Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 12 - Armein 8

Chapter 12 - Armein 8

Tiba-tiba aku merasa suasana sangat hening. Tidak ada suara kendaraan lalu lalang di jalan layang yang melingkari tempat ini, tidak ada suara sirene ambulans, bahkan menurutku tidak ada suara angin sama sekali.

Hening seperti seakan berada dalam mimpi tanpa suara. Keheningan yang aneh dan terasa mencekam karena tidak pernah kualami sebelumnya. Dengan takut-takut kubuka mataku perlahan. Aku masih berada di tempat yang sama, aku tidak sedang bermimpi. Namun, si polisi tanpa seragam itu diam mematung dengan mulut seolah sedang meniup sesuatu, atau ingin mengatakan sesuatu. Dia tidak bergerak selembar otot pun. Begitu pun sopir ambulans yang sedang berlari ke arahku beberapa puluh meter di belakang si polisi. Satu kakinya bahkan melayang di udara. Mustahil orang yang tiba-tiba mematung bisa melakukan itu, seharusnya dia sudah terjatuh karena gaya gravitasi. Tapi tidak; dia seperti berada di dalam sebuah video dan seseorang memencet tombol 'pause' untuk menghentikan gambarnya.

Aku memandang ke sekeliling, belasan petugas forensik dan semua yang tadinya sibuk di sekitarku juga mematung dalam posisi mereka masing-masing. Aku benar-benar sedang merasa Tuhan sedang memencet tombol 'pause', hanya saja aku tidak ikut terhenti. Bahkan lampu sirene di atas ambulans dan mobil polisi terlihat menyala tapi terhenti. Lalu pepohonan tidak bergerak selembar pun daunnya. Aku merasa sedang melihat foto 2 dimensi. Dalam puncak keanehan ini, terdengar suara musik lirih. Seperti perpaduan suara harpa yang dipetik dengan rebana yang disapu jari, bukan dipukul. Lirih, tapi jelas terdengar dan menjadi satu-satunya suara yang terdengar olehku.

Beberapa saat kemudian seseorang meletakkan tangannya di bahu kananku. Aku berbalik, dan itulah Kandi yang tersenyum tepat di sisi kananku.

"Membutuhkanku?" tanyanya. Suara musik yang lirih itu masih terdengar, kini tak terasa mencekam lagi karena ada makhluk lain yang hidup dan bergerak-gerak di dekatku, Kandi. Ternyata perasaan mencekam itu muncul ketika tadi kupikir hanya aku yang masih bisa bergerak di muka bumi ini. Aku meminta maaf pada Kandi karena tadi mengacuhkannya, dan aku ingin diantar ke tempat Binar. "Binar?" tanyanya. Ya Tuhan, tentu saja Kandi belum tahu tentang Binar. Namun, bagaimana aku menjelaskannya, karena aku sendiri juga tidak tahu bagaimana menemukan Binar saat ini. Apakah dia ada studionya, atau di rumah mewahnya, atau di studio TV, atau di kantornya. Aku tak tahu. Tiba-tiba aku merasa kepalaku pening dan berdenyut. Mungkin karena otakku kupaksa bekerja terlalu keras; pekerjaan yang tidak biasa kukerjakan. Biasanya aku cukup memencet beberapa tombol di telepon genggamku saja untuk menemukan siapa pun yang ingin kutemui, termasuk Binar.

"Rumah. Kamar." aku meminta Kandi mengembalikanku ke kamarku. Kandi memelukku seperti tadi, lalu ketujuh selendangnya melilit dan membungkusku lagi. Aku sudah berniat untuk tidak memejamkan mataku meskipun seluruh tubuhku ia bungkus di dalam selendangnya.

Denyut jantung Kandi terdengar jelas olehku, bahkan napas tenangnya; dua embusan saja. Suara musik lirih itu hilang setelah dua embusan napas Kandi, dan selendang-selendang itu melepaskanku. Aku sudah kembali berada di dalam kamar, dan mematung. Bukan karena ada yang memencet tombol 'pause' tetapi karena pengalaman kedua aku berpindah dari satu tempat yang jauh ke apartemenku di lantai 40 hanya dalam hitungan detik seperti yang kualami hari ini bukan sesuatu yang bisa diterima biasa-biasa saja oleh otak dan jiwaku.

Mungkin kalau aku 5 tahun lebih muda, aku sudah menjerit-jerit atau terkencing-kencing di celana karena ketidakmampuan nalarku menyerap semua ini.

Kandi melepaskan pelukan, ia berdiri sejurus di depanku, seperti menunggu. Aku mengamati keanehan sosoknya; ketujuh selendang di punggungnya itu berkibar-kibar hingga ke langit-langit, tetapi rambut pirangnya yang tergerai tidak bergerak sedikit pun.

"Ini bukan pirang, tapi warna tembaga" ujarnya tiba-tiba. Aku kini benar-benar nyaris terkencing-kencing di celana. Kandi bisa membaca isi kepalaku sebelum aku mengucapkannya? Semacam kemampuan sihirnya yang lain?!

"Tidak, Armein, aku tidak bisa membaca pikiranmu kalau kau tidak memikirkannya terlalu nyaring…" What?!! Aku berpikir terlalu nyaring? Bagaimana proses berpikir-ku bisa terdengar oleh telinganya?

Kandi tersenyum, lalu sambil bergerak ke sana kemari setengah melayang mengambilkan aku baju ganti, membawakan teh hangat, dan bantal untukku duduk. Ia menjelaskan bahwa sesungguhnya kepala manusia berisi frekuensi yang bisa didengar makhluk lain. Apalagi pada frekuensi tertentu ketika kita sangat fokus dan mengerahkan seluruh indra kita untuk apa yang kita pikirkan itu, akan terdengar seperti teriakan olehnya. Ia baru saja menjelaskan bahwa dirinya bukan makhluk berjenis sama denganku. Karena ia menyebut manusia seperti kata ganti orang kedua, seperti saat kita menyebut kucing atau kuda.

Jadi, itulah pengakuan Kandi, bahwa dia bukan manusia. Entah mengapa itu tetap membuatku terkejut, padahal aku sudah memikirkan kemungkinan itu sejak pertama melihatnya di atas bukit. Hanya saja aku terpikir sosok hantu atau semacam roh tukang sihir.

Sepertinya lagi-lagi aku berpikir terlalu nyaring, karena tiba-tiba saja Kandi tertawa terbahak-bahak. Ini adalah pertama kalinya aku melihat Kandi tertawa. Aku belajar menahan diri agar tidak berpikir terlalu fokus dan nyaring di dekat dia. Termasuk ketika aku berpikir bahwa tertawanya sangat menyenangkan hatiku.

"Jadi, aku bisa memanggilmu kapan saja, Kandi?" tanyaku polos. Ia mengangguk mengiyakan. "Bagaimana membuatmu paham aku ingin dibawa ke mana, apakah kau bisa membaca peta?" tanyaku lagi. Kandi tersenyum lagi,

"Aku tidak sebodoh itu, Armein… Aku tahu kau ingin menjumpai seseorang. Namun, aku tidak tahu di mana orang yang kau rindukan itu kalau kau belum mempertemukannya denganku. Kau tunjukkan dulu padaku di mana dia dan yang mana orangnya…"

Kandi sudah tahu aku ingin menghambur ke pelukan Binar. Aku yakin Binar juga pasti sedang memikirkanku. Namun, bagaimana menghubunginya, pikirku sambil melihat 3 bangkai telepon genggam yang tak sengaja kukeluarkan dari kantong celana dan kulemparkan begitu saja ke atas karpet.

"Kau seharusnya tetap ikut dengan ambulans tadi untuk bertemu kekasihmu. Karena polisi tahu nomor teleponnya, dan kalaupun tidak, dia dan semua orang-orang yang membantunya sudah mencarimu dan akan dengan mudah menemukanmu kalau kau ikut mereka…" Kandi duduk di atas sofaku sambil bertumpang kaki dan matanya menatap mataku lekat-lekat sambil mengatakan semua itu.

Dang!

Aku menepuk kepalaku sendiri. Betul juga apa yang dikatakan Kandi. Kenapa aku harus takut dibawa ke dalam ambulans tadi dan merasa harus melarikan diri? Mengapa aku begitu panik karena 3 telepon genggamku tidak berfungsi, sehingga mengira tidak ada jalan lain. Aku tertawa, dan merasa ingin memeluknya karena kepintarannya, atau karena kebodohanku. Aku sering melakukannya; memeluk orang yang ada di dekatku ketika aku merasa malu atau sudah berbuat kesalahan.

"Kau tadi memperingatkan aku, sehingga aku dikuasai ketakutan yang tidak perlu…" sahutku beralasan.

"Aku tidak memperingatkan, aku memberi tahumu. Kau terburu-buru dan tak mau mendengarkanku tadi." Kandi benar. Aku tertawa lagi, untuk kebodohanku. Tapi bagaimana aku memeluk? Apakah aku boleh memeluk Kandi? bagaimana kalau ia sudah "mendengar" niatanku itu lalu pergi menjauhiku karena takut aku seorang lelaki yang kurang ajar?

Tapi ini sudah terlambat. Aku sudah di dalam kamarku di apartemenku dan aku memutuskan untuk mandi dan beristirahat dulu saja, sebelum bertemu Binar. Aku beranjak masuk ke kamar, tetapi kemudian aku ingat Kandi.

"Kau tidak akan tiba-tiba berada di dalam kamar mandi saat aku telanjang, kan, Kandi?" aku kini menatap lekat-lekat matanya. Perempuan ajaib ini tersenyum lagi, tapi amat sedikit, senyum yang serius menurutku.

"Kecuali kau memanggilku!" jawabnya, sambil memperagakan tangan kanannya ditempelkan ke mulut, seperti saat aku mencium batu hijau tadi untuk memanggilnya.

Caranya menjawab pertanyaan bodohku itu membuatku terenyak. Apakah Kandi seperti perempuan lain pada umumnya? Apakah di balik semua kostum ajaibnya itu ia memiliki lekuk tubuh dan semua organ perempuan pada umumnya? Apakah dari caranya menjawab aku harus menyimpulkan bahwa Kandi tersinggung oleh pertanyaanku? Merasa aku menghina atau meremehkannya sebagai perempuan "baik-baik"?

Tapi dia lebih dari sekadar baik-baik; mengapa aku menistakannya dengan pertanyaan seperti itu? Tentu saja. Ah, betapa bodohnya aku. Bagaimana Kandi menjawab itu menunjukkan ketersinggungannya tentu saja. Aku merasa inilah saatnya aku mengutuki otakku yang selalu berpikir tidak "umum" dan cenderung bego. Aku mengacungkan jempol tanda aku mengerti. Kandi melangkah ke arah jendela, dan sebelum pintu ke arah balkon terbuka, ia sudah menghilang.

Aku menatap ketiadaannya dalam diam jiwa dan raga. Di dalam ambulans tadi aku sempat merasakan dada kiriku sakit karena merasa amat membutuhkan Binar di sisiku, memelukku, lalu mengatakan padaku bahwa semua ini baik-baik saja. Mama pernah berkata bahwa itu penyakitku sejak kecil, saat aku menginginkan sesuatu dengan amat sangat, atau sangat merindukan sesuatu, dada kiriku sakit. Semacam psikosomatis, kata Papa.

Aku bahkan tidak sempat memikirkan betapa beruntungnya aku karena selamat dan tidak terbakar di dalam mobil bersama Simon dan Erron. Aku lupa mengatakan terima kasih pada Kandi karena telah menyelamatkanku. Aku memandangi ketiadaannya dan mengucapkan terima kasih dalam hati. Aku mengatakannya dalam pikiranku juga, berharap Kandi mendengarnya karena aku memusatkan semua indraku memikirkan ketololanku lupa mengucapkan terima kasih pada Kandi. Dada kiriku terasa sakit.