Tubuhnya basah oleh keringat, suaranya tersengal-sengal; aku yakin dia baru saja bermimpi buruk. Di tangan kirinya ada teh lavender yang tadi kubuat untuknya. Dia memindahkannya ke lemari di samping ranjang.
"Kau tidak meminumnya?" tanyaku sambil menyalakan lampu kamar.
Di tempat Armein ini masih jam 4 pagi, langit masih gelap di luar sana.
"Aku mimpi buruk!" ucapnya lirih. Lalu meminum teh lavender buatanku.
Tiba-tiba dari arah pintu terdengar suara.
"Halo? Ada orang di dalam?"
Armein melepaskan cangkir teh, benda itu jatuh ke atas selimut, sementara kedua tangan Armein langsung mencengkeram tanganku. Aku mengelus lembut 3 batu merah yang tersemat di lengan kiriku, untuk membuat tubuhku tak terlihat oleh orang selain lelaki istimewaku. Orang yang berada di balik pintu itu mendobrak pintu kamar Armein dari luar dan langsung menerobos masuk. Armein menjerit, memandangiku dengan sorot mata ketakutan, benaknya menjeritkan permintaan tolong padaku untuk membawanya pergi dari situ, dan ternyata si pendobrak itu tidak sendirian. Beberapa orang lain berdatangan dengan seragam hitam. Sepertinya polisi. Tiga orang merangsek masuk, salah satunya menghampiri Armein.
Lelaki istimewaku itu menatap kepadaku sambil mengangkat gelang batu hijaunya. Tentu saja orang-orang yang baru datang itu tidak bisa melihatku, hanya sosok Armein yang menurut mereka terlihat bertingkah sangat aneh di atas ranjangnya.
Apakah seharusnya aku membawanya pergi dari sana, aku tidak yakin; orang-orang ini tampaknya tidak berniat jahat. Kuputuskan untuk tetap tak terlihat sambil memeluk bahunya mencoba menenangkan Armein, dan sepertinya dia batal ingin pergi dari tempat ini setelah melihat orang keempat yang berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Armien memekikkan rasa bahagia dan melepaskan cengkeramannya di lenganku.
"Moonlight!!!"
Itulah Binar yang dia tunggu-tunggu.
Mereka berpelukan tanpa memedulikan polisi-polisi berbaju hitam dan aku. Tidak sedikit pun Armein melihat ke arahku lagi. Dia langsung menghambur ke pelukan Binar. Aku ikut merasa senang karena artinya Armein tidak memerlukanku lagi sementara ini. Aku memandanginya ingin memberitahukan padanya bahwa aku akan kembali ke Angkak sementara dia bersama Binar. Tetapi Armein terlalu bahagia untuk melihat ke arahku lagi. Wajahnya terang oleh semburat bahagia, dan kedua matanya berbinar-binar. Mereka berpelukan, saling menyentuh.
Aku kembali ke Angkak. Bahagia oleh pemandangan bahagia yang kutinggalkan. Sampai kerinduan dua sejoli itu terpuaskan, aku akan puas bermain bersama anak-anakku dan memeluk mereka, pikirku.
Baru saja aku kembali ke tengah anak-anakku dan berniat menyanyikan lagu untuk Dayu, terdengar mantuley… Tapi Dayu sudah tak menyempatkan diri lagi melepas kepergianku; ia langsung memeluk Langit, menggantikan posisiku di atas ranjang, dan memunggungiku.
"Apa yang terjadi, Armein?" tanyaku sesampainya di depan lelaki istimewaku. Dia duduk di pinggiran balkon apartemennya dengan wajah kusut, seperti baru saja mengalami kekecewaan luar biasa.
"Bawa aku ke bukitmu…" pintanya dengan wajah kalut. Aku langsung melaksanakan keinginannya. Di amben yang dihangatkan matahari itu, Armein membaringkan tubuh dan menyilangkan tangannya ke belakang sebagai bantalan kepala.
"Kau bisa membaca pikiranku, kan, Kandi?" tanyanya masih dengan nada suara amat kesal. Tentu saja. Aku mendengar keluhan dan ratapan kecewanya sejak tadi. Polisi-polisi yang mendobrak pintu kamarnya tadi memang datang bersama Binar, tapi ternyata tidak hanya Binar..
Laporan kecelakaan mobil di jalan layang yang dialami Armein itu sudah menjadi headline di semua media. Ditambah ceracau polisi penyidik yang menceritakan bahwa satu-satunya yang selamat dari kecelakaan itu hanyalah Armein, si superstar, yang dibuktikan dengan foto selfie-nya di dalam ambulans bersama si polisi. Namun, kemudian si maha bintang menghilang dari pantauan si polisi, sehingga Binar yang tidak ingin ketahuan bahwa dia memiliki kunci apartemen Armein mengajak polisi untuk mendobrak pintunya.
Sampai di situ, lelaki istimewaku ini bercerita dengan nada sangat bahagia, dengan perasaan melambung ke langit ke tujuh. Namun, kemudian muncul yang tidak diketahuinya; Binar datang bersama manajernya, kedua orang tuanya, dan seorang gadis cantik kerabat jauh orang tua Binar—yang ternyata juga ikut, tetapi menunggu di dalam mobil di rubanah.
Mengetahui kedua orang tua Binar menunggu di rubanah, Armein seketika kecewa karena tidak bisa meminta Binar bermalam di apartemennya untuk menenangkan kegundahannya. Namun, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan kekecewaannya ketika mengetahui tentang gadis cantik bernama Lisa yang dibawa orang tua Binar. Armein merasa apa yang terjadi pada hidupnya dalam 24 jam terakhir tidak penting dan tidak menarik lagi.
Dia berkata ingin mengakhiri hidup. Selain keluhan dan ratapan itu, isi kepala Armein juga berisi banyak caci maki emosional kepada Lisa. Armein cemburu kepadanya.
"Kau menceritakan tentangku pada Binar?" tanyaku mencoba mengubah fokus pikirannya. Armein menggeleng dan kembali kepada kiamat di dalam kepalanya.
"Dia sempat menciumku, dan mengatakan kalau dia harus berpura-pura di depan kedua orang tuanya dan khususnya di depan perempuan itu. Dia ingin aku memahaminya dan jangan cemburu, katanya… bweh! Dan katanya lagi, besok setelah mereka bertiga kembali ke kota asal mereka, dia akan tinggal bersamaku selama yang aku mau. Tapi aku tetap kesal, Kandi!" gerutunya dengan wajah dan mata memerah.
Dadanya sesak oleh tangis kemarahan.
"Kau mau aku bernyanyi untukmu?" tanyaku.
Armein langsung terduduk seperti sangat terkejut, "Kau bisa bernyanyi?" Aku mengangguk sambil tersenyum. Apakah bagi penyanyi tersohor sedunia seperti dia, mengetahui ada makhluk lain di sekitarnya yang bisa bernyanyi sedemikian mengherankan?
Aku ceritakan kepadanya bahwa jika Ray, Langit, atau Dayu cemberut, menangis, atau kecewa, aku akan menyanyikan sesuatu kepada mereka, membuat rasa kesal di hati mereka berkurang atau hilang.
"Kau punya anak?!" tanya Armein dengan nada suara setengah menjerit. Sepertinya dia lebih terkejut mengetahui kabar itu daripada mengetahui bahwa aku bisa bernyanyi.
Jadi, alih-alih bernyanyi untuknya, aku menceritakan kisah hidupku pada Armein. Karena ceritaku panjang, aku menawarkan pangkuanku sebagai bantalan kepalanya, dan Armein menyetujuinya. Maka aku bercerita sambil membelai kepalanya, agar kesal dan pikiran kusutnya hilang. Armein menikmatinya, karena kemudian dia tertidur di pangkuanku.
Wajahnya begitu polos dan damai ketika tertidur pulas di pangkuanku. Dan aku bisa mendengar semua yang berkecamuk di kepalanya. Manusia memang makhluk yang sangat luar biasa, dalam keadaan tidur sekalipun pikirannya terus aktif. Armein memercayai apa yang dikatakan Binar, tetapi di saat yang sama dia juga tak mampu menghentikan rasa cemburunya. Apakah percaya pada seseorang juga berarti bisa bercampur dengan rasa ragu? Mengapa itu tidak pernah kurasakan pada Lamaar dulu? Menurutku sangat aneh Armein percaya betul pada apa yang dikatakan Binar dan semua alasan-alasannya, tetapi sekaligus merasa "insecure" dan sangat cemas jika Binar berbohong.
Dia juga merasa lega karena aku datang seketika dia memanggil lewat nuye-nya, dia merasa senang bisa meluapkan kekesalannya dan bisa memerintahkanku membawanya ke bukit ini, tempat yang jauh dari tempat tinggalnya, yang pemandangan alamnya sangat indah, udaranya bersih dan segar, dan semua yang dilihatnya di tempat ini membuatnya merasa tenang dan damai. Dan ternyata Armein juga sempat menyukai roman mukaku dan caraku bercerita. Menurutnya aku cantik dan baik. Bahkan di dalam tidurnya otaknya masih sempat memikirkanku.
Aku senang kalau orang istimewaku menyenangi keberadaanku dan puas dengan pelayanan yang kuberikan. Aku tetap membiarkannya tertidur lelap di pangkuanku, sambil membayangkan Dayu dan anak-anakku. Ray dan Langit mungkin sudah bangun dan ingin sarapan. Aku bisa membayangkan, Dayu disibukkan dengan semua permintaan Langit yang selalu menginginkan buah-buahan yang dia petik sendiri untuk sarapan paginya. Tapi aku tahu pasti Ray akan membantu adiknya merasa tenang dan damai, meskipun aku tak ada di samping mereka. Meskipun pahaku tempat mereka bermanja saat ini digunakan Armein untuk tidur nyenyak… Dia bahkan melingkarkan erat kedua tangannya di pinggangku. Armein pernah mengatakan padaku bahwa dia akan tidur lebih nyenyak jika memeluk sesuatu… kali ini pinggangku.
Armein terbangun beberapa jam kemudian saat langit sudah merah. Angin yang berembus di Bivan setiap matahari tenggelam terasa hangat dan menggoda orang untuk berdiri berlama-lama memandangi cahaya matahari terakhir sebelum gelap merengkuh bumi. Dia membuka mata indahnya dan langsung memandangi wajahku yang tepat berada di atasnya. Tangan kanannya meraih pipiku, mengelusnya, lalu dia tersenyum sangat indah.
"Hai, Kandi…" sapanya.
Aku membalas dengan senyuman dan membelai rambutnya. Armein tidak keberatan, dia bahkan memejamkan matanya saat merasakan tanganku membelai rambutnya, seperti sedang menikmatinya.
"Terima kasih, ya…" katanya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum, menunggunya bangkit dari pangkuanku. Di dalam hatiku, aku ingin masuk ke dalam rumah kecil yang dibangun Lamaar untukku, masuk ke dapurnya, menyiapkan minuman hangat untuknya. Namun, Armein tidak juga bangkit. Dia malah bermain-main dengan ujung rambutku.
"Aku masih tidak percaya kalau kau karma baikku, Kandi. Kukira seorang malaikat itu tidak akan memperlihatkan diri pada manusia—hanya membuat kita merasakan keberadaannya saja. Dan kukira malaikat baik itu mendampingi kita saat kita sudah mati…" bibir indahnya terus tersenyum sambil mengatakan itu.
"Aku bukan malaikat, Armein, aku damchi…" jawabku lagi, dan tentu saja membalas senyum indahnya.
"Mengapa kau terkirim padaku, siapa yang mengirimkanmu padaku? Aku tidak merasa sudah menjadi seorang pahlawan yang layak mendapatkan kamu… apa?...engg… maksudku seorang damchi; seperti ceritamu tadi…" Armein mengangkat kepalanya sedikit, hanya untuk mencium ujung-ujung rambutku. Dia lalu tersenyum lagi setelah melakukannya. Aku menangkap kebingungan di dalam benaknya beberapa saat tadi, tetapi dia adalah lelaki sangat cerdas yang selalu bisa menguasai emosi dan perasaannya.
"Kau telah menjadi pahlawan bagi seorang gadis kecil yang kehilangan ibunya beberapa tahun yang lalu di bandara…" jawabku sambil menggerakkan kakiku untuk bangkit. Di dalam hatiku kini bukan saja ada keinginan untuk membawakannya minuman hangat, tetapi juga baju hangat rajutanku untuk Lamaar yang masih ada di dalam rumah itu, karena kulihat kulit lengan Armein meremang. Mungkin dia kedinginan.