"Bawa aku ke tempat kau menemukan ini!" perintahku dengan nada dramatis sambil mengacungkan 3 telepon genggam gosongku, bak seorang bos. Aku ingin tahu reaksinya melihatku mengetes kewarasanku sendiri.
Kandi, perempuan ajaib itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekatiku. Dekat sekali, aku bisa melihat dadanya bergerak oleh napas tenangnya. Lalu kedua tangannya melingkar di dadaku, seperti memeluk. Selendang-selendang itu lalu bergerak ke arahku dan melilit tubuhku seperti membungkus. Hanya menyisakan wajahku yang menatap nanar sepasang mata indah Kandi. Lalu aku merasakan pelukan Kandi tersentak sejenak, dan tiba-tiba saja aku sudah berada di bawah pepohonan. Tampaknya ini adalah ruang hijau di samping jalan layang. Sejurus di kananku tampak ambulans. Mobil-mobil polisi mengerubungi mobilku yang dalam posisi terjungkal dan sudah lebih seperti rongsokan terbakar. Kandi menunjuk ke arah mobilku.
"Kuambil dari sana tepat sebelum mobilnya meledak. Kalau kau mendekati mereka sekarang, mereka akan membawamu dan menanyaimu tentang…" belum selesai Kandi berbicara padaku, aku membalikkan tubuhku dan setengah berlari ke arah mobil. Aku tak peduli apa yang dikatakan Kandi.
Aku membayangkan Simon, Erron, dan bodyguard-ku yang namanya saja tak kuketahui di dalam mobil itu. Meledak, katanya. Namun, langkah tergesaku mendekati mobil gosong itu tiba-tiba terjegal tubuh Kandi yang sekonyong-konyong muncul menghalangi jalanku. Kandi mencengkeram lengan kiriku, tangannya menyisipkan sesuatu ke dalam genggaman tangan kiriku. "Kalau kau membutuhkanku, cium batu hijau ini, panggil namaku!"
Benda yang disisipkan Kandi ke dalam genggaman tanganku itu adalah gelang tali merah yang mengikat sebutir batu hijau kecil. Sekejap saja kulihat gelang itu, lalu aku kembali berlari memburu reruntuhan mobilku.
Seorang polisi mendekatiku dan langsung menanyaiku. Mereka tentu saja mengenali wajahku. Namun, mereka memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan wajah keheranan, mulut ternganga, dan mata melotot. Dan tepat seperti yang dikatakan Kandi kepadaku, dengan panik mereka langsung membawaku masuk ambulans. Seorang polisi tak berseragam menemaniku ke dalam ambulans dan memberondongku dengan banyak pertanyaan yang tidak jelas kudengar. Aku merasa kepalaku berisi bola api besar yang tak tahu bagaimana caranya keluar dari tengkorakku. Aku tak peduli lagi apa yang kukatakan pada para penanyaku ini. Pikiranku sulit mencerna segalanya saat ini. Samar mampir di pendengaranku polisi itu menceritakan ada 3 mayat terbakar hangus di dalam rongsokan mobilku. Apa yang sesungguhnya terjadi, Tuhanku?
Kandi, perempuan berkostum luar biasa dengan ketujuh helai selendangnya telah membawaku dari apartemen di lantai 40 ke tempat kejadian kecelakaan yang seharusnya menghanguskan tubuhku itu, dalam waktu dua detik saja. Aku bahkan nyaris tak merasakan kami berdua berpindah tempat. Jika ia bisa melakukan semua itu, maka sangat mungkin Kandi juga yang menyambar tubuhku dari mobilku tepat sebelum terbakar dan membawaku ke bukit indah berbunga tadi. Ia telah mengatakan yang sebenarnya. Ia benar-benar sejenis jumper; karakter yang kutonton di layak perak. Kalau begitu, bagaimana Kandi membawaku ketika mobil yang disopiri Erron terjungkal dari jalan layang ke ruang terbuka hijau yang jauh dari pemukiman atau keramaian itu? Bagaimana ia membuatku tetap utuh tak terluka, sementara Simon, Erron, dan bodyguard-ku ikut gosong di dalam mobil yang katanya juga meledak? Aku yang amat memedulikan detail-detail hidupku; benakku tak mampu merekonstruksi kejadian muskil ini.
Lalu bagaimana Kandi mengambil 3 telepon genggam ini dari rongsokan mobil, tanpa dilihat polisi dan orang-orang forensik? Aku dilanda kebingungan yang berat, hingga tak tahu lagi apa yang ditanyakan polisi tak berseragam di sampingku.
Jika Kandi adalah apa yang ia katakan, maka sesungguhnya aku bisa langsung pergi dari dalam ambulans ini dan berada di tempat yang lebih nyaman untukku memikirkan segalanya. Ini adalah momen yang jungkir balik bagiku. Tanpa Simon dan telepon genggam yang tidak berfungsi, bagaimana aku sampai ke Binar dan memeluknya? Atau yang lebih penting lagi, bagaimana aku menjalani hidupku besok? Sesuatu memukul-mukul otakku dari dalam, aku harus memanggil Kandi. Tapi gelang tali merah berbatu hijau yang ia berikan padaku tadi entah di mana. Sepertinya jatuh di tempat mobilku terbakar. Aku jadi lebih panik. Bagaimana caraku memanggil Kandi? Tiba-tiba saja sosok yang beberapa menit sebelumnya bagiku begitu ajaib, aneh, dan agak menakutkan itu, kini jadi begitu penting bagiku. Aku membutuhkan gelang tali batu hijau untuk memanggil Kandi.
"Antar aku kembali ke tempat kecelakaan tadi!" pintaku pada polisi di sampingku. Dia menggeleng-geleng sambil tersenyum, "Tidak bisa. Ambulans ini menuju rumah sakit, kau membutuhkan pemeriksaan medis."
Aku menolak dan menceracau kalau aku sama sekali tidak sakit dan dia bersama sopir ambulans itu harus mengantarku berputar kembali ke tempat tadi. Tapi pandangan mereka padaku malah semakin diliputi kecemasan; dan aku langsung merasa menyesal, kenapa aku tadi tidak mendengarkan kata-kata Kandi untuk tidak mendekat.
"Kau harus mengantarku kembali ke tempat tadi. Ada yang harus kuambil!" bujukku pada si polisi tak berseragam. Dia mengernyit, "Ya, itu mobilmu. Tapi sudah tidak ada yang bisa kau lakukan lagi, Armein!" sorot matanya jadi seperti curiga.
"Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu mengantarku kembali ke sana? Sepertinya ada benda penting yang harus kubawa di sana. Please!" kini aku memohon. Polisi itu menggaruk dagunya sendiri dengan jemarinya untuk berpikir. Lalu, dia mengeluarkan telepon genggamnya. Apakah dia akan melaporkanku pada seseorang atau memanggil orang lain untukku?
"Baiklah, aku antar kau kembali ke sana, tapi kau harus mau "selfie" denganku… aku akan dimarahi komandanku karena menuruti keinginanmu—meskipun kau adalah artis terganteng sejagat raya, tetapi setidaknya aku punya foto berdua dengan the most handsome man in the world…" dia menawar—dengan sedikit menggoda, aku merasa jijik pada diriku sendiri, khususnya pada wajahku sendiri. Tapi aku pasrah. Aku harus kembali ke lokasi kecelakaan itu untuk mencari gelang tali merah batu hijau itu, karena saat ini lebih dari kapan pun; aku sangat membutuhkan Kandi. Fans polisi itu mengambil 3 jepretan foto bersamaku yang kebingungan di dalam ambulans yang sedang berjalan.
Setiba di lokasi kecelakaan, aku turun dari ambulans dengan terburu dan langsung mencari sosok Kandi di antara pepohonan yang rimbun sekitar 100 meter dari bangkai mobilku. Si polisi itu pasti sangat kebingungan melihatku, karena aku berlari melewati bangkai mobil ke arah kerimbunan pepohonan. Tapi di sana Kandi tak ada. Aku teramat kecewa, merasa sudah sangat bodoh melepaskan "pahalaku"... Aku menginginkan Binar ada di sini, tetapi itu hanya mungkin kalau Kandi ada di sini. Aku ingin segera berada di pelukan Binar, tetapi "tiket kendaraan" menuju ke sana tanpa sengaja terbuang olehku. Betapa bodohnya aku.
Polisi yang fan beratku itu berlari mengejarku. "Kau benar-benar harus ke rumah sakit. Mungkin matamu harus diperiksa!" serunya. Dia mengira aku berlari ke kerimbunan pohon dan melewati bangkai mobilku karena penglihatanku sudah terganggu. Meski itu sangat menjengkelkan, tapi aku tak berminat menimpalinya.
Tanpa sosok Kandi terlihat di sini, aku harus mencari gelang tali merah dengan batu hijau yang ia berikan padaku tadi. Aku cium batunya dan menyebut nama Kandi. Itu yang harus aku lakukan untuk membuat Kandi datang padaku. Aku harus menemukannya. Sepertinya ketika aku mendekati mobil dan melongok lebih dekat melihat bagian dalam mobil gosong ini tadi, aku tanpa sengaja melepaskan gelang yang disisipkan Kandi ke dalam genggaman tanganku. Aku mencari dengan teliti, sekaligus memperlihatkan pada si polisi bahwa aku belum selamur yang dia kira. Dan aku tidak menemukannya… Ya Tuhan. Di mana kujatuhkan gelang penting itu?
Aku sudah merasa jiwaku ikut hangus bersama Simon, Erron, dan bodyguard-ku di dalam sana, ketika aku melihat salah satu dari petugas forensik menjinjing kantong plastik bening, gelang tali merah dengan batu hijau itu di dalamnya. Aku menghambur kepadanya dan kuminta kembali gelang itu dengan wajah memohon. Si petugas melihat ke belakang bahuku, ke arah si polisi tak berseragam.
Aku membalikkan badan dan kuberi tatapan memohon terbaikku padanya, lelaki itu kemudian mengangguk. Binar selalu berkata bahwa struktur wajahku sedemikian unik, sehingga aku bisa mengendalikan mimik wajahku tepat seperti yang kuinginkan. Dia pernah mengomentari mimik "memohon"-ku pada kesempatan-kesempatan tertentu; 'Tak akan ada orang yang bisa berkata tidak pada wajahmu yang seperti itu, Meinchi…' ujar Binar dan mabuk kepayangnya padaku.
Aku mendapatkan gelang itu lagi, betapa bahagianya. Yang sekarang harus aku lakukan adalah mencoba memanggil Kandi. Aku tergesa mengeluarkan gelang itu dari dalam kantong plastik dan memakainya di pergelangan tangan kananku. Kuangkat tangan dengan gelang batu hijau itu, perlahan kucium batu hijau kecil itu, sambil kubisikkan padanya 'Kandi, aku membutuhkanmu…'
Aku memejamkan mata. Tak kuasa menghadapi kenyataan apa pun yang akan terjadi. Tebersit di kepalaku semua ini hanya delusi dan aku sedang menjejaki kegilaan. Bahwa tak ada Kandi dan kemampuan supernya yang sangat kubutuhkan saat ini. Bahwa saat aku membuka mataku, maka si polisi penggemarku itu akan sedang ternganga kebingungan melihat apa yang kulakukan, atau bahkan sedang mengambil foto-foto tingkah gilaku ini untuk dijual ke media massa.