Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 15 - Kandi 6

Chapter 15 - Kandi 6

Armein membutuhkanku. Dia berhasil menemukan nuye dan menggunakannya. Aku melihatnya di tengah orang-orang yang sedang sibuk memeriksa tempat kecelakaan mobil. Armein dengan wajah tampan dan tubuhnya yang tinggi semampai itu seperti magnet, orang-orang di sekelilingnya seakan selalu ingin menoleh ke arahnya atau memperhatikan sosoknya. Dia sedang kebingungan karena orang-orang itu terlihat mematung. Aku tersenyum, bukan menertawakannya, tapi menyukai kepolosan Armein di balik semua ke-extravagant-nya.

Jika saja semua orang di sekitar dia bisa melihat ke dalam isi pikirannya, mungkin mereka akan lebih mencintainya. Sayangnya, terlihat jelas di mata orang-orang itu bahwa mereka hanya dimabuk rasa kagum dan jatuh cinta pada penampilan dan wajahnya saja. Apakah aku kini mencintainya? Menurutku tidak.

Karena aku tidak keberatan jika dia tak membutuhkan kehadiranku. Menurutku, aku tidak membutuhkannya. Aku lebih membutuhkan berada bersama anak-anakku dan Dayu. Wajah tampannya kalut. Saat kusentuh bahunya, dia menoleh melihatku dan tiba-tiba saja sepasang matanya berbinar, terasa betul kalau dia bahagia. Dia senang melihatku. Lalu, dia minta diantar bertemu Binar karena dia sangat ingin berada di dekat Binar saat itu. Membutuhkannya, atau merindukannya, aku tak tahu.

Sesungguhnya aku merasa sedikit lega ketika kutahu bahwa Armein merindukan seseorang, artinya manusia istimewaku kali ini sudah punya pasangan hidup. Menurut Karambi, kalau manusia istimewaku ternyata sudah mempunyai suami atau istri, mungkin aku tidak akan merasakan jatuh hati padanya, karena damchi diturunkan untuk menambah kebahagiaan; sebagai pahala, bukan untuk memberi kebahagiaan yang memerangkap, atau merusak kebahagiaan orang. Binar yang diinginkannya ini bisa saja seorang perempuan cantik yang sedang menunggunya di suatu tempat bersama anak-anak mereka.

Namun, Armein bertingkah aneh; karena dia kemudian tidak jadi memintaku mengantarkannya pada Binar, tetapi memerintahkanku membawanya ke kamarnya lagi; di apartemen lantai atas itu. Aku tentu mengantarkannya.

Kali ini Armein memperhatikan semua yang terjadi dengan proses pengantaranku. Seandainya semuanya bisa lebih lambat untuknya; mungkin dia akan bahagia mengikuti semua prosesnya. Karena dari matanya yang besar dan bercahaya itu, dia terlihat seperti anak kecil yang sangat bergairah menemukan pengalaman dan petualangan baru, daripada sebagai lelaki dewasa yang syok dan takut.

Masalahnya, bagi mata dan dunia, semua perubahan tubuh dan energi yang kukeluarkan untuk membuatnya berpindah tempat itu terjadi amat cepat. Dia tidak sempat menikmati detail apa pun, menurutku. Karena sesampainya di kamar tamu apartemennya, dia kembali memelototiku. Kepalanya berhenti berkata-kata. Mungkin tak tahu apa yang harus dipikirkan. Namun kemudian, sorot mata kelabunya jatuh ke rambutku yang dia salah kira sebagai warna pirang, padahal rambutku ini sewarna tembaga, menurut Lamaar.

Armein mudah sekali terkejut. Jantungnya berdetak lebih kencang saat disadarinya kalau aku bisa mendengar apa yang dia pikirkan. Tidak aneh. Ini sebetulnya proses yang dialami semua manusia istimewa ketika pertama kali melihat damchi. Tapi Armein menjadi sedikit istimewa bagiku karena isi kepalanya menunjukkan betapa murni hati dan perasaannya.

Karambi dulu pernah menceritakan kualitas emas hati manusia. Emas, bebatuan kuning itu yang digunakan sebagai perlambang kualitas terbaiknya. Manusia memang sering kali melihat benda-benda dengan cara yang aneh. Menurut Karambi, manusia berhati emas itu mereka yang tak pernah mendendam, sombong, ataupun tebersit untuk melukai siapa pun di sekitarnya. Lamaar dulu pernah mengecewakanku ketika berbohong padaku atas sesuatu, tetapi Karambi tetap menyebut Lamaar berhati emas karena dia memang tak pernah ingin melukai siapa pun ataupun mendendam pada orang-orang yang pernah menyakitinya, meskipun dia berbohong padaku.

Sebagaimana layaknya seorang damchi, aku siap memberikan kenyamanan pada manusia istimewaku, apalagi kalau dia berhati emas. Maka ketika Armein dalam kebingungan yang dalam, dan mungkin syok atas semua yang dialaminya hari ini, aku menyiapkan pakaian ganti yang terlipat rapi di kamarnya, lalu membuatkannya teh lavender dari dapurnya yang bersih dan mengilat, dan membawakannya kursi bantal bergambar bintang untuk dia duduki sambil memikirkan Binar.

Ya, Armein terus memikirkan Binar. Tampaknya dia sangat mencintai Binar ini. Tapi dia juga merasakan kelelahan mental dan fisik yang sangat berat, dan memutuskan untuk beristirahat malam ini setelah mandi air hangat dan mengenakan baju yang kusiapkan untuknya. Diam-diam aku merasa suka hati karena artinya aku punya waktu untuk kembali bersama Dayu dan anak-anakku.

Aku sudah akan meninggalkannya ketika tiba-tiba Armein terpikir apakah mungkin aku tiba-tiba masuk ke kamar mandi saat dia tak mengenakan selembar pakaian pun. Dalam hati aku menertawakan jalan pikirannya ini. Tentu saja aku bisa melakukannya. Namun, aku tak ingin dan tak punya alasan untuk melakukannya. Akhirnya aku memberi tahunya bahwa aku bisa saja melakukan apa yang dia pikirkan itu jika dia mencium nuye-nya dan memanggilku. Armein tampak lega mendengar penjelasanku, dan membiarkanku pergi dari kamarnya.

Tentu saja aku langsung menuju Dayu, Ray, dan Langit. Mereka sedang memasak di halaman belakang, sesuatu yang tercium sangat lezat, dan itu adalah keahlian Dayu dalam menenangkan perut anak-anakku. Ia pernah berkata padaku bahwa memasak makanan itu bukan hanya menyiapkan sesuatu untuk dimakan, tetapi juga untuk membuat orang yang diundang makan merasa tenang dan senang hati. Bahkan ketika masakanmu tidak enak. Namun, masakan Dayu selalu lezat dan menggembirakan kami semua.

Langit melihatku dan langsung menghambur ke dalam pelukanku, dan tak melepaskannya. Kami kemudian membuat manik-manik lagi untuk dipasangkan di rusa-rusa liar yang sudah tiga hari ini mengunjungi dapur terbuka kami. Itu ide Ray. Menurut gadis pintar itu, tidak hanya manusia yang senang diberi sesuatu yang cantik dan indah seperti lei dan coronet, atau kalung manik-manik cantik.

"Bahkan pepohonan dan perdu bunga juga senang kita beri sesuatu yang indah, Bu..." jelasnya dengan suara amat meyakinkan.

"Bagaimana kau mengetahuinya?" tanyaku menggoda.

"Kita bisa merasakan kebahagiaan mereka. Kita hanya harus merasakannya..."

Ray, anak perempuanku itu benar.

Ia selalu membayangkan segala yang indah berada di dekat semua makhluk yang dicintainya. Beberapa pohon di sekitar rumah kami telah berhias bunga-bunga rambat warna-warni yang ditanam Ray dan dipelihara dengan sangat baik olehnya. Beberapa hewan liar yang datang berkunjung pun tak lepas dari perhatian Ray dan Langit. Beberapa di antaranya diberi hadiah karangan bunga atau kalung manik-manik yang sering dibuat Ray dan Dayu. Kami sering melakukan hal ini dan tak pernah bosan untuk terus melakukannya.

"Apakah dia terlihat penasaran padamu?" tanya Karambi ketika kami bisa berbincang berdua saja selepas Ray dan Langit makan malam.

"Tentu saja...dia melihatku seperti melihat hantu" jawabku sambil tertawa. Karambi tertawa. Kuceritakan kepada Karambi, bahwa Armein sangat mungkin seseorang yang sangat kaya raya, dan ia berharap lelaki istimewaku ini tidak terlalu membutuhkanku. Dan kalau itu yang terjadi, maka aku akan sangat berbahagia menjalani tugasku, yang pasti tidak akan terasa seperti hukuman atas kesalahan-kesalahanku.

"Menurutmu, kau tidak akan jatuh cinta lagi pada orang istimewamu kali ini?" aku tertawa mendengar pertanyaan Karambi itu.

"Dia sangat tampan. Bahkan mungkin terlalu tampan untuk ukuran manusia…" kataku, Karambi terlihat bingung sejenak. "Tetapi dia memiliki seorang kekasih bernama Binar. Bagiku, ini berarti aku tidak akan dan tidak boleh jatuh cinta padanya, bukan?" tambahku.

Aku tidak tahu apakah aku mengatakan yang sesungguhnya kupikirkan atau aku terlalu takut untuk memikirkan apa yang seharusnya kupikirkan. Karambi juga terlihat lega dengan semua jawaban dan penjelasanku.

Kami membicarakan hal-hal lain selain manusia istimewa kami. Karambi menceritakan banyak hal baru yang ditemuinya, begitu pun aku. Sementara Ray dan Langit tertidur pulas di pelukanku. Dayu juga sudah terdengar pulas. Aku sangat menikmati kenyataan bahwa kedua buah hatiku masih menuntut sentuhan dan pelukanku, dan aku tak akan melepaskannya hingga mereka sendiri yang melakukannya.

Setelah sekian lama, perbincanganku dengan Karambi berujung pada pertanyaan apakah Ray tidak akan bertanya-tanya jika aku tiba-tiba harus pergi meninggalkan mereka.

"Mungkin kau harus mulai memberitahukan padanya siapa dirimu, Kandi?" Karambi mengusulkan. Aku tentu saja ibunya. Namun, aku merasa sepakat dengan apa yang dikatakan Karambi; Ray dan Langit mungkin harus tahu kalau ibu mereka seorang damchi. Hanya saja, bagaimana anak-anak itu akan menerimanya. Aku menceritakan pada Karambi reaksi Dayu ketika kuceritakan padanya tentang Armein.

"Mungkin Dayu harus kau pertemukan denganku… aku akan membantunya membantu Ray dan Langit membiasakan diri dengan ketiadaanmu," Karambi menawarkan diri. Aku sangat bersyukur Karambi mengatakan itu. Andai saja Dayu tidak sedang tidur. Kami kemudian memutuskan untuk memberi tahu saat ia terjaga nanti. "Lalu kapan kau akan memperkenalkan Armein kepadaku?" tanya Karambi. Tepat di pertanyaannya itulah kudengar lagi suara mantuley mendekatiku dengan kepastian, lelaki istimewaku memanggil. Karambi juga mendengarnya. Karena itu ia tidak menuntut jawabanku, ia lalu melambaikan tangan mengirimkan doa agar aku bisa melalui semuanya dengan lancar.

Armein membutuhkanku di atas ranjangnya.