Aku terkirim pada seorang lelaki yang setengah tertidur di dalam mobil mewah yang melaju kencang di jalan layang yang meliuk-liuk berhias lampu-lampu menari menghiasi dini hari yang sepi. Lelaki istimewa itu duduk di bangku tengah, menyandar kepalanya pada sebuah bantal kursi, matanya terpejam, sebelah tangannya menggenggam telepon genggam. Dua orang di depan, salah satunya seorang sopir, dan ada satu orang di samping sopir yang terus-menerus membalikkan tubuhnya ke belakang untuk berbicara pada lelaki istimewaku itu. Seorang lelaki lain duduk berpegangan di jok paling belakang. Bagaimana aku tahu lelaki yang duduk di tengah itu sebagai lelaki istimewa, karena dari atas aku bisa melihat tubuhnya yang dikelilingi cahaya biru meski tertutupi besi dan logam kerangka mobil.
Aku menunggu. Beberapa detik kemudian mobil yang dia tumpangi terjungkal ke pembatas jalan, setelah berputar-putar kehilangan kendali. Mobil berisi orang istimewaku itu melayang beberapa detik di udara. Aku merasa inilah saatnya aku mengambil lelaki itu. Aku masuk dan memeluk erat tubuhnya dari belakang dan langsung membawanya keluar dari mobil itu tepat sedetik sebelum menghantam pohon dan batu besar di tepi jalan layang dan berguling menghantam batu lain. Aku sempat mendengar teriakan lelaki yang duduk di depan memanggil lelaki istimewaku "Armein!"
Sepertinya kepala Armein terbentur sesuatu sebelum kupeluk. Dia pingsan. Aku belum tahu rumah atau tempat dia tinggal, jadi aku memutuskan membawanya ke Bivan, rumah di atas bukit, dimana rumah kesayangan kami berada--Lamaar membangunnya dengan tangannya sendiri, lalu dia membawaku berbulan madu di sini sebelum kami punya anak.
Ini rumah milik Lamaar, aku terdiam di depan pintu masuk. Apakah Lamaar akan kecewa jika aku membawa masuk seorang lelaki asing ke dalam rumah ini, aku bertanya-tanya dalam hati. Dan memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku membaringkan Armein di amben kayu tak jauh dari rumah itu. Wajahnya langsung tersorot matahari. Untuk melindungi wajahnya, aku menekuk kedua siku di depan kepalaku, membentuk bingkai yang kemudian kututup 4 helai selendangku; menghalangi cahaya matahari menyakiti wajah lelaki istimewaku ini.
Aku melupakan perbedaan waktu antara Bivan dan tempat Armein kecelakaan. Dia pasti akan kebingungan ketika tersadar nanti karena hari sudah siang dan matahari sudah tinggi. Tapi aku tak ada pilihan lain. Dia lelaki yang cantik. Maksudku, roman mukanya begitu indah dan menarik untuk dipandangi lama-lama. Aku menunggunya siuman sambil mengingat kembali apa yang pernah aku dan Lamaar lakukan di tempat ini.
Armein siuman tak lama kemudian. Dia memandangi dengan sorot mata aneh, tapi dia sungguh tampan. Sorot mata kebingungannya membuat wajahnya semakin menarik. Aku senang memandangnya. Dia mencurigaiku. Tapi itu sangat wajar. Aku sempat menguji ingatannya dengan menanyakan namanya. Dia mungkin mengira aku sejenis peri atau hantu. Aku tidak akan menyalahkannya, dan reaksi Armein sudah kuantisipasi sejak awal.
Aku mengantar dia ke tempat tinggalnya. Aku bisa melihat jejak-jejak energinya di bagian bangunan tertinggi, dan benar, itu memang kamar atau tempat tinggalnya. Luas dan sangat indah. Namun, aku tidak menyukainya. Aku bisa mendengar deru jantungnya yang bingung dan ketakutan. Dia membutuhkan banyak hal untuk bisa berfungsi normal sebagai manusia dewasa, dan saat itu semua hal yang dibutuhkannya tidak tersedia. Tentu saja aku bukan bagian dari itu.
Dia jadi kebingungan, seperti anak kecil seusia Langitku saja. Tapi dari apa yang berkecamuk di kepalanya, aku tahu bahwa dia membutuhkan telepon genggamnya yang lebih dari satu. Aku bergegas kembali ke tempat mobil tadi kecelakaan dan mengambil 3 telepon genggam yang kulihat tergeletak di bagian tengah, tempat aku memeluk Armein tadi. Sebagian kacanya pecah, bahkan ada yang nyaris terbelah dua. Lelaki yang duduk di samping sopir di depan, wajahnya telah terbelah di pelipis kanannya oleh sebilah besi kerangka mobil, tapi di tengah gumpalan daging dan darah itu mulutnya mengatakan kata 'tolong' dan 'Armein' aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Karena aku tidak boleh menolong dan membawa orang yang bukan orang istimewaku, tetapi aku juga merasa kasihan padanya. Tiba-tiba aku mendengar suara yang menyebutkan kalau mobil itu akan meledak. Aku melompat keluar untuk melihat siapa yang suaranya terdengar begitu jelas di kepalaku. Tepat ketika aku melompat keluar, mobil itu meledak memunculkan bola api besar dan kobaran apinya menggulung mobil itu hingga aku tak tahu lagi apakah orang yang minta pertolonganku itu masih hidup atau sudah mati. Ketika apinya mereda, aku segera mengambil 3 telepon genggam yang tadi kujatuhkan lagi karena kaget mendengar suara di kepalaku. Kini telepon genggam yang tadi sudah setengah hancur itu semakin terlihat hancur karena sebagian ikut terbakar. Aku bergegas membawa tiga benda itu kepada Armein.
Tapi lelaki itu tidak terlihat bahagia melihat ketiga benda gosong itu. Tentu saja. Terlihat sangat mengerikan. Lalu dia memintaku mengantarkannya ke tempat mobilnya terbakar. Dia mungkin akan mengingat sesuatu di sana, atau memang hanya ingin melihat kenyataan pahit itu. Apa pun itu, aku harus mematuhi keinginannya. Bagaimanapun, dialah si manusia istimewa itu. Aku sempat memperingatkannya bahwa menemui orang-orang banyak di sekitar lokasi kecelakaan mobilnya itu artinya dia harus siap untuk ditanya-tanyai dan dibawa pergi oleh mereka.
Aku ingin dia menyadari sedikit demi sedikit kalau situasi yang sedang dihadapinya tidak seburuk yang dia kira, walaupun memang sudah cukup buruk; kehilangan teman-temannya yang berada di mobil yang sama dengannya pasti bukan sesuatu yang mudah baginya. Namun, aku juga ingin dia paham bahwa aku akan siap membantunya. Meskipun itu artinya dia harus memahami betul siapa aku dan apa gunanya aku sebagai damchi baginya.
Aku lalu memberikannya nuye, gelang tali merah berbatu hijau yang akan menjadi alatnya untuk memanggilku kapan pun dia inginkan. Entah dia mengerti atau tidak ketika kuberikan gelang itu kepadanya. Namun, sepertinya dia sudah berada bersama orang-orang itu, polisi dan forensik atau apa pun itu. Aku tinggal menunggu sampai dia membutuhkanku lagi. Terasa betul bahwa pekerjaanku akan semakin banyak dan berat nanti—ketika Armein tersadar bahwa ia membutuhkanku.
Seketika aku teringat Langit dan Ray, dan Dayu. Sepertinya tak apa-apa kalau aku mengunjungi mereka dulu barang satu atau dua jam sebelum Armein membutuhkanku lagi. Kuabaikan sejenak lelaki istimewaku.
Aku memandangi Dayu yang sedang menggendong Langit dari jauh. Ragu-ragu mendekati mereka. Tampaknya Langit menyadari kepergianku dan menangis mencariku. Sekitar dua ratus meter dari tempat Dayu menggendong Langit, aku melihat Ray, duduk di atas batang pohon kantil yang menjorok ke arah jendela kamarnya. Ia terdiam mematung menatap desa di bawah sana. Mungkin Ray berpikir aku pergi ke desa itu dan akan kembali. Namun, karena Ray adalah anak kandungku dan Lamaar, ia pasti memiliki firasat atau indra keenam yang memberi tahunya bahwa mungkin saja aku pergi dan tak akan kembali lagi. Pemandangan yang sungguh sulit bagiku dan tak mungkin bisa kubiarkan. Ray tidak terlihat kalut, tetapi aku lebih kalut melihatnya. Tiba-tiba saja aku ingin menangis.
Benakku memanggil Karambi, aku membutuhkan pendapatnya. Namun, sepertinya ia sedang tidak bisa aku andalkan saat ini. Tak ada suara angin disertai bisikan Armein memanggilku—tak ada mantuley, mengapa aku tidak mendekat; menemui anak-anakku dan Dayu saja. Menunggu Armein memanggilku bisa sangat lama. Mungkin. Dia sepertinya lelaki tampan yang sombong, atau dia mungkin sesungguhnya tidak membutuhkan bantuanku lagi.
Maka aku diam-diam berharap Armein betul-betul tidak membutuhkanku dan melupakan nuyeyang kuberikan , atau lebih bagus lagi, menghilangkannya. Sehingga dia tak akan pernah bisa memanggilku lagi. Mungkinkah kemungkinan hebat itu bisa terwujud?
Aku berlari sekencang-kencangnya memanggil Ray dan Langit. Ray yang pertama melihatku, dan langsung melompat turun dari pohon tempatnya duduk. Dia berlari menghambur ke arahku. Langit mendengar seruan suka cita Ray, dan terdengar menjerit-jerit juga memanggilku. Aku merasa dadaku akan meledak karena bahagia. Dayu tertawa senang, kami berempat berpelukan. Padahal kami baru berpisah beberapa jam saja. Pandangan mata Dayu terus tertuju padaku, berkilauan karena tangis tertahan.
"Kupikir kau meninggalkan kami…"
Aku menunggu sampai euforia Ray dan Langit berhenti dan kembali bermain tenang. Lalu kudekati Dayu, kuceritakan padanya apa yang sesungguhnya terjadi, bahwa aku memang akan meninggalkan mereka sewaktu-waktu. Itu sudah menjadi takdir hidupku. Aku melihat kebingungan di mata Dayu, hingga aku menceritakan apa yang terjadi pada Lamaar, Razan, lalu kini, seorang lelaki bernama Armein.
Kegelapan merasuki sinar matanya, Dayu seperti tiba-tiba saja padam. Aku membelai wajah dan tangannya, aku tak ingin menangis bersamanya, karena aku ingin ia menjadi lebih kuat untukku, untuk Ray dan Langit.
"Jadi lelaki ini bisa memanggilmu kapan saja, dan kau tak bisa mengelak atau menolak. Sementara kami harus menunggu sampai lelaki itu tidak membutuhkanmu untuk bisa sepenuhnya bersamamu lagi?" Dayu akhirnya mengerti.
Aku benar-benar tak tahu caranya bagaimana harus merespons tatapan mata Dayu, belum lagi tangisnya... selain memohon agar ia mau menjaga anak-anakku tetap riang dan aman.
"Tapi mungkin mereka tidak bahagia…" ujarnya lagi. Sebelum aku bisa menjawab apa pun, suara mantuley terdengar sayup-sayup mendekat, dan aku langsung menyanyikannya perlahan. Tubuhku mulai berputar perlahan, dikelilingi angin lembut berirama; panggilan yang tak bisa kuabaikan. Melihatku mulai bersenandung, Dayu mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Melihat semua perubahan pada tubuhku, perempuan kuat ini tiba-tiba saja menghapus air matanya dan memperlihatkan wajah riang kepadaku sambil berkata,
"Jangan sedih. Aku saja yang sedih. Aku akan berusaha sekuat tenaga agar Ray dan Langit tidak bersedih memikirkanmu atau merindukanmu. Menurutku aku bisa. Aku mungkin akan sangat sedih dan menangis saat mereka sudah tidur lelap. Tapi aku akan kuat!" wajahnya tersenyum, melambaikan tangan, melepasku pergi;
"Aku akan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan untuk Ray dan Langit…" kata-katanya yang tidak bisa terdengar telingaku, tapi aku mendengarnya bergema di kepalaku. Dan aku sangat memercayainya.