Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 7 - Kandi 4

Chapter 7 - Kandi 4

Karambi, ia juga tak mampu menghindar ketika manusia istimewa yang harus dilayaninya adalah seorang lelaki yang kemudian banyak menuntut. Namanya Bam. Karambi terkirim padanya ketika semua orang di sekitarnya meninggalkannya terkapar di pinggir jalan setelah berkelahi melawan orang-orang jahat yang akan menculik seorang anak perempuan, dan dia berhasil menggagalkannya. Mereka mengira dengan semua darah dan serangan benda tajam yang menghajar tubuhnya, lelaki itu tak mungkin hidup lagi. Tak ada seorang pun yang ingin membawa tubuhnya menepi atau bahkan membawanya ke rumah sakit untuk berusaha menyelamatkan nyawanya, karena gerombolan penjahat itu mengawasi dari jauh, menunggu siapa pun yang akan berusaha menolongnya. Sehari semalam terkapar, akhirnya Bam benar-benar ditinggalkan sendirian di pinggir jalan yang sepi itu. Tepat sebelum seekor ular piton lapar dilemparkan ke arahnya, Karambi membawanya ke sebuah rumah kosong di tepi sungai berjarak dua gunung dari tempat Bam ditemukan.

Setelah selama 4 hari Karambi merawatnya dengan sangat telaten, Bam akhirnya bisa membuka mata dan berbicara terbata-bata. Karambi menjelaskan tugasnya pada Bam, dan bahwa Bam boleh memilih untuk memelihara Karambi atau mengusirnya. Lelaki itu tentu saja membutuhkan Karambi. Menurutku, Bam kemudian jatuh cinta pada Karambi. Namun, tidak seperti aku yang berhati lemah, Karambi tidak terbawa suasana ataupun terpengaruh dengan sikap Bam. Karambi berfungsi sebagai damchi teladan; yang hanya mengabdikan dirinya dan tak sedikit pun menjadi jatuh cinta atau menjalin hubungan yang lebih dalam dengan orang istimewa yang dilayaninya. Begitulah seharusnya. Namun, Bam sepertinya tidak pernah putus asa untuk berusaha membuat Karambi jatuh cinta padanya. Lelaki itu menjadi salah satu yang terpilih karena tidak pernah surut menolong siapa pun yang membutuhkan pertolongannya. Siapa pun. Bahkan ketika rumah warisan satu-satunya diminta oleh seorang janda tua yang ditelantarkan anak-anaknya, Bam memberikannya. Dia meninggalkan rumah hak miliknya dengan suka cita, demi melihat kebahagiaan janda tua itu yang akhirnya bisa tinggal sendiri tanpa perasaan sakit karena merasa membebani anak-anaknya.

Bam juga memberikan apa pun yang dipegangnya kepada siapa pun yang membutuhkannya dan meminta padanya; bahkan makanan yang sudah berada di depan mulutnya sekalipun. Dengan kualitas seluar biasa itu, Bam memang sangat istimewa. Kehadiran Karambi tentu menjadi hadiah yang tepat, lelaki itu pantas mendapatkannya. Namun, kemudian Bam dirundung cinta pada Karambi, hingga melakukan banyak hal yang sebelumnya tak pernah dilakukannya. Bersikap egois, cerewet, dan senang menuntut Karambi ini dan itu. Menurutku, dia mungkin berharap agar Karambi merasa kesal dan menunjukkan emosinya. Karena sebagai damchi Karambi memang seolah robot pelayan tanpa emosi.

Karambi pernah menceritakan padaku bagaimana Bam memintanya untuk memeluk dan menciumnya saat mereka berada di puncak gunung.

"Kau lakukan?" tanyaku. Karambi mengangguk, "Tentu saja. Apa pun yang dia inginkan…" lalu aku bertanya lagi apakah Bam bahagia setelah Karambi melakukannya. Mengejutkan karena jawabannya tidak.

"Aku pikir dia akan senang setelah aku mengabulkan keinginannya itu, Kandi… tetapi dia tidak bahagia melihat wajahku, dan berkata bahwa dia tak akan pernah lagi memintaku memeluk dan menciumnya… dan dia terlihat sangat sedih…" Karambi menceritakannya dengan wajah datar, seolah keheranan dengan apa yang dialaminya itu.

Mendengar itu aku jadi teringat bagaimana Lamaar memperlakukanku. Dia tak berani melakukan atau meminta apa pun yang seperti itu. Hanya minta bepergian ke tempat-tempat yang selama ini tidak bisa didatanginya saja. Ketika dia mencium batu hijau di gelang yang kuberikan, Lamaar selalu berkata dengan sangat hati-hati; "Bolehkah aku memintamu membawaku ke Kampung Paseron… di sana sedang ada pesta rakyat yang kabarnya sangat meriah dan seru. Aku ingin menyaksikannya." Lalu dia akan menunggu aku membentangkan selendangku di ujung tarianku, sebelum aku memberi tanda untuknya mendekat dan memeluk erat pinggangku. Dan ketika kujentikkan ujung selendang yang membawa kami ke tempat tujuan yang diinginkannya dua detik kemudian, dia akan langsung melepaskan pelukannya dan melangkah mundur, membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih.

Lamaar sangat takut bersikap kurang ajar padaku dan membuatku tidak nyaman. Aku bisa membayangkan bagaimana Karambi menuruti perintah Bam untuk memeluk dan menciumnya di puncak gunung, karena aku juga akan melakukannya jika aku jadi Karambi. Namun, Lamaar tidak pernah melakukan itu sebelum akhirnya aku yang memulai, aku yang membiarkan azimat biru berpendar di dadaku disentuh Lamaar dalam perjalanan kami ke pulau Nambi suatu kali. Lamaar ingin memetik buah jeruk liar khas Nambi yang sangat terkenal waktu itu. Tepat ketika Lamaar menyentuh azimat biru itu, waktu dan ruang terjeda. Kami melayang diam di atas lautan, Lamaar memeluk pinggangku lebih erat. Dia terkejut dan terpesona menyadari bahwa selama ini kami terbang ke sana kemari, meski hanya dalam hitungan detik. Lamaar melihat ke sekelilingnya, tak bisa memercayai apa yang dialaminya, dia lalu meneteskan air mata yang tak kupahami.

Entah mengapa. Aku tak mampu mengartikannya, karena ketika dia melakukannya, tak ada pikiran apa pun di benaknya yang bisa kudengarkan. Dan aku tak tahu apa yang terjadi dalam pikiranku sendiri, karena aku menghirup tetesan air mata Lamaar itu dengan penuh kasih. Seolah tak rela dia telah meneteskannya. Sejak saat itulah Lamaar kemudian berani menyentuhku; memeluk dan menciumku, dan membuatku jatuh cinta kepadanya dengan segala yang kumiliki. Jiwa dan ragaku. Dalam hal ini, Karambi benar, aku salah. Karambi damchi yang kuat dan baik, aku lemah dan tidak baik. Aku damchi yang cacat.

Aku tak mungkin lagi meminta pengampunan atau pengurangan hukuman. Apa pun bentuknya yang dijatuhkan atasku. Aku melanggar semua aturannya. Namun, bagaimana mungkin aku tidak melakukannya. Lamaar membuatku merasa bukan seorang damchi, aku seperti manusia istimewa bagi Lamaar. Dia menginginkanku, memujaku, memandangiku dengan penuh cinta, seolah dunia ini tak ada artinya dibandingkan keberadaanku. Sentuhannya yang lembut dan penuh pengertian, penuh penghormatan atas tubuhku dan keberadaanku, membuatku merasa aku adalah raja diraja bagi Lamaar.

Seperti aku menempatkan Lamaar sebagai prioritas utamaku, aku juga menjadi prioritas utama Lamaar. Sebagai damchi, kami tidak pernah punya hak meminta sesuatu pada manusia istimewa kami, tapi Lamaar memintaku untuk banyak meminta padanya, dan dia akan memberikannya. Bagaimana hatiku tidak lemah karenanya. Ketika aku melahirkan Ray, Lamaar mencium kakiku, seperti seorang hamba mencium kaki dewanya. Seketika itu juga aku ingin melahirkan lagi dan merasakan lagi getaran cinta Lamaar yang bahagia karena aku telah melahirkan anak kandungnya.

Tidak jelaskah semua keindahan dan getaran yang amat berharga itu bagi Karambi, Madea, dan yang lainnya? Namun, mungkin karena aku damchi yang lemah, aku sempat meragu; jika Karambi menjadi aku atau berada di posisiku, apakah ia akan kuat dan mampu tak berperasaan menghadapi pandangan mata dan cara Lamaar memperlakukanku. Atau apakah sesungguhnya Bam tidak memiliki kekuatan pandangan lembut seperti Lamaar, atau sentuhan yang menggetarkan jiwa dan raga seperti yang Lamaar selalu berikan padaku?

"Apakah kau tidak pernah mencinta, Dayu?" tanyaku pada perempuan kuat itu. Ia yang sedang melukis bunga-bunga kecil di kulit lengan Ray mendongak mendengar pertanyaanku. Ia menatapku lama sebelum balik bertanya, "Kepada lelaki?" Aku mengangguk, Dayu langsung menggelengkan kepalanya. "Mereka semua babi," tukasnya kemudian. Aku tertawa sedikit.

"Tidak semua lelaki jahat, Dayu, dan aku belum pernah melihat ada babi yang jahat juga…" kataku. Ganti Dayu yang tertawa berderai-derai.

"Aku mencintaimu!" katanya tiba-tiba. Tangan kanannya menggapai ke arah wajahku. Refleks kucondongkan tubuhku ke arahnya, agar tangan kanannya sampai di wajahku, dan Dayu kemudian mengelus lembut pipiku. Aku tersenyum padanya, "Aku juga mencintaimu, Dayu!" Perempuan itu membalas tatapanku dan sorot mata yang dalam menggali ke dalam jantungku.

Ray lalu berteriak, "Aku cinta Ibu, aku cinta Dayu juga!" lalu kami tertawa-tawa sambil berpelukan. Mungkin kalau Langit tidak sedang tidur siang, dia akan ikut dalam kelompok peluk-pelukan kami dan tertawa paling keras.

Namun, aku dan Dayu tidak bisa tertawa keras kalau dua anak yang indah itu sudah tertidur lelap. Dayu yang tidur di atas ayunan kain di samping amben tempat aku, Ray, dan Langit tidur, akan menjulurkan tangannya ke arahku, minta digenggam. Kami bisa berbicara lama berjam-jam, terkadang sampai fajar menyingsing, sambil berpegangan tangan seperti itu.

"Kau seperti akan pergi, Kandi…" kalimat itu sudah berpuluh kali ia ungkapkan. Dan setiap kali aku pasti hanya akan menjawabnya dengan senyuman. Dayu tidak banyak menuntut perlakuan apa pun, kecuali selalu mengajukan pertanyaan yang sama itu berkali-kali. Selalu ketika anak-anak sudah tidur, atau ketika kami hanya berdua saja. Kalau aku diam tidak menjawab, ia akan menunggu beberapa menit, dengan mata tetap menatapku lekat-lekat, berharap akhirnya aku menjawab. Namun, ia kemudian akan mengalah dan berhenti menunggu jawabanku.

Seandainya Lamaar ada di sini, aku mungkin akan menanyakan padanya, apakah sikap penuh kasih yang Dayu curahkan padaku akan membuatnya juga mengasihi dan menyayangi Ray dan Langit? Karena aku inginnya seperti itu. Meskipun aku tidak yakin. Lamaar pasti tahu jawabannya. Karena ia menjadi yang pertama yang bisa menyebutkan dengan tepat apa sesungguhnya yang kurasakan ketika aku menangis bahagia melihatnya mencium kakiku setelah anak-anak kami lahir. "Kau merasa semesta raya ini menyayangimu, Kandi…" ujarnya menyebutkan isi kepalaku. Aku sendiri tidak tahu bagaimana membahasakan perasaanku saat itu, tapi Lamaar bisa menyebutkannya dengan tepat.

"Kau merasa bahwa alam semesta ini tercipta untukmu dan anak kita, ya, Kandi… Aku menjadi bagian yang sangat kau sukai dari alam semestamu. Semestaku membaur ke dalam semestamu, Kandi. Kulakukan apa pun untuk membuatmu tersenyum dan menatapku seperti itu…"

Bagi kami para damchi, merasakan getaran perasaan yang dalam itu sangat membingungkan. Aku tak tahu apakah Karambi pernah merasakannya. Namun, ketika aku merasakannya, aku tak tahu bagaimana menceritakannya, bagaimana membuat yang lain tahu apa yang sedang kurasakan. Seperti saat kau membuka sedikit saja cangkang mutiara, mengintip ke dalamnya, dan terlihat butiran mutiara yang berkilau indah memesona, lalu kau menyadari bahwa cangkang dengan mutiara di dalamnya itu adalah makhluk hidup yang ingin kau biarkan tetap hidup. Sementara kau sudah telanjur melukai cangkangnya. Kau tak mungkin membuka cangkangnya dengan sekuat tenaga hanya untuk mengambil mutiaranya. Itu akan melukai mutiara itu. Keinginan mengambil hanya karena kau jatuh cinta pada keindahannya itu begitu tak masuk akal.

Kau ingin mutiara yang memesona itu tetap hidup meski ia tersembunyi di dalam cangkang yang keras. Saat itu kau sepenuhnya meyakini bahwa mutiara itu adalah makhluk hidup yang kau pegang, yang nasibnya sepenuhnya berada di tanganmu. Tanganmu yang akan menentukan apakah mutiara memesona itu akan tetap hidup atau menjadi benda mati. Mungkin se-membingungkan itulah yang kurasakan terhadap Lamaar ketika dia mencium kakiku setelah anak kami lahir.

"Kandi, apakah kau yakin jika perasaan sayangmu pada anak-anakmu itu karena mereka lahir darimu, atau karena mereka anak-anak kandung Lamaar?" tanya Karambi suatu kali. Aku terdiam mendengarnya. Aku nyaris tidak bisa menjawabnya. Kujawab saja, "Aku mencintai mereka karena mereka bagian dari diriku dan Lamaar. Mereka monumen kami." Aku tahu jawabanku tidak memuaskan Karambi. Ia tak akan pernah memahaminya.

Wajah Langit semakin hari semakin menyerupai Lamaar. Terkadang saat Langit berada dalam pelukanku dan memandangiku tajam, aku bisa merasakan kehadiran Lamaar di mata dan sentuhan Langit di kulitku. Dia seperti masuk ke dalam tubuhku, membuat seluruh peredaran darahku hangat dan melepaskan semua ikatan yang menyakitkan di dalamnya.

Ray jarang memandangi mataku. Ia lebih sering menghindar dari tatapanku. Namun, saat ia bermanja padaku, sentuhan tangannya di kulit bahuku, atau lenganku, kurasakan mengandung Lamaar di sana. Kehangatan Lamaar dan kelembutan ciuman bibirnya pada diri Ray. Gadis kecilku yang lucu tapi pemalu, seperti ayah kandungnya. Ia akan seketika menghentikan nyanyiannya saat bermain bersama kambing, kucing, atau tupai-tupai di halaman rumah kami, begitu ada seekor burung saja menimpali nyanyiannya. Ia tidak marah, tapi terlihat tersipu malu ketika suaranya ditimpali.

"Kenapa kau tidak bernyanyi bersama saja, Ray? Mereka sepertinya ingin bernyanyi bersamamu…" komentarku jika burung-burung mulai berkicau mendengar nyanyian Ray. Ia tetap tersipu malu menjawabnya, "Suaraku tak sebagus mereka… mereka ingin membantu nyanyianku…agar Ibu dan semua pepohonan terhibur."

Itu juga Lamaar. Tak ingin mengakui kemampuannya sendiri. Ray mewarisi sisi Lamaar yang selalu merasa tidak cukup baik dan tidak pantas mendapatkan pujian. Tidak hanya itu, aku bisa merasakan Ray juga mewarisi sisi Lamaar yang tidak ingin membuatku tercenung dan sedih.

Dayu beberapa kali memergoki gadis kecilku itu menatapku lama dari jauh dengan sorot mata cemas. Mungkin di dalam hatinya sudah muncul firasat bahwa aku akan meninggalkannya tiba-tiba, suatu saat. Tapi tidak seperti Dayu, Ray tidak pernah bertanya. Gadisku itu seperti Lamaar, takut jika rasa penasarannya menyakitiku atau membuatku tiba-tiba pergi. Padahal aku tak mungkin ke mana-mana selama Lamaar ada di sana, di dasar benakku, di dalam jantungku, menjadi alasan untuk semua yang aku lakukan.

"Kamu terlalu merindukannya dan itu tidak baik untukmu. Kamu harus melupakan…" Karambi selalu ikut campur dengan perasaan dan fokus hidupku. Aku tidak keberatan ia melakukannya. Aku hanya meragukan apakah aku bisa seperti yang diinginkan Karambi. Dan apakah yang diinginkannya itu sama dengan yang diinginkan Ray dan Langit atasku?

"Aku ingin…." Dayu memandangiku dalam, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tidak sempat menunggu atau menjadi penasaran, karena tiba-tiba kurasakan suara musik alam yang sangat kukenal, mantuley.

Gemerisik ujung-ujung rumput tinggi menari tertiup angin, yang disambut suara batang-batang pohon yang meliuk menunjukkan kekuatannya, lalu tarian dedaunan, lalu menjadi lagu yang lembut mengalun menundukkan malam. Aku tinggal membuka mulutku, menyanyikan lagu yang bukan berasal dari ingatan, melainkan dari seluruh aliran darah dan sel yang berdenyut lebih kencang dari jantungku, membuat tubuhku seringan kapas. Setelah itu, dimulai dari ujung jari kaki kiriku yang akan menyala ungu, tujuh helai selendang terjuntai dari punggungku, kalung 700 batu akan mulai melingkar dari ujung kaki kiri, naik ke torsoku, membelit pinggang, merambati punggung dan bahuku, lalu batu azimat biru yang berpendar akan terjuntai tepat di belahan dadaku. Tubuhku menari tanpa kendali. Saat itulah aku akan melesat pergi meninggalkan semuanya; Ray, Langit, dan Dayu.

"Kau sudah siap, Kandi?" tanya Karambi dengan suara bergetar. Ia lebih gugup dari aku mengantisipasi mantuley-ku kali ini. Kupikir ia juga memikirkan semua yang akan terjadi padaku dan ikut merasa gundah. Hanya aku dan Karambi yang bisa merasakan kedatangan musik alam itu sebelum benar-benar terdengar sebagai musik yang menandai tugas kami. Aku tak akan menjawab pertanyaan Karambi, aku menoleh pada dua anak mutiaraku itu. Kuciumi wajah mereka yang terlelap, lalu kugenggam tangan Dayu lebih erat, "Jaga baik-baik mereka berdua…" bisikku. Anak sungai di matanya.