Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 4 - Kandi 1

Chapter 4 - Kandi 1

Langit senang bermain dengan rambut halus di kedua lenganku. Dia mengelus-elus rambut keemasan di lenganku sebelum tidur. Saat makan bersama, atau membiarkanku menyuapinya buah berry, dia akan memandang mataku lekat-lekat, membuka mulutnya setiap kali diminta, dan mengunyah dengan binar bahagia di matanya. Kedua tangannya akan mengelus-elus bulu halus di lenganku. Tidak seperti Ray; kakak perempuannya yang tergantung pada nyanyian sebelum tidurku, Langit tidak membutuhkan apa pun untuk tidur nyenyak selain bulu-bulu halus di lenganku. Dia menyebutnya 'haru'… Ray sering mengejek kebiasaan adiknya ini, tapi pasti akan langsung aku tegur.

Aku ingin Ray belajar menghargai perbedaan. Bahwa semua makhluk memiliki kekurangan dan kelemahannya masing-masing; dan ada sebagian makhluk yang tidak terlihat lemah, padahal kelemahannya tersembunyi. Begitu juga makhluk yang kelemahannya begitu kentara, sesungguhnya mereka menyembunyikan kekuatan dan kelebihan yang bisa jadi lebih hebat dari kelebihan makhluk lain yang terlihat hebat.

Ray juga kularang menyebut 'aneh' pada makhluk seaneh apa pun yang dijumpainya. Aneh adalah kata yang sangat egois. Semua orang menjadi aneh hanya karena tidak diketahui atau tidak dipahami oleh sekelilingnya. Mengapa ketidaktahuanmu atau ketidakmampuanmu dalam memahami apa yang tampak memberimu hak untuk menyebut itu "aneh".

Kenapa tidak cukup di dalam hati saja, lalu disertai permohonan pada Sang Hyang Ilmu untuk membuatmu lebih cerdas dan tidak lagi merasa aneh. Bagiku kata "aneh" itu sama saja artinya dengan pengakuan "aku tidak tahu" atau "aku tidak mengerti", tetapi dengan tendensi menghakimi. Kalau tidak tahu seharusnya mengaku saja, dan tidak usah sombong dengan ketidaktahuanmu.

"Apakah ibu aneh menurutmu?" tanyaku padanya suatu hari. Ray menggeleng.

"Ibu-ibu lain yang tidak pernah menari saat muncul bulan purnama, atau yang tidak bisa menghilang tiba-tiba dari sisimu padahal kau sedang menggenggam tangannya, lalu muncul tiba-tiba juga; merekalah yang aneh!" jawab Ray. Aku menyorotkan tatapan marah.

"Ooops, maaf, Bu… maksudku…." Ray berusaha memperbaiki pendapatnya. Tapi aku tahu betul apa maksudnya sebenarnya, dan kubiarkan ia diam tak melanjutkan kalimatnya. Biar saja ia memikirkan segalanya, dan tak perlu ia katakan apa pun yang tidak ingin ia katakan. Aku juga salah, seharusnya aku tidak harus mengonfrontasikan ketidaksetujuanku atas jawabannya, bahkan dengan sorot mataku. Tidak perlu hari ini Ray memahami semuanya. Kelak ia akan paham, dan saat itu aku akan bahagia melihatnya.

Sesuatu pernah mengatakan padaku bahwa tidak semua pertanyaan bisa kau tuntut jawabannya. Kalaupun kau benar-benar menginginkan jawaban, kau bisa meminta, tapi tak bisa menuntut apalagi menggugatnya. Beberapa pertanyaan penting dalam hidup akan terjawab dengan sendirinya di masanya sendiri. Suatu hari ia akan mengatakannya juga kalau ia merasa perlu untuk mengatakannya.

Dengan menyepakati apa yang ada di benakku, aku memeluk Ray dan Langit. Masing-masing di kanan dan kiriku. Mataku menerawang jauh meninggalkan langit-langit rumah, melesat ke bayangan Razan. Dia adalah lelaki yang kulayani satu purnama lalu, dan hanya gara-gara aku tak tega meninggalkan Langit yang sedang sakit panas karena kebanyakan bermain layang-layang, aku telah membiarkan lelaki itu mengonsumsi air dalam batang tumbuhan di tengah hutan yang ternyata mengandung racun, hingga ia kehilangan nyawanya.

Lelaki istimewa itu seharusnya kulindungi dari segala mara bahaya, termasuk tersesat ataupun kehausan. Dia membuntuti seekor kijang bertanduk satu yang amat langka ke dalam hutan, tanpa ragu. Tentu saja, dia pasti sudah yakin bahwa aku akan selalu datang kepadanya di saat dia membutuhkan bantuanku. Sejak kami bertemu, Razan jadi tidak pernah takut tersesat atau hampir mati, apalagi sekadar kemungkinan diterkam binatang buas.

Dia merasa sangat percaya diri memasuki hutan yang tak dikenalinya. ia percaya betul pada nuye-nya, bahwa dengan mudah aku akan datang membawanya pergi dari mala petaka. Sampai kemudian dia memanggilku saat tersesat di tengah hutan itu, tapi aku tak menjawab karena Langit masih merengek karena demamnya, dan belum bisa kutinggalkan. Sebagai seorang lelaki istimewa, tentu saja dia menunjukkan sikap kesatrianya, tak memikirkan dirinya sendiri. Semacam lelaki yang mencintaiku. Tidak ingin menekan atau memaksakan kehendaknya kepadaku, meskipun dia sangat membutuhkannya.

Dia kemudian berusaha menenangkanku, mengatakan bahwa dia akan segera menemukan sendiri jalan pulang setelah memanjat pohon tertinggi, dan bahwa aku tidak perlu mengkhawatirkannya; dan aku memercayai apa yang dikatakannya. Semua yang dikatakannya adalah perintah bagiku. Aku menunggu dia memanggilku lagi. Tapi dia hanya berpikir bahwa dia kehausan dan ingin menemukan sumber air.

Suaranya terdengar kehausan dan kelelahan, aku seharusnya merasakan kejanggalan itu dan bergegas menghampirinya, tapi aku malah sekadar berniat akan segera menyusulnya, untuk membawanya pulang. Hanya beberapa detik kemudian, Razan sudah meneguk air dari "sumber air" yang ditemukannya itu. Aku menemukan lelaki istimewaku itu terkapar di bawah pohon besar dengan batang tumbuhan beracun di tangannya. Dia kehausan, meminum air itu dan tewas saat aku tiba di dekatnya.

Aku merasa bersalah yang amat dalam. Seperti telah menjadi orang yang sangat jahat, lalu berpura-pura menjadi sangat bodoh, dan kebodohan itu membunuh. Rasa bersalahku kadang-kadang membuatku mematung tanpa sadar; tak bisa berbicara ataupun bernapas. Seperti seseorang mematikan tombol ON di tubuhku. Sampai Ray atau Langit menyentuh tangan atau kulitku, membawaku kembali ke dunia ini.

Malam ini aku memeluk kedua buah hatiku yang tak lama kemudian tertidur nyenyak dan damai. Inilah saat yang tepat untuk mematung lama, menyadari kesalahanku; keegoisanku. Damchi macam apa aku. Karambi pasti kecewa padaku. Aku Damchi terburuk yang pernah ada dari semua generasiku. Aku aib. Tak layak hidup sebagai Damchi.

"Berhenti menghukum dirimu sendiri, Kandi…" suara Karambi di kepalaku. Aku lupa mengucapkan mantra untuk menutup pikiranku. Karambi mungkin sedang beristirahat juga, dan aku baru saja mengganggunya dengan pikiranku tentang Razan.

"Aku selalu salah. Kalau tidak kutabrak aturan karena perasaanku, kuabaikan tugasku demi perasaanku. Mungkin aku seharusnya tidak menjadi Damchi..." aku dan penyesalan tiada akhirku. Terdengar suara Karambi meloloskan satu lenguhan kesal. "Kandi, aku sudah katakan padamu berkali-kali. Ingatanmu tentang Lamaar akan membunuhmu kalau kau tidak segera melupakannya."

Aku ingin langsung menukas, 'bagaimana aku bisa melupakan Lamaar, karena ingatan pada lelaki istimewa itu hidup bersama 2 jantung yang hidup berdenyut seirama jantungku sepanjang waktu setiap saat?', tapi Karambi pasti akan lebih kesal, karena sudah pernah mendengar jawaban itu lebih dari dua kali sebelumnya. Lagi pula ini tidak masuk akal. Karambi seharusnya sudah tahu bahwa yang sedang kupikirkan saat itu adalah momen aku "membunuh" Razan, bukan Lamaar. Mengapa ia harus menyebut ayah dari Langit dan Ray padahal aku tidak sedang memikirkannya?

Lamaar adalah ayah kandung Ray dan Langit, lelaki istimewa juga. Karena kalau tidak istimewa tak mungkin aku dipertemukan dengannya. Bagi kami, para damchi, dipertemukan dengan lelaki istimewa yang harus kami layani keinginan bepergiannya adalah tugas mulia yang amat membanggakan. Mereka biasanya telah melakukan banyak hal luar biasa untuk makhluk lain yang tertindas, lalu karena kelemahan atau kekurangannya dijauhkan dari "hadiah" kebaikan atau kenikmatan—yang seharusnya menjadi haknya setelah berkorban untuk orang lain.

Keadilan baginya adalah dikirimkannya seorang damchi yang akan memberinya kebebasan bepergian ke mana pun yang diinginkannya. Damchi akan setia mendampingi, melayani, dan melindungi lelaki-lelaki istimewa ini sepanjang hidup mereka. Selain aku dan Karambi, ada lima belas damchi lainnya yang tersebar di muka bumi ini. Tidak semuanya perempuan sepertiku. Tugas kami adalah memberi orang-orang istimewa yang terpilih itu akses untuk mencurangi ruang dan waktu. Mereka bisa memanggil kami untuk datang dan melayani mereka kapan pun, lalu kami harus mengantarkan ke mana pun mereka ingin pergi untuk waktu yang mereka inginkan. Kemampuan kami berpindah ruang dan mengakali waktu akan berlipat ganda selama bulan purnama. Sebagian damchi akan menggunakan bulan purnama untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan khusus yang terlihat tidak mungkin; lebih dari sekadar menjadi teleport pribadi orang-orang istimewa itu.

Pekerjaan memberi hadiah perjalanan ajaib ini akan membuat orang-orang terpilih itu bahagia dan memiliki semangat hidup yang besar untuk terus melakukan hal-hal baiknya; yang otomatis juga membahagiakan kami; karena selesainya tugas kami pada seorang manusia istimewa akan membuat kami hidup ratusan tahun lagi. Syaratnya kami tidak boleh jatuh cinta pada manusia istimewa yang kami layani itu, atau kami kehilangan usia panjang. Aku melakukan pelanggaran fatal itu.

Aku mencintai Lamaar; lelaki istimewa yang kulayani. Aku damchi yang buruk karena menggunakan perasaanku dalam berkomunikasi dan melayani orang-orang istimewaku. Aku salah. Tapi kesalahan yang fatal itu kuterima dengan senang hati. Aku tak keberatan hanya berusia pendek saja, karena Lamaar telah memberiku Ray dan Langit.

Pendosa yang bahagia, begitu Karambi menjulukiku.

Bagaimana mungkin aku tidak mencintai Lamaar. Dia mengorbankan masa mudanya untuk mengurus kuda-kuda tua yang dia selamatkan dari halaman rumah jagal. Dia sampai harus melarikan diri ke dalam hutan bersama kuda-kuda yang dia selamatkan, karena pemilik rumah jagal dan polisi mencari-carinya. Ketika dia hampir tertangkap, aku terkirim kepadanya. Kubawa dia bersama semua kudanya ke desa ini, dan seharusnya kubiarkan dia menikah dan berkeluarga hingga dia meninggal dunia secara alami, lalu aku akan terkirim ke manusia pilihan berikutnya entah di sudut dunia sebelah mana. Namun, bukan itu yang terjadi.

Pandangan mata Lamaar kepadaku menusuk dalam ketika aku memindahkannya beserta kuda-kudanya. Tangannya menyentuh pipiku. Dia tidak melihatku dengan ketakutan, seperti yang biasanya terjadi ketika manusia melihat damchi untuk pertama kalinya. Lamaar tak banyak berkata-kata, tetapi matanya mengatakan semua isi hatinya.

Aku melanggar aturan karena kubiarkan Lamaar jatuh cinta padaku, dan membiarkannya membuat aku jatuh cinta juga padanya. Lamaar menginginkanku; ingin memiliki jiwa dan ragaku. Aku seharusnya bisa menghentikannya di titik itu, tapi pandangan matanya yang tajam dan senyumnya itu ternyata membuatku menginginkannya juga. Tidak lagi soal seorang lelaki istimewa yang diistimewakan damchi-nya, tetapi soal Lamaar dan aku, yang tak ingin terpisah, dan saling menginginkan. Lalu kami memiliki Ray dan Langit.

Jatuh sudah hukuman kepadaku. Aku tak mungkin bisa sepanjang umur Karambi, Madea, Vong, dan damchi-damchi lain. Aku akan meninggalkan dunia fana ini seperti manusia biasa lainnya suatu hari nanti. Yang aku sendiri tak tahu kapan itu. Tapi sepanjang aku menghabiskan umurku bersama Lamaar, aku tak keberatan untuk mati bersamanya.

Apakah aku menyesal? Ya.