Armein yang lebih riang dan aktif berlari ke sana kemari jadi terlihat seperti anak tertuaku. Seperti Ray dan Langit, Armein juga menuntut untuk berada di ranjang yang sama denganku saat tidur. Kami berpelukan berempat hanya untuk tidur.
Lalu saat aku dan Dayu mempersiapkan makan pagi, Armein akan bermain bersama Ray dan Langit, tertawa-tawa keras, dan bersenda gurau. Saat Langit dengan manja minta kusuapi, Ray dan Armein juga akan membuka mulut mereka minta kusuapi. Aku bisa melihat Ray juga jadi lebih riang dengan keberadaan Armein. Meskipun Dayu sering terlihat agak merengut karena cemburu pada perhatianku pada Armein, tetapi ketika kami menonton matahari tenggelam—saat ketika Dayu sering mengatupkan kedua tangannya dan berdoa—aku mendengar Dayu mengucapkan doa untuk keselamatan dan kebahagiaan Armein juga, yang dijulukinya 'anak bongsor.'
"Mereka bertiga jadi seperti seumuran saja, hanya beda ukuran…" komentar Dayu melihat keakraban Armein dengan Ray dan Langit. Lalu yang lebih membahagiakan adalah Armein jadi jarang melamun dan sudah lebih banyak makan, berenang, tertawa, dan tersenyum. Pertanyaan Karambi tentang apakah Armein akan bersama kami selamanya di Angkak sebagaimana yang kuinginkan, tidak bisa kujawab. Aku hanya tersenyum dan berujar,
"Aku hanya seorang damchi…"
Ya, menarik sekali ketika aku bisa mendengar apa pun yang menjadi fokus pikiran Armein, tetapi hari-hari ini tak ada yang bisa kudengar dari kepalanya. Apakah karena Armein tidak berpikir—dia tampak bahagia dan menjalani keseharian dengan riang tanpa beban pikiran; sepertinya tak ada yang harus dia pikirkan, atau aku yang tidak mampu mendengarkannya; karena aku bahagia dan tak ada beban pikiran.
Entahlah. Perubahan ini lebih terasa setelah insiden Armein melupakan biyijun kami, dan itu membuat Binar sempat melihat Armein melayang di sudut kamarnya selama beberapa detik. Sepertinya Armein sangat kalut memikirkan kemungkinan apa yang dipikirkan Binar sesudah insiden itu. Dia lalu memintaku mengintip apa yang terjadi dengan Binar setelah melihat sosoknya di kamar itu.
Perasaan Binar terguncang melihat sosok Armein melayang di sudut kamar rumah sakit ketika dia sedang berpelukan mesra dengan Lisa, istrinya. Logikanya berkata bahwa apa yang dilihatnya itu hanyalah halusinasi dari rasa bersalahnya kepada Armein. Dia berusaha sendiri menghilangkan guncangan batin itu dengan meminta Lisa meninggalkannya sendirian di kamar untuk beristirahat.
Sepeninggal Lisa, Binar melepaskan sesak di dalam dadanya dan menangis meraung-raung sejadi-jadinya, tetapi dengan suara yang ditekan sepelan mungkin. Dia tak ingin memercayai penglihatannya, tetapi bayangan Armein begitu nyata di dalam benaknya. Rasa sakit hati melihat wajah Armein meski hanya beberapa detik sementara dia berada di dalam dekapan Lisa, demikian besar dan kuat, mengalahkan rasa penasaran dan logikanya yang mempertanyakan apakah dia tadi berhalusinasi atau tidak.
Aku menyaksikan Binar menangis karena pedihnya rasa bersalah selama berjam-jam. Begitu hancur hatinya. Aku tak mungkin mengatakan semua itu pada Armein karena aku tahu itu akan menghancurkan hatinya juga. Namun, aku seorang damchi yang tidak boleh membohongi manusia istimewaku. Maka, dalam hati aku berharap Armein tidak akan menanyakan detail tersebut. Kalau Armein tidak bertanya, maka aku tak harus menceritakannya.
Kembali ke apartemen Armein, aku melihat Armein sudah menungguku di balkonnya. Tapi aku tidak membaca kegalauan atau penasaran dari kepalanya. Yang terdengar olehku hanya rasa senang karena aku sudah kembali kepadanya. Pikirkannya dipenuhi rasa bahagia karena aku sudah berada di sana; di apartemennya lagi bersamanya. Padahal aku waswas berharap dia tak menanyakan apa yang terjadi dengan Binar setelah insiden di dalam kamar rumah sakitnya tadi. Aku tak boleh berdusta padanya, tapi aku juga tak ingin hati Armein hancur mendengar apa yang sesungguhnya terjadi dengan Binar.
Armein bertanya apakah Binar "baik-baik" saja. Aku sempat ragu-ragu menjawabnya, karena aku tak ingin berdusta dan Binar tidak baik-baik saja, dia menangis berjam-jam. Tapi kemudian Armein tak menunggu jawabanku, ia langsung bertanya lagi apakah Binar tidak histeris hingga diberi perlakuan khusus karena dianggap gila, dan dikelilingi banyak petugas medis. Aku menggelengkan kepala menjawabnya. Lalu Armein menghambur memelukku dengan erat, tanpa bertanya lebih jauh lagi.
"Kandi, aku senang kau kembali. Aku tak ingin kehilanganmu…" bibirnya mengucap itu, tapi yang kudengar dari benaknya adalah, 'Kandi, aku mencintaimu…'
Pernah sekali waktu Armein memintaku hanya berdua saja di bawah ceruk tebing Bianwiba, lereng gunung di selatan Angkak yang menjadi tempat mengobrol favorit kami berdua karena tebing-tebing batunya. Kami bisa melihat rumah Angkak dan semua kesibukannya.
Seperti biasa dia akan memintaku duduk menyandar ke batu dan dia berbaring di atas pahaku sebagai bantalan untuk kepalanya. Kupikir, dia akan menceritakan lagi padaku momen-momen indah masa kecilnya, menungguku tertawa lebar untuk memasukkan telunjuknya ke dalam mulutku; caranya menggodaku. Namun, sore itu dia terlihat lebih serius. Meskipun dia tetap membawa semangkuk makanan hasil masakan Dayu di tangan kanannya.
Armein senang sekali mengunyah makanan saat dia bahagia, sampai Dayu pernah mencandainya dengan menyebutnya mesin pengunyah.
"Kau akan berakhir sebagai lelaki gendut tua yang perutnya menyimpan banyak makanan, dan kau akan mati kekenyangan!" goda Dayu yang membuat Armein memburunya dan berpura-pura siap memiting kedua tangannya kalau Dayu tidak meminta maaf. Meskipun Armein tahu bahwa Dayu mencandainya, tetapi dia merasa harus menjelaskan padaku dengan wajah serius dan mata bulatnya terbelalak untuk mengesankan betapa serius apa yang diucapkannya;
"Aku serius Kandi, aku bisa makan tanpa henti sejak pagi sampai pagi lagi, tapi aku tak akan pernah bisa buncit dan gendut!" katanya dengan mimik muka menggemaskan. Aku mempercayainya, tapi Dayu menertawakannya.
Di Bianwiba sore itu Armein sedang ingin berkontemplasi,
"Kandi, aku jadi sering bertanya-tanya dalam hati, perbuatan baik apa yang sudah kulakukan di masa laluku sehingga Tuhan mengirimkanmu padaku…"
Pertanyaan yang tak bisa kujawab itu bukan yang pertama. Armein sering mengatakannya, dan biasanya berujung pada cerita masa kecilnya bersama Nana dan Dadanya. Namun, kali ini tiba-tiba saja dia mengingat sesuatu…
"Kandi, aku ingin bertemu gadis kecil yang pernah kutolong di bandara itu…"
"Kenapa?"
"Gadis itu yang membuatmu terkirim padaku, bukan?! Aku ingin berterima kasih kepadanya. Sekali saja. Aku takut, aku tiba-tiba mati karena terlalu bahagia di sini, di Angkak bersamamu, Ray, Langit, dan Dayu; dan tak sempat mengucapkan terima kasih padanya."
Aku langsung membawanya ke Omachi, untuk menemukan Au, gadis kecil yang diselamatkan Armein di bandara, 2 tahun yang lalu. Gadis itu kini sudah lebih besar dan bersekolah, tetapi ia terlihat pemurung. Gadis itu memiliki bibir yang cantik seandainya ujung-ujungnya terangkat naik ke atas.
Namun, seperti poni hitamnya yang nyaris menutup kedua mata, ujung bibirnya juga turun ke bawah, membuat dagu mungilnya terlihat seperti benjolan yang memar merah di ujung wajah berbentuk telur itu. Ujung-ujung rambut hitam lurusnya menyentuh bagian atas bahu. Kepalanya tampak berat karena posisinya yang setengah menunduk. Meskipun terlihat murung, tapi Au tetap terlihat seperti gadis manis yang usianya mungkin hanya beda tiga atau empat tahun lebih muda dari Ray. Mungkin sekitar 7 tahunan. Seorang perempuan berambut pendek duduk di depannya, Armein tidak mengenalinya.
"Itu bukan ibunya yang kutemui di bandara, Kandi!" seru Armein dengan nada cemas. Dia mencemaskan wajah murung Au.
Kami melakukan Biyijun, lalu mendekati keduanya. Au ternyata sedang berbicara dengan seorang petugas sosial pendamping dari sekolahnya. Rupanya gadis itu baru saja membuat masalah di kelasnya, sehingga petugas itu merasa harus mengajaknya bicara empat mata untuk tahu alasan yang membuat Au melakukan keonaran di kelas. Armein tampak tertular kesedihan Au ketika mendengarkan langsung apa yang dikatakan petugas itu kepada Au.
Rupanya gadis itu menolak untuk berbicara sama sekali, bahkan sudah berhenti berbicara pada siapa pun termasuk "orang tua'-nya dalam 2 bulan terakhir. Si petugas sosial berkata bahwa ia ingin membantu Au, tetapi ia meminta Au mau bekerja sama dengannya dan mulai berbicara padanya.
Gadis manis itu diam seribu bahasa. Matanya menunjukkan kesedihan yang sulit dipahami, tetapi begitu terasa pedihnya. Yang tidak bisa didengar Armein dan petugas sosial itu adalah kenyataan pahit yang dialami Au yang membuat benaknya sangat kalut dan ia memutuskan berhenti berbicara. Aku kemudian mendengar kegalauan Au yang menguasai pikirannya itu. Ibundanya baru menikah lagi dengan seorang lelaki yang memiliki anak perempuan seusia Au. Mungkin ibunya Au berpikir menikahi seorang lelaki yang memiliki anak perempuan sebesar Au adalah solusi hidupnya. Mungkin dipikirnya Au akan senang dengan seorang gadis lain seusianya tinggal serumah dengannya.
Nyatanya Au justru merasa ibu kandungnya lebih mengasihi gadis itu--anak tirinya, dan ia merasa kehidupannya hancur. Setelah Au dituntun masuk kembali ke dalam kelas, kuceritakan semua yang kudengar dari kepala mungil itu. Armein menangis. Katanya Au malang sekali nasibnya.
Setelah pernah hampir kehilangan ibunya di bandara dulu, ia kini benar-benar merasa kehilangan ibunya yang menikahi lelaki yang punya anak perempuan seumuran Au. Lelaki istimewaku merasa sangat berhutang budi pada gadis itu sehingga dia memaksaku untuk menolong Au dengan segala daya upaya yang kami bisa. Apa pun yang diinginkan Armein adalah perintah bagiku.
Kami membuntuti Au yang pulang ke rumahnya. Ibu, ayah tiri, dan saudara tiri Au ternyata bersikap sangat baik dan sayang pada Au. Namun, gadis itu tetap menolak berbicara pada siapa pun. Dan itu membuat ibunya sangat sedih. Saat semua orang di rumah Au mengajak anak itu untuk berkumpul di depan televisi menonton satu film yang membuat mereka semua tertawa-tawa, Au menyelinap ke halaman belakang rumahnya dan duduk sendirian di atas ayunan.
Kesedihan di mata Au menghancurkan perasaan Armein. Awalnya dia tak tahu harus melakukan apa. Tepat ketika mata Au terlihat meneteskan air mata, Armein memutuskan untuk melepas Biyijun-nya dariku, dan membuat sosoknya terlihat jelas oleh Au.
"Kandi, aku akan melakukan apa yang diajarkan Ray padaku…" katanya.
Gadis itu berdiri dari ayunannya, terlihat sangat terkejut melihat Armein. Ia tahu siapa Armein, tetapi kemunculannya yang tiba-tiba mengejutkannya. Tapi gadis itu terkejut dengan perasaan senang, dan Au langsung berlari menghambur ke dalam pelukan lelaki istimewaku. Armein memeluknya sambil sekuat tenaga menahan tangisnya sendiri.
Lalu, Armein melakukan apa yang diajarkan Ray padanya, tentang pelukan yang menyembuhkan. Kedua tangannya menekan 2 titik di bahu Au, lalu menyilangkan kedua tangannya dan mendekap tepat di punggung kiri Au. Cahaya kehijauan muncul dari tanah yang dipijak Armein, menjalar naik ke tubuhnya, dan keluar dari lengan Armein dan turun ke jemari tangannya, lalu menjalari tubuh gadis itu. Armein berbisik di telinganya,
"Jangan sedih, jangan takut. Ibumu sangat mencintaimu melebihi siapa pun di dunia ini. Bukalah hatimu, dan jadilah gadis pemberani. Berbahagialah…"
Cahaya kehijauan energi yang Armein keluarkan itu melingkari tubuh Au, lalu menjadi bola api kehijauan di atas kepala Au—tapi Armein tidak melihatnya; dan melesat turun ke dalam dada Au, memasuki jantungnya.
Armein segera melepaskan pelukannya ketika mendengar ada langkah orang mendekat dari dalam rumah. Dia bergegas menempelkan nuye-nya, dan kami kembali biyijun.
Au melihat sosok Armein melangkah mundur dan menghilang dari pandangannya. Orang-orang yang datang mendekat itu adalah ibunda Au dan ayah barunya. Mereka mencari-cari Au, dan begitu melihat Au berdiri di halaman belakang rumah mereka sambil matanya mencari-cari sesuatu di langit, mereka langsung menghambur memeluknya. Au kemudian berteriak melihat ibu dan ayah tirinya;
"Aku didatangi malaikat! Malaikat yang dulu pernah menyelamatkanku!"
Ibunda Au dan ayah tirinya langsung saling berpandangan terkejut dan tersenyum mendengar teriakan Au. Mereka lalu tampak sangat bahagia dan memeluk Au bersama-sama. Ya, gadis kecil itu tiba-tiba saja berbicara setelah beberapa bulan mogok bicara.
Armein menangis bahagia melihatnya. Aku memeluk lelaki istimewaku. Merasa bangga dan bahagia karena ternyata dia juga memiliki kemampuan yang sama dengan Ray. Kuceritakan padanya apa yang kulihat saat dia memeluk Au. Armein terbelalak dengan wajah berbinar-binar bahagia, mendengarkan semuanya.
"Kandi, aku ingin memeluk banyak orang. Menyembuhkan mereka, dan membuat mereka tersenyum lagi…"
Itulah kemudian yang terjadi. Armein kecanduan memeluk orang-orang yang pernah dikenalnya, ataupun yang belum pernah dikenalnya secara personal; yang terlihat murung dan sedih olehnya. Kalau sebelumnya Armein menggunakanku untuk mengunjungi tempat-tempat indah yang tak terjangkau manusia, dia kemudian "menggunakanku" untuk berpindah ke tempat-tempat dimana manusia-manusia terluka membutuhkan pelukannya.
Beberapa orang yang hampir menyudahi hidupnya sendiri, Armein selamatkan dengan pelukan yang dipelajarinya dari Ray. Tanpa disadari olehnya sendiri, Armein memiliki kekuatan batin yang sebenarnya berbeda dari Ray. Meski bagaimana cara memeluk yang menyembuhkan itu dipelajarinya dari Ray, tapi ketika Armein melakukannya sendiri, pendaran energi yang keluar dari tanah yang dipijak Armein tidak sama dengan Ray.
Tidak hanya itu. Jika Ray memiliki kekuatan menarik energi berwarna ungu yang kemudian meledak jadi ratusan garis-garis cahaya kecil saat menyembuhkan, Armein menarik energi berwarna hijau yang berubah menjadi bola api hijau kecil sebelum menyembuhkan.
Karambi tidak bisa menyebutnya bogwan; atau kemampuan kami para damchi menenangkan atau memulihkan manusia istimewa kami ketika mereka kalut dengan menggunakan seluruh tubuh kami sebagai perantara energi langit kepada tubuh manusia. Tapi menurutnya, apa yang bisa dilakukan Ray dan Armein sepertinya sama; manusia menggunakan energi terbaik ibu bumi untuk memulihkan "keretakan" di dalam batin manusia lain.