"Kandi, aku ingin melihat Binar…" katanya tiba-tiba. Melihat, bukan menemui. Baru tebersit di kepalanya betapa merananya perasaan Binar saat ini, sementara dia tak ada di sisi kekasihnya itu. Namun, mengapa Armein tak ingin menemuinya? Atau memeluknya? Mengapa hanya "melihat"? Aku tidak bertanya langsung padanya, tetapi Armein melihat raut wajahku dan dia paham bahwa aku keheranan.
"Aku ingin tahu apa yang dipikirkannya tentangku gara-gara semua rumor ini? Lagi pula, dalam kondisi seperti ini, akan sulit baginya untuk berhadapan denganku langsung, Kandi… aku hanya ingin melihatnya dari kejauhan, memastikan dia baik-baik saja… ataukah tidak baik-baik saja…" pintanya. Aku memahami perintahnya dengan baik. Aku membawanya tepat ke depan rumah Binar.
Ruang depannya terang benderang, ada banyak tamu sepertinya. "Orang tua Binar, dan kakak adiknya…" ujar Armein tanpa aku tanya. Armein tetap berada di balkon sepi rumah di seberang jalan, sekitar 50 meter dari ruangan terang itu. Tubuhnya terlihat tegang, kedua tangannya mencengkeram erat besi pagar balkon.
Matanya terkunci pada ruangan terang di seberang jalan yang terlihat meriah, dan ada Binar di dalamnya. Aku mendekati ruangan terang benderang itu tanpa perintah Armein; dia tak ingin ikut mendekat, meskipun aku bisa menjamin bisa membuatnya tak terlihat oleh orang-orang yang sedang mengelilingi Binar. Seperti ada ketakutan di dalam hatinya yang tak kumengerti karena tak terbahasakan oleh Armein sendiri. Dia cemas, galau, dan takut. Namun, sangat ingin tahu.
Aku mendengar dan melihat bagaimana semua orang lainnya berusaha untuk berbicara dengan nada emosional kepada Binar. Tiga orang perempuan menangis di antara tiga lelaki dewasa lain, Binar entah mengapa kemudian berpindah membelakangi jendela, sehingga aku juga berpindah ke dalam ruangan terang itu untuk melihat lebih jelas mimik wajah Binar. Saat aku berpindah itulah kulihat Armein berjalan mendekat dengan langkah cepat ke rumah Binar. Aku segera keluar lagi menghampirinya.
Di kepalanya; "Bagaimana kau membuatku tak terlihat, Kandi?" akhirnya rasa penasaran telah mengalahkan semua kegalauan dan ketakutannya. Mungkin karena emosi yang meledak-ledak di dalam dadanya juga. Armein merasa tak kuasa menahan diri melihat Binar seperti sedang diinterogasi, dia membayangkan apa yang mungkin dirasakan dan dipikirkan kekasihnya itu saat ini. Sebagian darinya merasa ingin berada di samping Binar dan menjadi kekuatan baginya, tetapi sebagian lainnya meragukan keinginan emosional itu; meragukan apakah itu akan menjadi kekuatan bagi Binar atau malah membuat situasinya semakin buruk.
Aku membawanya ke bawah pohon Bodhi di samping gerbang rumah Binar untuk mendiskusikannya. Terlihat dua mobil yang berisi paparazi hanya beberapa meter dari pagar, kukatakan itu pada Armein. Wajahnya langsung pucat.
Namun, kukatakan pada lelaki istimewaku ini bahwa delapan paparazi di dalam dua mobil itu tak akan pernah tahu kalau Armein berjalan memasuki halaman rumah Binar. Mereka tak akan pernah mengiranya, karena tak melihat mobil Armein, selain itu mereka saling berkomunikasi dengan teman-teman sejawat mereka yang sedang mengintai di luar apartemen Armein. Mereka mengira Armein ada di dalam apartemennya. Mendengar penjelasanku, Armein terlihat lebih tenang. Dia tak takut menghadapi paparazi, hanya tak ingin konsekuensinya melukai Binar lebih dalam. Lalu kukatakan padanya bahwa untuk masuk ke dalam ruangan terang berisi Binar dan keluarganya tanpa terlihat dia harus memelukku erat, dan menempelkan erat batu hijau nuye-nya dengan batu berwarna sama di bagian tengkukku. Biyijun.
Kalau sampai terlepas, aku tetap tak terlihat, tapi mereka semua akan bisa melihat sosoknya. Selama Biyijun, dia bisa mendengar dan melihat semuanya, tanpa orang-orang di ruangan itu mengetahui bahwa Armein melihat dan mendengarkan semuanya. Armein memahami instruksi yang kuberikan. Dia bahkan mempraktikkannya beberapa kali, memastikan bahwa letak batu nuye-nya tidak akan terlepas dari batu hijau yang sama di tengkukku.
Pada praktiknya, tidak mudah menjaga agar dua batu hijau itu tetap bersentuhan di tengkukku, karena tinggi tubuh kami berbeda. Andai saja Armein tidak lebih tinggi dariku, mungkin dengan mudah dia hanya akan menempelkan pergelangan tangannya di tengkukku. Akhirnya posisi yang paling memungkinkan untuk kami adalah Armein memelukku dari belakang dengan tangan setengah mencekikku. Aku tidak merasa dicekik, dan Armein merasa nyaman.
Ketika kami bersiap untuk melakukannya, pintu rumah Binar tiba-tiba terbuka. Armein seketika mematung, di bawah keremangan pohon dia menyaksikan Binar keluar dari rumahnya terlihat gusar dan emosional, kedua tangannya terkepal, kepalanya mendongak seperti menahan diri untuk mengumpat. Lalu seorang perempuan tua—kutebak ia adalah ibunya Binar, sambil menangis memeluk Binar dari belakang.
Wartawan-wartawan gosip yang berada di dalam kedua mobil itu berlompatan keluar dan memburu bagian depan rumah Binar dengan kamera-kamera jahat mereka. Armein melihat itu. "Kandi, lakukan sesuatu!" pinta Armein dengan suara tegas. Dia tak ingin mereka mendapatkan foto adegan yang sangat emosional antara Binar dengan ibunya.
Aku melihat ke sekeliling, lalu tepat beberapa detik sebelum gerombolan paparazi itu memijit tombol shutter mereka, 3 ekor dogo dan 2 ekor pitbull di dalam kandang tetangga Binar kupindahkan tepat di depan gerombolan paparazi itu. Armein tertawa melihat kamera-kamera besar berlensa panjang mereka berjatuhan, bergelimpangan, dan sebagian bahkan terlempar tertendang anjing-anjing yang tak kalah kagetnya dengan mereka itu.
Betapa tidak, mereka sedang asyik merenung dan sebagian sudah terkantuk-kantuk setelah kekenyangan—aku melihat piring-piring bekas makan mereka di sekitar mereka tadi—dan mereka tidak sempat mengaing sedikit pun, tiba-tiba saja mereka sudah berada di depan pria-pria berkamera panjang itu. Tentu saja mereka menggonggong dengan beringas dan menerkam karena terkejut dan merasa terancam, bukan karena mereka jahat.
Binar melihat keributan di halaman rumahnya. Beberapa penjaganya sudah langsung berlarian menghampiri keributan itu. Binar dan ibunya juga jadi terlihat tegang; dia refleks menutupi wajah ibunya dengan tubuhnya, lalu mendorongnya masuk kembali ke dalam ruangan yang terang itu. Armein melihat apa yang Binar lakukan, dan berpikir untuk segera pergi dari sana, karena dia tahu setelah memastikan ibunya aman di dalam ruangan, Binar akan keluar menghampiri pusat keributan itu. Dia bukan laki-laki penakut yang hanya ingin berlindung di balik para bodyguards, menurut Armein. Binar akan dengan gagah berani menghadapi keributan itu. Dan dia bisa melihat Armein di situ. Lalu seperti apa yang Armein inginkan di kepalanya, aku langsung membawanya kembali ke apartemennya ketika beberapa penjaga rumah Binar berlarian mendekati pagar.
Dua detik kemudian di dalam kamar apartemennya. Armein membantingkan tubuhnya ke atas sofa dan menangis. Kegalauan Armein memuncak karena dia telah melihat Binar menderita dan gusar seperti tadi. Tapi disisi lain, Armein merasa inilah saatnya untuk mereka berdua berterus terang pada dunia bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
'Biarkan saja mereka yang tidak setuju dan menghujat kita, Binar… biarkan saja…' ungkapan hati Armein yang tak didengar Binar. Kalaupun karierku harus hancur sekalipun aku tak peduli! Kita punya cukup uang untuk hidup damai tanpa semua kewajiban menjadi seperti apa yang publik inginkan!' jeritan hati Armein kepada Binar. Yang sekali lagi, tak mungkin Binar dengar.
Jeritan itu lebih seperti syair untuk nyanyian tangisnya. Aku hanya bisa menyaksikan dan menunggu Armein memerintahkanku melakukan sesuatu. Namun, dia hanya menangis di atas sofa. Pikirannya galau dipenuhi amarah dan penyesalan. Jeritan hatinya membutuhkan Binar berada di pelukannya saat ini juga. Sesuatu yang mustahil.
Lalu telepon genggam Armein di atas meja menyala. Binar menuliskan pesan pendek: Kamar Suci. Itu adalah kamar di lantai 4 gedung rumah produksi Kharisma, yang kunci cadangannya dipegang Binar dan Armein. Suci adalah orang kepercayaan Kharisma yang mengurus segala hal tentang keuangan manajemen artis mereka.
Tak ada seorang pun yang boleh masuk ke kamar itu selain Suci, Kharisma, Binar, dan Armein. Suci dan Kharisma sedang berada di Singapura. Aku tak minta pertimbangan Armein lagi. Lelaki istimewaku yang sedang merana itu kubawa saat itu juga ke kamar Suci.
"Apakah kau ingin aku pergi dan menunggumu memanggilku lagi, Armein?" tanyaku. Armein memandangiku lama. Pikirannya kosong, dia tak sedang berpikir. Aku hanya bisa merasakan dia meragu. Antara membiarkanku pergi dari kamar itu, atau membiarkanku menyaksikan apa pun nanti pembicaraannya dengan Binar di kamar itu. Kemudian, tebersit dia ingin aku menyaksikan apa yang akan dia katakan pada Binar, hanya agar aku bisa memberinya pertimbangan sesudahnya nanti.
Kukatakan padanya, kenapa tidak nanti dia ceritakan saja padaku. Jawaban darinya adalah karena aku mungkin akan melihat sisi lain Binar yang tidak bisa dia lihat. 'Kau tahu, Kandi… mencintai seseorang dengan seluruh jiwa dan raga membuat beberapa organ tubuhmu jadi tidak berfungsi normal. Telingamu jadi tak berfungsi mendengar sesuatu yang buruk tentang orang yang kau cintai. Logikamu berhenti di level tertentu, kemampuanmu untuk bersikap netral hilang, dan matamu tak mampu lagi melihat yang sesungguhnya selain dari yang sangat kau harapkan. Aku membutuhkan mata, otak, dan logikamu yang netral'; itu yang dia perintahkan, aku tentu mematuhinya. Ya, aku netral.