Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 2 - Armein 2

Chapter 2 - Armein 2

Sepulang dari pertunjukanku di Amerika, aku segera menjenguk Nana di rumah sakit. Kondisinya sudah sangat lemah. Mama, Papa, dan adikku Carra sudah ada di sana. Mata mereka seperti menghakimiku, menuduhku menjadi penyebab sakitnya Nana. Aku tak mampu berkelit, ya, akulah penyebabnya. Aku mengosongkan jadwalku untuk berada di samping ranjang Nana di rumah sakit. Aku tak kuasa pergi. Aku akan pergi jika Nana sudah sembuh.

Simon menghujaniku dengan permohonan agar aku tidak sepenuhnya menghentikan kegiatanku. Dia menggunakan banyak hal; memerah semua ide di kepalanya, mengatakan semua alasan yang terdengar masuk akal di kepalanya, hanya agar aku membatalkan keputusanku untuk cuti dari dunia hiburan demi Nana.

Dia, Mama, Papa, bahkan Carra tidak akan pernah mengerti betapa besarnya arti Nana untukku. Mama dan Papa meninggalkanku di desa untuk tinggal bersama Nana dan Dada; kakek nenekku dari Mama—sejak usia 4 tahun. Mereka berdua hanya membawa Carra yang waktu itu masih bayi baru lahir, untuk tinggal di kota mengejar karier Papa.

Nana adalah mamaku, papaku, adikku, dan pelindungku. Ketika aku sering menangis karena merasa ditelantarkan orang tuaku, Nana dan Dada mengajariku bernyanyi. Di tengah kebun buah apel dan cherry milik mereka, Dada merawat pohon-pohon buahnya sambil bernyanyi untukku, Nana juga melakukan hal yang sama. Hingga aku kanak-kanak lebih pandai bernyanyi daripada berbicara. Aku kecil terlatih untuk bernyanyi sepenuh hati untuk menghentikan sedih dan tangisku.

Saat aku remaja, Dada mengajariku mengemudikan traktor dan sepeda motor, juga melatihku menjadi petani buah-buahan yang baik. Nana tetap mengajariku bernyanyi, padahal Nana bukan seorang penyanyi bersuara merdu; ia hanya sangat senang bernyanyi dan mengetahui banyak lagu. Suaranya enak didengar dan menenangkan hatiku. Tidak penting merdu atau tidak. Apa pun yang dinyanyikan Nana, langsung masuk ke dalam kepalaku dan bisa kunyanyikan. Di sekolah, guru-guru menganggapku berbakat menyanyi, sehingga mereka memaksa Nana dan Dada mengizinkanku berlatih bernyanyi sepulang sekolah. Nana tentu saja senang melihat banyak orang yang memuji kepandaianku bernyanyi. Hanya Dada yang sesekali mengingatkanku untuk tetap rajin belajar hal lain, tidak hanya bernyanyi.

Tentu saja Dada tidak pernah tahu bahwa aku lebih sering berlatih bernyanyi bersama Nana di mana pun kami berada saat Dada tidak ada di tempat. Menyanyi tidak hanya melipur gundahku, tapi juga menghibur Nana. Melihat senyumnya mengembang dan memuji betapa tampannya aku saat bernyanyi, membuatku tak pernah sedetik pun melewatkan kesempatan bernyanyi bersama Nana. Aku lalu bernyanyi semudah aku bernapas.

Lomba bernyanyi yang pertama kali kuikuti mewakili sekolahku menjadi batu loncatan pertama karier bernyanyiku. Aku juara. Aku penyanyi pertama di desaku yang kemudian selalu menjuarai semua lomba menyanyi dan membawakan piala untuk kepala desaku. Nana jelas bangga dan bahagia waktu itu. Nana melepasku pergi ke kota dengan nasihat, "Kau terlihat tampan dan bahagia saat bernyanyi, Mein. Kalau itu yang membuat hatimu bahagia, lakukan sebanyak dan setinggi yang kamu mau. Nana hanya akan mendoakanmu agar bisa melakukan semua yang membahagiakanmu itu seumur hidupmu."

Nana dan nasihatnya membuat karier bernyanyiku melesat bagaikan anak panah yang dilesatkan ke angkasa. Kontrak pertamaku dengan sebuah perusahaan rekaman menghasilkan rumah baru untuk Nana dan Dada. Namun, Dada terlihat tidak bahagia. Dia memelukku mengucapkan terima kasih. Namun, raut wajahnya tidak mengatakan hal yang sama. Dada malah terlihat sedih ketika aku berpamitan kembali ke kota setelah mengantarkan kunci rumah untuk mereka.

"Mein, kamu bahagia?" Aku mengangguk. Aku tidak berbohong saat itu; aku mendapatkan semua yang kuinginkan sejak kecil; perhatian dari jutaan orang, kasih sayang yang dielu-elukan penggemarku, penghormatan, penghargaan dan uang yang cukup untukku membeli apa pun yang kuinginkan. Aku merasa dibutuhkan dan diinginkan. Semua orang ingin berdekatan denganku, bekerja denganku, berada dalam satu ruangan atau satu mobil denganku, bahkan meskipun sekadar berfoto lima detik denganku. Aku dikejar-kejar, diinginkan. Aku mendapatkan apa yang tak kudapatkan di masa kecilku.

"Ya, Dada, aku bahagia."

Dada merangkulku, mengelus-elus kepalaku sambil berkata, "Semoga saja begitu, Mein. Karena setahuku, ketenaran itu adalah penjara. Kau terkurung di dalamnya. Kau harus memastikan hidup dan jiwamu memang untuk berada di dalam kurungan itu. Jangan mengeluh… nikmati semua kesakitan penjaramu sebanyak kamu menikmatinya."

Aku terdiam mendengarnya. Hampir saja aku mengurungkan kepulanganku ke kota karena ingin sepenuhnya memahami apa yang waktu itu dikatakan Dada padaku.

Menjadi orang terkenal itu seperti orang dipenjara. Aku terpenjara karier bernyanyiku? Aku masih belum mengerti waktu itu. Dada tahu aku tidak mengerti. Dia berjanji akan menjelaskannya lagi nanti kalau sempat mengunjungi apartemenku di kota. Tapi dia tidak sempat menunaikan janjinya dan Simon memisahkanku dari pertanyaan penting itu.

Aku pulang ke kota dan ke bandara; tempat pemberhentianku. Dari titik itu aku terbang ke segala penjuru, lalu kembali ke titik pemberhentian yang sama, hanya untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk kembali pergi ke segala penjuru. Simon melakukan pekerjaannya sebagai manajer dengan sangat luar biasa. Aku hampir tidak mengerjakan apa pun dalam hidupku selain bepergian, bergaya, dan bernyanyi. Yang tidak Simon lakukan adalah memberi kesempatan padaku untuk kembali pada Dada, mendengarkan penjelasannya tentang apa yang tak kumengerti tentang penjara itu, atau setidaknya menerbangkan Dada ke apartemenku, agar Dada bisa menunaikan janjinya padaku.

Sebulan setelah kubelikan rumah baru itu, seorang pemabuk menabrakkan mobilnya ke kios koran langganan Dada. Pengganti ayah bagiku itu sedang mengobrol asyik dengan si penjual, saat mobil berisi 15 orang itu menghantam kios dengan kecepatan tinggi. Dada meninggalkan kami semua, sebelum sempat menyambangi apartemenku; sebelum mencerahkan pikiran kusutku tentang penjara yang sedang kubangun lebih kuat ini. Setahun setelah kepergian Dada, aku melakukan kesalahan fatal tak mengenali Nek Karsih—sahabat dekat Nana, lalu Nana masuk rumah sakit yang sama di mana mereka memeriksa jenazah Dada saat kejadian tabrakan itu. Aku tak mau membaca pertanda, aku tak mau kehilangan Nana.

Simon dengan kecerdikan manajerialnya dan puluhan orang-orang kreatif yang bekerja untuknya itu tak berhasil menggerakkanku. Dia membujuk Papa, Mama, dan Carra agar mereka membujukku. Simon salah. Tak seorang pun mampu membuatku pergi dari tepi ranjang Nana. Hingga suatu malam di kamar rumah sakit itu, aku yang tertidur di sofa di seberang ranjang Nana, dibangunkan bibir hangat Binar.

Dia tentu mengkhawatirkanku, dan memang hanya dia yang bisa memberiku rasa nyaman di tengah badai topan emosi yang kurasakan saat itu. Binar memelukku erat, menciumi kepala, telinga, dan leherku; mengatakan bahwa Nana mungkin sudah lelah dengan semua peralatan medis yang mengurungnya.

"Meinchi… kau tak boleh menangis begini. Kasian Nana dalam kesakitannya mendengar tangismu. Kau berdoa… dengan suara yang manis dan menyenangkan hatinya…" rayunya. Sayangnya Binar tak tahu bahwa aku-lah yang telah menghancurkan hati Nana. Nana seharusnya bangun dan memaafkanku dulu, sebelum aku berusaha menyenangkan hatinya lagi dengan semua yang aku bisa.

Setelah sebulan tanpa perubahan, meski terlihat memejamkan mata seperti tertidur nyenyak, tapi raut wajah Nana memang terlihat lelah. Binar mengajakku berdoa sambil menciumi tangan Nana. Aku tentu saja terkejut menyadari kedatangannya, merasakan sentuhan dan ciumannya. Binar juga pasti disibukkan jadwal-jadwal pertunjukannya sendiri ke berbagai kota di banyak sudut bumi. Tapi dia datang ke rumah sakit dan menemaniku selama dua hari. Aku bisa membayangkan betapa sibuknya Simon dan manajer Binar menjagai kami di luar rumah sakit. Atau hanya sekadar memastikan tidak ada paparazi yang menyamar sebagai suster dan merekam aku dan Binar di dalam kamar Nana.

Bagi publik, kami tidak boleh terlihat seperti ini. Apalagi Binar yang terkenal sebagai artis yang mewakili merek-merek keagamaan. Penggemarnya pasti tidak bisa menerima artis pujaan mereka ternyata rela menghentikan karier cemerlangnya selama 2 hari hanya untuk menemaniku menunggui nenekku yang koma. Bukan karena itu adalah semata perbuatan mulia, tapi karena Binar menghentikan dunianya untukku. Kenyataan itu akan menghancurkan jutaan mimpi penggemar Binar, tentang sosok idola mereka yang tak kalah terkenal dariku. Wartawan gosip pasti sudah sibuk menggoreng berita ini. Binar dengan aku. Simon dan Kharisma, manajer Binar pasti sudah kalang kabut dan bekerja ekstra keras untuk menutupi kenyataan ini.

Meskipun semua kerumitan ini terlintas di benak, aku tak begitu peduli. Begitu pun Binar. Kami sudah setahun lebih menutupi hubungan kami dari publik hanya karena aku tak ingin menghancurkan karier cemerlang Binar. Binar tidak boleh terlihat mengorbankan diri dan energinya untuk aku. Tidak boleh ada yang tahu. Itu bisa menjadi masalah yang sangat besar dan rumit. Catastrophic, kata Simon.

Aku selalu membantah tuduhan bahwa aku kekasih Binar, meski sudah banyak orang mencurigainya. Binar juga begitu. Sekelompok pengacaranya bahkan sudah melayangkan keberatan hukum pada semua pemberitaan yang muncul menceritakan kami sebagai pasangan sejenis. Salah satu sumbernya Hanun. Ia kawan baik Carra, adik perempuanku.

Hanun sesekali menjadi duri dalam daging karena cintanya kutolak. Ia seorang atlet bola voli yang lebih terkenal karena wajah dan bentuk tubuhnya. Aku menolak Hanun karena aku memang sudah mencintai Binar dengan seluruh jiwa ragaku. Aku tak mungkin mencintai Hanun. Meskipun seperempat isi dunia menyebutnya sebagai perempuan yang cocok bersanding denganku karena keserasian fisik kami. Meskipun ia dinobatkan sebagai gadis dengan wajah terseksi di dunia. Tapi gadis itu berhati batu, tidak hanya menurutku, tapi juga menurut Carra.

Ia tak akan berhenti melakukan segala hal untuk menyakitiku karena telah menolak cintanya. Aku sudah pasrahkan kasus itu pada Tuhan. Bisa apa aku menghadapi perempuan pendendam seperti itu. Ia menggiring opini publik untuk memusuhi Binar karena "meracuniku" dan membuatku menjadi gay. Ia melakukan semua itu dengan uang yang tidak sedikit. Menurut Simon, perempuan itu tidak akan berhenti hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. Mendapatkan respons dariku bagi Hanun sama seperti kompetisi model atau penghargaan kecantikan lainnya yang harus dimenangkannya.

Sebagian penggemar Binar atau penggemarku mungkin sudah terkena "bisa" Hanun. Namun, aku dan Binar sudah sepakat untuk tidak pernah mengonfirmasi semua berita yang disulut Hanun itu. Bagi Binar, berita itu bisa sangat berbahaya. Bagaimana semua merek keagamaan itu bisa menerima duta produk keagamaan mereka ternyata seorang….

Aku tak peduli. Tetapi Simon dan Kharisma berada dalam kesulitan terbesar mereka. Bagiku yang terpenting saat itu adalah Binar mendampingiku di titik terendahku di samping ranjang Nana di rumah sakit. Tidak ada momen terpuruk dalam hidupku yang lebih buruk dari ini. Hari ketiga Binar menemaniku, Nana meninggalkanku menyusul Dada. Aku merasa bumi terbelah dan aku tak sanggup bernapas dengan lancar, bahkan tak mampu menangis lepas. Binar ikut terpuruk bersamaku. Dia tak sanggup melihatku semerana itu.

Kepergian Nana membuatku harus dirawat di rumah sakit yang sama selama 1 minggu penuh karena mental breakdown. Tak terhitung kerugian kami, kata Simon. Tapi dia tetap berusaha terus sibuk sebagai manajerku. Meskipun foto-fotoku dirawat di rumah sakit karena duka cita beredar di berbagai media, Binar tentu saja tidak jadi kepergok mendampingiku karena Simon dan Kharisma memang manajer-manajer luar biasa.