Aku sedang terlalu bingung untuk marah dan berdebat dengannya. Kucari dompet kecil kado ulang tahun Binar dari Australia di saku celanaku. Aku mencari kartu tanda pengenalku, tapi yang terlihat lebih dulu adalah kartu nama Simon. Aku memberikan kartu itu kepada perempuan penari bersayap banyak itu, sudah sebut saja ia begitu sementara ini.
Simon berkantor di lantai 5 di bawah apartemenku. Perempuan penari bertabur daun dan batu itu menerima kartu, membacanya, lalu tersenyum. Baru kusadari kemudian kalau dia memang sangat cantik. Wajahnya, entah bagaimana aku menyebutnya; membuatmu melupakan kedukaan dan semua sisi burukmu. Tidak tersenyum, tapi juga tidak datar atau cemberut. Wajahnya seperti nyala kunang-kunang; membuatmu tenang dan senang.
Kalau kupandangi sedikit lebih lama, pandangan matanya menyejukkan; seperti mengatakan padaku kalau ia tidak berbahaya sama sekali. Nah, ia mungkin tidak berbahaya, tapi kostumnya dengan selendang-selendang yang berkibaran di punggungnya--seperti ada kipas raksasa yang bekerja nonstop untuk membuat ketujuh selendang itu selalu berkibar-kibar meskipun tidak ada angin--itu cukup menakutkan. Dan kenyataan bahwa aku berada di sini hanya bersamanya; itu juga menakutkanku.
Bagaimana perempuan dengan kostum pertunjukannya ini membawaku dari jalanan layang ibu kota yang padat di tengah malam gelap ke atas bukit yang entah di mana dengan cahaya matahari cerah ceria ini?
Seketika aku teringat kecelakaan yang kualami. Malam, jalanan yang dingin, tapi sibuk; Erron yang sudah sangat mengantuk, aku yang super lelah tapi bahagia setelah menghabiskan 2 jam penuh hanya berdua bersama Binar, dan bentakan Simon. "Simon!" jeritku tak tertahan. Aku menanyakan keberadaannya pada perempuan ini, dan ia tak menjawab. Aku refleks melihat ke sekelilingku, mencari Simon. Apa yang terjadi pada manajerku itu? Apakah perempuan ini juga membawanya ke bukit ini?
Ia tidak memberiku jawaban tentang di mana Simon berada. Tapi ia menjulurkan tangannya ke arahku, "Kandi…" katanya. Ia memperkenalkan diri. Aku menyebutkan namaku, tak sanggup lagi berharap perempuan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku; dan ia tersenyum mendengar namaku, lalu bertanya padaku lagi. "Armein, aku akan membawamu pulang. Kau mau memejamkan mata untukku?"
Sebelum aku sempat menjawabnya, helaian selendang berkibar di badannya satu per satu mendatangiku, menutupi wajahku, dan aku bisa merasakan ada yang melilit pinggang dan kakiku juga, Kandi sepertinya memelukku. Aku belum terpejam, tapi aku sudah tidak bisa melihat apa pun, karena sepertinya wajahku tepat berada di depan dada Kandi. Membuatku tak berani bergeming. Aku bisa mendengar dentum lembut jantungnya. Tenang dan lembut. Beda sekali dengan denyut jantungku yang tak keruan. Hanya sesaat kemudian, selendang-selendang itu terlepas dari tubuhku, begitu pun pelukan Kandi, dan aku sudah berada di dalam kamar tidur di apartemenku.
Bagaimana Kandi tahu ini apartemenku? Gedung berlantai 40 ini berisi ratusan orang, dan aku memberikan alamat kantor Simon di lantai 5, sementara apartemenku di lantai 40. Tapi aku tak bisa bertanya lagi padanya, karena ia menghilang. Kandi raib. Entah ke mana.
Mungkin Kandi hanya khayalanku saja. Atau ada yang tidak beres dengan otakku akibat kecelakaan itu. Aku mencari ketiga telepon genggamku dan tak kutemukan. Aku tidak tahu bagaimana mengontak Binar—dia pasti sudah sangat cemas dan mengkhawatirkanku, atau mencari tahu kabar Simon, Erron, dan bodyguard-ku. Tanpa telepon genggam aku berlari ke balkon apartemen, berharap ada jalan lain untukku mencari kabar, lalu tercenung karena kusadari bahwa usaha terbaik adalah keluar dari apartemen dan turun ke kantor Simon atau ke lobi untuk mencari informasi. Namun kemudian, kepalaku dipenuhi bayangan betapa aku nanti akan bertemu orang lain; penghuni lain gedung apartemenku yang mungkin akan langsung minta foto bareng atau tanda tangan, bagaimana kalau di dalam lift aku bertemu penggemar maniak yang melakukan sesuatu padaku, atau paparazi?
Selama ini aku tidak pernah bisa memutuskan untuk turun ke lobi langsung sebelum ada konfirmasi dari Simon bahwa bodyguard-ku yang sudah siap menjemput di depan pintu apartemen dan akan menemaniku masuk lift sampai masuk ke mobil, dan seterusnya. Ini protokol standarku sehari-hari yang tanpa kusadari menjadi ketakutan dan penjara yang kubuat sendiri.
Kondisi ketika aku sendirian dan harus memutuskan untuk keluar atau tidak dari pintu apartemenku sendiri ini begitu memusingkan. Aku bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan sendirian tanpa Simon, tanpa kepastian bahwa aku akan baik-baik saja di balik pintu apartemenku sendiri. Tebersit di kepalaku, aku harus membeli telepon genggam baru, tetapi siapa yang akan membelikannya? Lagi pula, aku tidak akan ingat satu nomor pun. Betapa ironisnya, tiga benda kecil itu menentukan hidup matiku? Apakah kini aku tak sanggup melakukan apa pun tanpa benda-benda kecil itu? Ya Tuhan.
Lumayan lama aku diam kebingungan di depan pintu, tak tahu harus segera keluar atau tidak. Aku harus menyamarkan penampilanku dulu, pikirku. Ketika aku membalikkan badan, berniat untuk berganti pakaian dan menyamarkan penampilanku sebelum turun ke lobi, perempuan ajaib bernama Kandi itu sudah berdiri sejurus di depanku.
Tiba-tiba saja ia menjelma seperti hantu. Untung saja aku sama sekali tidak pernah takut pada hantu atau penampakan apa pun, meski untuk kepentingan publisitas Simon pernah memintaku untuk membuat pernyataan bahwa aku takut hantu. Menurutnya itu "cute".
Nah, aku tidak takut hantu atau vampir, alien, apa pun itu. Kini, aku bisa menghitung jumlah selendang yang berkibar-kibar di belakang tubuhnya, dan warnanya yang membingungkan, kadang terlihat hijau, kadang biru. Tujuh helai yang terus-menerus berkibaran seolah ada kipas angin besar yang selalu berada di depan tubuhnya, seperti dalam sesi pemotretan—untuk efek tertiup angin kencang dan rambut berkibar dramatis karenanya. Roman wajahnya tetap sama, cantik, ramah, tapi membingungkanku. Dan kini tangan kanannya—bukan yang terlilit sulur bebatuan perhiasan itu, menjulurkan 3 telepon genggamku. "Kau mencari ini?"
Saat itu, aku hanya menanggapinya dengan mulut setengah terbuka dan mata terbelalak. Karena kini kusadari bahwa Kandi nyata di dalam kehidupanku, bukan hantu atau halusinasiku.
"Di mana kau temukan ponsel-ponselku?" tanyaku polos. Tak ada pertanyaan lain yang muncul di kepalaku, melihat sosoknya saja sudah cukup membuat syaraf-syaraf otakku terasa membeku; tak bisa kupikirkan pertanyaan lainnya. Kiranya, syok berat mendera seluruh tubuh, termasuk otakku.
"Tergeletak di tempat mobilmu yang terbakar. Aku ambilkan dan kubawa ke sini karena kau pasti membutuhkannya…" aku ternganga melihat telepon genggam kuning yang sudah 90 persennya hitam terbakar, yang merah hancur, tinggal yang biru yang tepiannya hitam bekas terbakar tapi secara bentuk masih utuh.
Aku ingat ketika kecelakaan itu terjadi, aku sedang menggunakan telepon kuning untuk mendengarkan musik lewat earphone; saat itu Simon membentakku di dalam mobil karena tidak mendengarkan apapun yang dikatakannya. Telepon merah terjatuh dari pangkuanku, dan telepon biru di dalam tas selempang kecilku. Tiga benda di tangan Kandi itu menjelaskan dengan gamblang maksud kata 'mobil terbakar' yang dikatakan Kandi. Karena aku masih tidak bisa membayangkan, jika memang aku mengalami kecelakaan tadi malam dan mobil yang aku dan Simon tumpangi terbakar, maka seharusnya aku sudah gosong dan mati.
Tiba-tiba aku tak sanggup berdiri. Tungkaiku melemas. Aku jatuh bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya. Simon pasti sudah mati. Erron juga, dan seorang bodyguard-ku di kursi belakang. Mereka bertiga mati terbakar di dalam mobil itu. Lalu mengapa aku masih hidup dan tidak ikut terbakar? Seluruh jiwa dan otakku bekerja keras mengartikan semua yang sedang kualami; telepon genggam yang terbakar, Kandi, dan aku yang tidak apa-apa; tidak terluka seujung rambut pun. Detik berikutnya aku tak tahu apa yang terjadi, atau apa yang Kandi lakukan lagi padaku. Kalau aku adalah gulungan pita film jaman dulu, maka pitaku putus tiba-tiba, dan filmnya mati. Hitam.
Aku terbangun lagi di dalam kamar tidurku sendiri. Aroma teh lavender yang lezat yang menerobos huru-hara di dalam otak dan menyadarkanku bahwa aku belum mati. Masih banyak yang harus kukerjakan; yang terpenting adalah menuntaskan kebingunganku. Di ujung tempat tidurku, Kandi duduk bersila, menunggu.
"Kamu sebetulnya siapa, Kandi?" tanyaku dengan suara serak. Kandi menyodorkan cangkir beraroma wangi lavender. Aku menyeruputnya dengan perlahan. Khawatir teh kesukaanku itu juga halusinasi atau tiba-tiba hilang dari tanganku, atau Kandi juga tiba-tiba lenyap jika mataku tertutup cangkir teh.
"Aku pahalamu." Ia berkata seperti seorang ibu menjelaskan mengapa nyamuk bisa menggigit dan menyedot darahmu, pada seorang anak usia 5 tahunan.
Kandi lalu menjelaskan bahwa ia bisa menolongku bepergian ke mana pun aku mau dalam sekejap saja. Semacam teleporter. Aku teringat sebuah film yang pernah kutonton di bioskop bersama Binar. Tentang manusia yang memiliki kekuatan super berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya dengan melompat. Judulnya Jumper. Tapi tokoh di film itu merampok uang di lemari besi bank untuk hidup mewah dan tidak mengenakan kostum aneh seperti yang dikenakan Kandi.
Tiba-tiba ada halilintar menggelegar di dalam otakku dan aku tertawa terbahak-bahak. "Haaaa… ini reality show terbaru yang diceritakan Simon padaku minggu lalu! Haaa… kalian apakan aku sampai tidak tahu apa-apa? Am I being drugged? Mana kamera? Mana kameraaa?!" aku menceracau setengah panik sambil mencari-cari kamera ke seluruh penjuru ruangan.
Jauh di dalam hatiku aku merasa Kandi tidak berbohong, tetapi otakku tak mampu mengakuinya. Ini terlalu muskil. Pasti ada kamera tersembunyi dan aku berada di dalamnya tayangannya. Tidak ada Simon di sekitarku. Bahkan hanya suara berisik handy talky-nya sekalipun tak terdengar. Dan telepon-telepon genggam ini gosong.
Jika Kandi mengatakan yang sebenarnya, maka ia jadi semacam "Fairy Godmother" di film Cinderella? Seorang "Jumper" pribadi untuk diriku sendiri.