"Kau mau ke mana?" Armein sepertinya terganggu melihat aku beranjak dari dudukku, membuatnya tak bisa lagi merebahkan kepala di atas pangkuanku. Aku katakan padanya bahwa aku ingin membawakannya minuman dan baju hangat.
"Kandi… aku tak mau kau jadi pembantuku. Aku punya banyak orang yang membantuku. Jangan begitu. Jangan tinggalkan aku…." suaranya semanja anak kecil. Aku kembali ke tempat dudukku dan membiarkan kepalanya rebah di pangkuanku lagi. Aku hampir saja menggodanya dengan kalimat, 'tapi tak ada satu orang pun pembantumu di tempat ini, Armein!' ketika suara Armein tiba-tiba berubah serius.
"Kandi, ceritakan mengapa gadis kecil di bandara itu bisa membuatmu terkirim padaku?" tanyanya. Kini wajahnya agak miring ke arah pemandangan Bivan yang indah, punggungnya setengah memunggungiku, sepertinya dia ingin sepenuhnya menikmati pangkuanku saja.
"Aku tak tahu, Armein. Sepertinya, gadis itu sudah sangat kalut ketika kehilangan ibunya di bandara. Untuk gadis sekecil itu, kehilangan ibunya bisa sama menyakitkannya dengan kematian. Pertolonganmu itu, meski kau tidak terlalu mempertimbangkannya, bisa jadi sangat berharga untuk gadis itu. Seperti kau telah menyelamatkan nyawanya…" aku tak tahu apakah Armein memahami kata-kataku karena kini pikirannya kosong. Namun, tangannya mencari tanganku, lalu meletakkannya di atas kepalanya. Itu perintah untukku kembali mengelus-elus rambutnya. Tentu saja aku lakukan. Dia membiarkan dirinya hanyut dalam keindahan panorama Bivan saat matahari tenggelam. Mungkin juga dia tidak mendengar kata-kataku. Tapi... "Jadi menurutmu mati itu menyakitkan?" tanya lirih.
Sebelum aku menjawabnya, Armein sudah bicara lagi, "Seharusnya kita membawa kamera ke sini, Kandi… tempat ini sangat indah. Aku senang di sini…. Mungkin aku tinggal di sini saja."
Aku langsung melemparkan pandanganku ke rumah kayu kecil yang dibuat Lamaar untukku. Seketika bisa kulihat bayangan Lamaar memasang daun jendelanya, menggunakan seluruh tenaganya untuk memasang kaca jendela besar agak menjorok ke luar hanya agar ketika kubuka daun jendelanya dari dalam, maka wajahku tepat berada di atas perdu-perdu bunga lili putih di atas jendela itu. Lamaar merancang rumah itu sebagai persembahan cintanya padaku.
Suatu hari dia memintaku bercerita sambil bernyanyi dan dia menggambar rancangan rumah kecil itu sambil mendengarkan aku bernyanyi untuknya. Hasil akhirnya membuatku sangat bahagia, Lamaar seperti baru saja memberikan mimpi terindah untukku. Meskipun aku tidak pernah tertidur dan bermimpi. Kini Armein; lelaki istimewaku ini ingin tinggal di Bivan, di tempat yang dihadiahkan Lamaar untukku. Bahkan Ray dan Langit saja belum pernah aku ajak ke tempat ini. Namun, apa pun yang dikatakan Armein saat ini adalah perintah yang tak boleh aku abaikan. Bahkan nostalgia sentimentalku saja kurasakan sebagai ketidaksempurnaanku dalam melayani Armein.
"Itu rumahmu, Kandi? Bolehkah aku masuk ke dalamnya?" tanya Armein merasakan keraguanku. Aku mengiyakan. Itu memang rumahku, hadiah dari Lamaar; Lamaar yang membangunnya untukku. Dan tentu saja aku tidak bisa melarangnya masuk atau menolaknya. Armein ternganga melihat bagian dalam rumah kecilku ini. Perapian hangat sudah menyala, dan tercium aroma teh dari dapurnya. Tanpa disadarinya, aku menggunakan beberapa detik saat dia terpana melihat fasad depan rumah tadi untuk menyiapkan segalanya. Kupikir Armein akan terlalu kesal untuk kembali ke apartemennya, maka kusiapkan suasana "rumah" ini untuknya beristirahat, karena aku yakin dia membutuhkannya.
"Siapa yang sudah membuat rumah sehebat ini…" gumamnya masih dengan terpana dan terus memandangi satu per satu sudut rumah dengan mulut menganga dan mata terbelalak.
"Lamaar… ayah anak-anakku" jawabku. Armein tiba-tiba mematung dan memandangiku. Di kepalanya berkecamuk banyak pertanyaan, dia ingin tahu di mana Lamaar dan apakah Lamaar tahu bahwa aku bersamanya saat ini. Semua kecemasan dan keragu-raguan tiba-tiba terlukis di wajah dan sorot matanya. Seperti anak kecil yang ketakutan karena sudah berbuat salah, dengan mata bergerak-gerak panik.
Aku tersenyum padanya, "Lamaar sudah pergi ke surga meninggalkanku dan anak-anaknya," kataku menjawab pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya. Armein masih menunjukkan wajah tersengat dan kebingungan.
"Lamaar sudah mati, Armein. Kau takut pada orang mati?" tambahku, dan dia tak menjawab. Namun, sorot matanya melembut, lalu muncul di dalam pikirannya untuk memelukku. Aku tertawa dan berkata padanya bahwa dia tak perlu memelukku untuk menunjukkan bela sungkawanya, aku sudah baik-baik saja dan menerima kenyataan itu.
"Anak-anakmu? Di mana mereka?" tanyanya kemudian. "Mereka di Angkak, di lereng Gunung. Itu rumah lain yang dibuatkan Lamaar untuk kami. Lebih besar dan lebih banyak pohon. Kau ingin bertemu mereka?" Armein mengangguk-angguk antusias dengan wajah bercahaya. Aku membawa Armein menemui Ray, Langit, dan Dayu… dan Karambi. Aku merasa sangat bahagia menerima perintahnya kali ini.
Lagi-lagi Armein ternganga melongo melihat rumah kami di Angkak. Sungai kecil yang melewati bagian tengah rumah dan memisahkan dapur serta ruang makan kami membuatnya terus-menerus menggumamkan "oooh" dan "aaaahhh" penuh kekaguman.
Di luar dugaan, Ray dan Langit ternyata sangat senang berkenalan dan bermain-main dengan Armein. Mereka berdua menerima kedatangan Armein seolah Armein akan menjadi teman serumah kami lagi, seperti Dayu. Mereka bercanda, bermain-main, dan berkejaran ke sana kemari. Armein tampak bahagia dan tertawa-tawa. Baru kuketahui bahwa Armein sangat suka bermain dengan anak kecil dan menikmati semua tingkah, canda, dan tawa-tawa lepas yang dibagikan Ray dan Langit padanya. Padahal mereka baru bertemu sebentar yang lalu.
Aku juga tiba-tiba saja berharap Armein mau tinggal bersama kami di Angkak dan menikmati kebahagiaan ini lebih lama. Sudah bisa kubayangkan betapa hebatnya kalau aku bisa tetap melayani manusia istimewaku tanpa harus meninggalkan Ray dan Langit. Mereka berdua akan sangat bahagia. Saat ini saja cahaya mata dan senyum mereka sudah terlihat bersinar. Hanya Dayu yang tiba-tiba saja kehilangan kebiasaannya tersenyum padaku. "Ia cemburu, Kandi…" ujar Karambi tiba-tiba saja sudah berada di belakangku; mengingatkanku untuk berbicara pada Dayu.
Aku merangkul Dayu dari belakang saat ia memasak makan malam untuk kami semua, sambil bersenandung kecil, senandung kesukaannya. Ia tersenyum lagi. Tapi sangat sedikit dan cepat, karena begitu Armein dan Ray mendekat untuk ikut-ikutan bersenandung, Dayu kembali kehilangan senyumnya.
"Kau tidak jatuh cinta, kan, Kandi?" tanya Karambi.
"Pada Armein?" tanyaku, Karambi mengangguk.
Kujawab tidak. Karena menurutku aku tidak punya kemampuan untuk jatuh cinta pada lelaki yang sudah memiliki kekasih. Dan aku tahu betul bahwa Binar kekasih yang sangat dicintai Armein, pikiran lelaki istimewaku itu telah mengatakannya dengan tegas sejak hari pertama kami berjumpa.
Sepanjang canda tawanya dengan Ray dan Langit, aku mendengar benaknya membayangkan dirinya dan Binar mengadopsi anak-anak dan mereka memiliki rumah di lereng gunung seperti Angkak, serta memasak makan malam bersama seperti kami, untuk kemudian menjadi tua bersama dengan bahagia. Kuceritakan semua itu pada Karambi, dan ia memelukku bahagia.
"Kau seorang damchi yang baik, Kandi… aku senang kau sembuh dan tak akan mengulangi kesalahanmu dulu."
Aku hampir sama bahagianya dengan Karambi, sampai tiba-tiba Armein terdiam dan memandangiku dengan sorot mata tajam, "Bawa aku pada Binar, Kandi!" pintanya.
Di apartemennya, Armein mengundang banyak orang yang katanya semuanya adalah karyawan di manajemen Simon yang tidak boleh kehilangan pekerjaan mereka. Aku sempat melihat bahagianya Armein berdiskusi dengan Binar tentang apa yang harus dilakukan. Armein merasa berhak untuk merajuk menunjukkan kecemburuannya ketika mereka berjumpa lagi, tetapi itu hanya bertahan beberapa menit saja. Dia terlalu merindukan lelaki tampan yang banyak bakat itu untuk berlama-lama merajuk. Mereka bersikap sangat profesional ketika merekrut semua karyawan Simon menjadi tim manajemen di bawah Kharisma; manajer Binar.
Saat mereka berdua melakukan itu semua, aku selalu berada sejurus saja dari Armein, mengawasi dan siap diberi perintah. Armein mengenakan setelan hitam yang sangat elegan dan membuat pesona bintangnya menyala-nyala menyilaukan semua yang memandanginya. Binar juga terlihat tampan dan gagah dengan setelan sewarna. Acara penyatuan perusahaan musik besar itu begitu gegap gempita dan kabarnya menggema ke segenap pelosok dunia. Bahkan di tengah kegemerlapan panggung dunianya, Armein masih sesekali diserang perasaan tidak nyaman dan memandangiku sambil menyentuh nuye-nya. Dia tak ingin kehilanganku.
Binar melihat perubahan besar sikap Armein yang tampak lebih riang dan percaya diri, dan tampak sangat menikmatinya. Seandainya dia bisa melihat keberadaanku, mungkin Binar juga akan bersikap cemburu seperti Armein cemburu melihat Lisa hadir di antara tamu undangan khusus?
Jadi, sekarang Armein dan Binar berada di bawah satu manajemen yang sama, hanya beda tim. Aku mendengar jerit bahagia di dalam kepala Armein karena kini punya banyak waktu untuk berada di tempat yang sama dengan Binar. Kekasih Armein itu juga membelikan lelaki istimewaku telepon genggam baru, tiga buah. Mereka berdua tampak seperti dua orang raja di dunia mereka. Sepasang raja tampan yang menguasai dunia dengan kemampuan mereka bernyanyi dan menciptakan lagu-lagu yang menggetarkan jiwa.
Armein bercerita padaku, bahwa sifatnya yang impulsif membuat hubungannya dengan Binar penuh liku-liku emosi. Sebelum aku hadir dalam hidupnya, dia sering kali mencari pelarian atas kekesalan dan ledakan emosinya; dan itu membuat Binar tersiksa karena Armein sering terlihat murung atau sangat pendiam di muka publik.
Sikap Armein sering membuat publik menduga dan bertanya-tanya, dan biasanya Binar harus ikut menjawab pertanyaan wartawan tentang Armein. Menurut Armein, kondisi itu sangat mengesalkan Binar.
"Semua berubah setelah kau ada, Kandi… Binar bilang, aku lebih santai dan menyenangkan sekarang. Itu karenamu, Kandi!" puji Armein padaku.
Ketika Binar sibuk membuat film, Armein berusaha menjelaskan padaku tentang penggunaan telepon genggam. Tapi aku mengingatkannya bahwa dia hanya tak boleh kehilangan nuye kalau masih membutuhkan jasaku, dan bahwa aku tak membutuhkan telepon genggam. Armein memelukku dan bersumpah tidak akan pernah melepaskan nuye-nya dari pergelangan tangan kanannya sampai mati. Dia juga berharap Binar bisa melihatku atau aku juga bisa membawa mereka berdua berpindah tempat ke tempat-tempat indah yang diinginkannya.
Aku bersimpuh di depannya meminta maaf karena dua keinginannya itu tidak akan pernah mampu kukabulkan. Bukan seperti itu cara bekerja seorang damchi, kataku.
"Jadi, hanya aku yang bisa menikmatimu, Kandi?" katanya suatu malam. Aku mengernyitkan mata menggodanya, "menikmatiku?" Armein tertawa dan menghambur memelukku.
"Kau lucu, Kandi… kau baik, aku sangat beruntung memilikimu. Bolehkah aku menciummu?" tanyanya sambil memegangi kedua pipiku dengan erat—dia sangat suka memperlakukanku seperti ini; seperti kepada anak kecil, dan memancarkan sorot mata bahagianya tepat ke mataku. Aku tersenyum dan menggeleng.