regia tuh ya, meski dulu waktu kecil dia memang sering memanggilku demikian namun sekarang aku sudah dewasa ya kak jadi tolong manggil yang sedikit gila itu di rumah saja. Begini-begini aku sudah mulai mengerti bagaimana terciptanya manusia.

"Dih Suu Suu, nggak papa kali sama kakak aja kek gitu. Ya nggak, San?" kekeh kak Regia sambil meminta pendapat temannya.

"Yoi, kalian berempat kan saudara masak masalah panggilan aja harus disertai adegan baku hantam segala."

Aku menghela napas panjang. Dari penampilan dua orang itu memang tak ada yang mencolok hanya saja mataku sakit melihat Kak Regia memakai riasan wajah yang begitu tebal. Astagfirullah Kak, kalau Bibi Annisa tau bisa dipotong lo uang jajanmu ahaha.

'Haruskah aku mengadukannya saja?' ucapku dalam hati.

Mau tau tidak kenapa sejak tadi selama mengobrol Kak Regia tak begitu akrab dengan Jeno?

Memang sejak dulu mereka tak pernah akur, bahkan Gibran si bocah tak tau diri itu mengatakan kalau mungkin saja Ardan pernah ditolak oleh kakaknya makanya jadi pendiam begitu. Dan percayalah padaku bahwa itu hanya omong kosong semata, Gibran memang suka sekali mengarang cerita.

Besok-besok mungkin akan kuikutkan dia ke lomba puisi saja deh.

Deg!

Aku menemukannya. Kualihkan sebentar pandanganku dari sosok yang tengah celingukan menuju ke arah empat orang yang sibuk makan.

"Kak Gia?" panggilku lumayan kencang mungkin.

"Kenapa, Suu? Dah lah kalau mau protes nanti aja, makan dulu aja Suu biar nggak mati kelaparan lo nanti."

Huft! Setiap kali aku hendak berbicara Kak Regia lebih dulu memotongnya membuatku ingin membenturkan kepala saja.

"Kamar mandi sebelah mana?" tanyaku tak mau meladeni Kak Regia untuk kali ini.

Lihat saja nanti akan kubalas dia, toh untuk hari berikutnya dan berikutnya lagi kami akan sering bertemu kan?

Tanpa menjawab Kak Regia hanya menunjukkan arahnya saja menggunakan jari telunjuk.

"Bayarin sekalian ya kak," ucapku lantas berlari menjauh.

Haduh kalau harus menunggu lebih lama lagi dapat ku pastikan kalau nanti Kak Regia pun akan mengoceh lagi. Namun, perlahan-lahan langkah kakiku entah kenapa terasa memberat saja.

Padahal tadi aku sudah begitu bersemangat hendak memperkenalkan diriku padanya. Tapi aku hanya bisa berdiri sepuluh langkah dari tempatnya berpijak saat ini. Keningnya tampak sesekali berkerut, lantas dia akan mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dahi.

Lantas, setelah itu dia akan menggigit ujung kukunya. Aku terkekeh geli melihat tingkah lucunya ini, ku masukkan kedua tanganku ke dalam saku Hoodie yang tengah kukenakan saat ini.

Melihatnya terus mendongak sambil membaca papan nama begitu membuatku jadi tak tega. Mengusir rasa ragu ada hinggap di jiwa perlahan ku langkahkan kakiku ke arahnya.

Astaga, ternyata dia pendek ya.

Sederet kata itu terlintas dalam benakku saat aku tiba di belakangnya. "Nyari apa?" tanyaku tepat di telinganya.

Um mungkin bisa di katakan ini sebuah bisikan. Dia langsung menoleh dan menyiapkan kuda-kuda, apa dia berpikir kalau wajahku ini pantas jadi orang jahat ya?

Hanya sesaat wajahnya terkejut, yang ada kini dia tampak hendak mengatakan sesuatu namun em mungkin dia ragu.

"Nyari kelas kamu ya?" tanyaku sambil sebisa mungkin tersenyum ramah.

"Iya," jawabnya tergesa-gesa.

Oh astaga dia itu imut sekali sih? Rasanya aku ingin mengantonginya saja.

"Kelas mana?"

"Sepuluh MIPA 2," jawabnya dengan suara begitu pelan.

Ah untung saja telingaku masih bisa mendengarkan.

"Mau gue anterin?"

Kali ini dia tampak menimbang, ya jelas lah dia ragu karena kami belum kenal. Sialnya baru hari pertama masuk sekolah jadi aku tak bisa membaca namanya lewat name tage.

Anggukan kepala darinya membuatku tersenyum lebar seketika. Ini kesempatan bukan? Semoga di perjalanan nanti aku tak lupa menanyakan namanya.

-BERSAMBUNG-