Fairy Godmother… ya, aku punya peri yang bisa membawaku ke mana pun aku mau hanya dalam hitungan detik. My personal jumper. Aku merasa Tuhan sangat mengasihiku. Mungkin ini dia kebahagiaan menuai karma baik. Kandi bagiku tidak hanya peri, tetapi menjadi sahabat suka duka yang sangat bisa kupercaya.
Aku nyaris tak bisa memercayai kenyataan ini, setelah semua perjuangan dan kerja kerasku selalu dibenturkan dengan orang-orang yang ingin mengambil kesempatan atau menggunakanku untuk kepentingan pribadinya, aku dipertemukan dengan seorang Kandi yang tidak punya kepentingan apa pun selain menuruti semua keinginanku. Apa hadiah yang lebih hebat dari itu?!
Sebenarnya, makhluk apa si Kandi ini? Tapi aku sudah tak ingin bertanya-tanya lagi. Aku takut pertanyaanku akan membuat Kandi menghilang dari kehidupanku. Sejauh ini, ia sudah menjadi azimat keberuntunganku; membuat hubunganku dengan Binar semakin indah dan membahagiakan, dan membuat karier menyanyiku makin cemerlang. Betapa tidak; aku tak pernah lagi kekurangan waktu beristirahat. Aku selalu punya banyak waktu untuk tidur nyenyak sekarang ini. Tidak hanya itu, kebersamaanku dengan Binar semakin sering dan kami berdua semakin dekat saja.
Kupikir Binar juga sama herannya dengan semua penggemarku. Namun, aku tentu saja tidak boleh menceritakan tentang Kandi pada mereka, termasuk Binar. Bukan karena Kandi melarangku, tetapi karena aku memang tak ingin melakukannya. Sepertinya keberadaan Kandi dalam hidupku kini seperti teka teki; dan aku tidak ingin salah menebak atau salah melangkah sedikit pun yang membuatku berpeluang kehilangan Kandi.
Pikiranku ini sedikit lucu dan ironis menurutku, karena aku kini lebih takut kehilangan Kandi daripada kehilangan Binar. Media memberitakanku betapa aku seperti tak pernah kelelahan, selalu energik dan bergairah. Seperti atlet kelas dunia yang tak pernah kekurangan obat kuat. Ya, obat-obat penjaga stamina mengantre untuk menggunakanku dalam iklan mereka.
Semua aktivitasku tampak sangat cocok dengan propaganda yang mereka jual kepada publik. Tanpa mereka ataupun publik ketahui betapa aku kini memiliki Kandi yang bisa memotong waktu perjalanan dan kerjaku yang bisa berhari-hari jadi hanya satu dua detik saja. Aku bisa datang di suatu acara penting pukul 10 pagi, padahal aku baru bangun pukul setengah 10; atau berada di satu tempat pukul 8 malam dan setengah jam kemudian aku sudah menghadiri acara lain yang jaraknya 4 jam perjalanan bermobil. Sementara, tak ada seorang pun yang bisa melihat Kandi, maka tak akan ada satu biji mata pun yang menyaksikan bagaimana aku berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Termasuk Binar.
Kalau aku tak dianggap durhaka karena kurang bersyukur, hanya satu hal yang kusesali dari semua ini: Kandi tak bisa memindahkan Binar. Sebagai damchi, begitu ia menyebut dirinya sendiri—ia hanya bisa melayani satu orang saja, dan itu adalah aku. Betapa beruntungnya aku. Terima kasih, Tuhan.
Tapi mengapa Kandi tidak bisa membawa Binar bersamaku? Tapi itu hanya pertanyaan bodohku saja, Tuhan… jangan marah mendengar pertanyaan tak tahu diuntung dariku itu. Jangan ambil Kandi hanya karena aku sangat bodoh dan naif. Ah, tapi ini aku malah meragukan kebijaksanaan Tuhan; seolah Tuhan sebegitu pemarah dan perasanya. Aku yakin sekali Tuhan memahami pertanyaanku, sekaligus merasakan rasa syukur tak terhinggaku karena kehadiran Kandi. Semua ini hanya gara-gara aku menyelamatkan seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya di sebuah bandara. Apakah pahala ini sepadan dengan hal remeh yang kulakukan itu, Tuhan?
Semua keajaiban yang dilakukan Kandi seperti obat mujarab untuk luka-luka di hatiku yang awalnya kupikir tak akan pernah bisa disembuhkan apa pun. Beberapa lagu sedih mendayu yang kuciptakan adalah ungkapan semua luka itu. Jadi, aku seharusnya tak perlu menyesali sisi gelap hidupku, karena semua itulah yang memberiku terangnya dunia sekarang ini.
Adikku pernah memprotes lagu "gelap"-ku yang ternyata menjadi hit dan disukai ratusan orang di seluruh dunia. Menurutnya, seharusnya aku menulis dalam diari atau "curhat" kepada seorang sahabat dekat saja daripada menulis lagu yang menerbitkan syak wasangka publik. Betapa rumitnya. Bukankah ini sudah jadi hak khususku sebagai penyanyi untuk mengungkapkan isi hati dan kepalaku lewat syair lagu yang kunyanyikan? Mengapa harus membatasi diri dalam berkarya? Kukatakan pada Carra bahwa itu bodoh. Biarkan saja orang berasumsi apa pun tentang syair laguku, benar atau tidak asumsi mereka, tidak penting bagiku.
Mungkin sebagian orang akan merasa lega dengan menceritakan isi hatinya kepada sahabat, tapi selama ini, aku hanya punya kekasih yang juga sahabatku; Binar. Dia saja. Ketika isi hati dan kepalaku berhubungan dengannya, lalu aku harus mencari sahabat lainnya, bukan? Dengan jadwal dan pekerjaanku, bagaimana aku melakukannya?
Aku tak pernah punya sahabat yang sebaik Kandi sebelumnya. Ah, bodohnya aku. Tentu saja. Tidak akan pernah ada manusia yang bisa memberikan semua yang Kandi berikan padaku. Kepatuhannya, dedikasi dan totalitasnya melayaniku, dan tak pernah membuatku menunggu. Ia selalu ada dan siap membantuku, melayaniku, melakukan semua yang kuminta. Bagusnya, dengan kualitas menghamba seperti itu, Kandi tidak seperti robot tak berhati. Meskipun aku tak bisa mendengar isi pikirannya seperti yang ia lakukan padaku, aku bisa merasakan bahwa Kandi memiliki perasaan yang halus dan penyayang.
Kandi peri yang hebat. Ia punya dua anak yang pintar dan luar biasa, dan seorang sahabat yang membantunya membesarkan dua anaknya itu, namanya Dayu. Ketika kami bertemu di tempat tinggal Kandi di lereng gunung, perempuan itu seperti mencemburuiku. Ah, Dayu itu mengingatkanku pada Binar.
Mungkin suatu saat nanti, kalau dunia sudah tak membutuhkan penampilan dan nyanyianku, aku ingin bersama Binar membeli rumah di lereng gunung dan membesarkan anak-anak kami seperti Dayu dan Kandi. Kehidupan seperti itu sepertinya menakjubkan. Mungkinkah aku akan merasakan kebahagiaan seperti Kandi ini?
Salah satu masalah terbesarku dulu ketika masih ada Simon adalah kurangnya waktu tidur dan waktu istirahatku, sehingga aku tidak punya cukup energi untuk selalu bersikap sabar dan pengertian pada sekelilingku. Sebelum ada Kandi, aku merasa penjara hidupku yang bernama ketenaran dan kemewahan ini begitu berat menekanku, tapi tak mungkin juga melepaskan diri darinya. Kandi menyelesaikan semua masalah itu.
Namun, bukan itu yang terhebat yang Kandi lakukan padaku, tetapi karena Kandi, aku juga bisa dengan mudah mendampingi Binar bekerja pada waktu-waktu tertentu. Menambah frekuensi kebersamaanku dengan Binar.
Apalagi kemudian aku dan Binar memutuskan agar berada di bawah manajer yang sama, Kharisma. Sudah tidak perlu lagi menyiapkan pertemuan-pertemuan terselubung dengannya, karena Kharisma lebih mudah mengatur segala sesuatunya, ditambah Kandi yang memudahkanku pergi ke mana pun dan kapan pun aku mau. Kandi membebaskanku dari penjaraku tanpa aku harus "keluar dari penjara"-nya. Sesuatu yang luar biasa, bukan… Sesuatu yang sulit kuceritakan pada Binar atau Kharisma, karena mereka tidak akan pernah memercayainya. Mungkin Kandi akan menjadi satu-satunya rahasiaku dari Binar.
"Apa yang akan terjadi kalau Binar bisa melihatmu?" tanyaku pada Kandi suatu hari. Kandi menggeleng dengan wajah lucu menggemaskan. Kucubit pipinya sambil tertawa. Kandi tidak mengiyakan dan tidak bilang tidak, tetapi aku sudah membayangkan jika khayalanku terwujud. Binar dan aku mungkin bisa pergi ke tempat-tempat indah yang kami inginkan. Mungkin saja aku bisa menjadi lebih berbahagia dari hari ini.
Namun, kemudian aku teringat apa yang dikatakan Dada, bahwa terlalu bahagia itu serakah, dan kita harus siap untuk menangis pedih membayarnya. Apa yang bisa membuatku menangis pedih selain kematian? Atau jangan-jangan, ketika aku sampai pada puncak kebahagiaanku di muka bumi ini, aku akan langsung mati dan kehilangan semua yang saat ini kucintai, karena sudah kehabisan jatah bahagia.
"Kau tak bisa mati karena bahagia. Kau bisa mati karena jantungmu berhenti bekerja atau bekerja terlalu keras." Kandi membaca isi pikiranku lagi.
"Kau suka Binar tidak?" tanyaku menggodanya.
Secara penampilan Binar lebih gagah dan perlente, karena dia sangat suka berolah raga. Tidak seperti aku yang malas ke pusat kebugaran. Aku mendekatkan wajahku ke wajah Kandi untuk melihat roman mukanya dari dekat, dan menatap matanya lekat-lekat. Katanya mata tak bisa berdusta, dan aku ingin melihatnya berdusta.
Tapi Kandi berkata bahwa ia tak suka Binar, kepalanya menggeleng, sorot matanya serius. Aku hampir bertanya lagi untuk mendesaknya, tapi kuurungkan. Kalau bukan Kandi yang berkata tidak suka pada Binar, aku pasti akan memaksa mereka untuk menjelaskan dengan gamblang alasannya. Karena bagiku tidak menyukai Binar itu ketidakwarasan. Bagaimana mungkin? Lelaki bersuara merdu dengan wajah seganteng malaikat, hatinya begitu baik hingga kau merasa kotor dan minder di dekatnya.
Kau tak bisa tidak menyukai Binar! Tetapi Kandi mengatakannya begitu saja, seolah tanpa pretensi apa pun. Kelugasan Kandi membius otakmu, membuatmu merasa apa pun yang dikatakannya adalah kebenaran mutlak yang tak layak kau ragukan. Apakah aku takut mendesaknya? Tidak. Aku hanya tidak ingin mendengar jawabannya.