"Apa pendapat Anda tentang hubungan Armein dan Hanun?" tanya reporter acara gosip itu pada Binar. "Sebagai sahabat, saya tentu mendukung, apa pun yang terbaik untuk Armein!" jawab Binar dengan senyum mengembang. Kacamatanya menutup sempurna sorot matanya. Tentu saja. Mata tak bisa direkayasa kosmetik apa pun. Tanpa kacamata, puluhan kamera itu akan merekam emosi asli dari sorot matanya. Kemarahan dan kekecewaan yang hampir membuatnya tak mampu berkata-kata.
Namun, demikian Binar sudah sangat ahli menyiasati hal-hal seperti ini. Ia tahu segerombolan wartawan akan merubunginya begitu dia keluar dari gedung pertunjukan, semata karena malam sebelumnya foto aku mencium kening Hanun ketika kami baru saja menyumbangkan sejumlah uang untuk membangun sebuah gedung bertingkat untuk rumah penampungan anak jalanan; menjadi highlight di semua media.
Binar sulit mengakui betapa rumitnya kenyataan itu. Foto itu bukan tanpa rencana dan rancangan berbulan-bulan, termasuk diskusi dan perjanjian bisnis yang kompleks menyertainya. Simon dengan mendetail meminta aku mengelus ujung rambut Hanun, menawarkan diri membawakan tas dan payungnya—aku tidak boleh melupakan ke sisi mana logo merek terkenal di tas Hanun harus menghadap ketika aku berakting setengah memaksa ingin membawakan tasnya. Aku juga wajib membuka pintu untuknya dalam perjanjian bisnis itu, dan 'nyalakan api tepat di acara puncak' begitu perintah Simon tentang rekayasa adegan yang akan menjadi sajian lezat para pewarta. Api yang dimintanya adalah satu sentuhan ujung hidungku ke kening Hanun yang disebutnya sebagai "ciuman impulsif".
Simon juga mengirimkan skrip dari manajer Hanun. Isinya termasuk apa yang harus dilakukan Hanun; untuk berpura-pura tidak tahu aku ada di belakangnya, dan ia akan memutar tubuh sehingga wajah kami berdekatan; hadiah untuk para paparazi, lalu tidak lupa menutup wajah berpura-pura malu ketika aku mencium keningnya. Tentu saja, aku harus mengetahui skenario itu untuk menyinkronkan aksiku. Siapa bilang pekerjaan menjadi selebriti itu mudah?
"Tapi kau tidak menciumnya!" protes Carra. "Dari mana kau tahu?" tukasku. Carra lalu bercerita bahwa lima menit setelah media pertama memublikasikan ciuman itu, muncul video slow motion adegan cium kening sok impulsifku itu. Dari video itu terlihat bahwa aku hanya menempelkan ujung hidungku ke kening Hanun. Dan menurut Carra, video itu jadi lebih viral daripada video resmi adegan ciuman itu, dan Hanun sangat kecewa. "Ia menangis di telepon, bilang kalau kau sudah merendahkan harga dirinya!" gerutu adikku. Tentu saja aku menukas, "Aku tidak merendahkannya…"
Hanun. Gadis itu seharusnya tahu bahwa aku tak mungkin mencintainya. Mengapa ia mau saja menyetujui skenario pencitraan karya Simon dan manajernya. Kalau saja ia menolak, mungkin dengan mudah aku juga akan menolaknya. Bagiku lebih mendamaikan hati ketika karya musikku saja yang dieksploitasi habis-habisan, atau proses kreatifku.
Aku tak keberatan harus melakukan reality show berpura-pura menjadi pengamen lusuh untuk mengejutkan penggemar, atau muncul tiba-tiba di acara sekolah penggemarku, memberi kejutan pada anak-anak yang sakit di rumah sakit, atau lainnya yang seperti itu.
Berpura-pura memiliki hubungan personal dengan orang yang tidak kita cintai itu sangat melelahkan. Pernah suatu kali aku sedang melakukan pemotretan untuk produk fesyen di sebuah pertokoan dan Hanun kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu. Simon memintaku berakting terkejut dan berpura-pura "agak bahagia' melihat kedatangan Hanun yang tiba-tiba. Aku langsung merasa di neraka, karena skenario dadakan itu masih harus disusul 1 jam sesi foto berikutnya.
Sesudah drama rekayasa yang menghasilkan banyak foto dan video "candid" itu, fotograferku mendekat dan berbisik, "Arm, aku tidak bisa memakai foto-fotomu ketika ada Hanun di sini tadi. Wajah dan auramu sangat berbeda, jadi keluar konteks. Semua frame di satu jam terakhir ini harus kubuang saja, Sorry…" Tentu saja. Aku tak terkejut, meski betul-betul merasa kecewa. Wajah orang yang kedamaian hatinya dicerabut paksa demi komoditi hiburan, yang semata hanya berdampak ekonomi—seindah apa pun itu, sehebat apa pun bakat berpura-puraku, pasti sangat "mengenaskan" dan jauh dari nilai seni yang menjadi tema pemotretanku hari itu. Aku tahu.
Menahan perasaan sendiri sudah sangat sulit, belum lagi keesokan harinya ketika foto-foto candid karya paparazi bermunculan di media, aku harus menghadapi sakit hati Binar dengan segala daya upaya. Seluruh energiku.
Dia sendiri sering menjalani sesi foto bersama perempuan-perempuan cantik. Namun, aku tak akan marah ataupun tersinggung melihatnya. Termasuk ketika muncul foto-foto atau video "candid" pertemuannya dengan selebriti perempuan lain. Karena aku tahu itu bisnis semata. Namun, Binar senang membuatku panik dengan kecemburuan dan rajukan setiap kali ada pemberitaan atau fotoku dengan Hanun.
Binar sadar betul betapa aku tak tahan diserang kecemburuannya, dan bahwa aku akan berbuat segalanya hanya untuk menenangkan hatinya. Mahal betul harga penjaraku ini…
Wawancara Binar tadi pagi berbuah teleponku tak diangkat olehnya. Dua puluh sembilan panggilan tak terjawab tidak juga membuatnya memaafkanku dan membebaskanku dari dampak skenario bodoh ini.
Aku meminta Erron menyiapkan mobilku, selepas meeting malam ini; aku harus mendatanginya. Dengan atau tanpa persetujuan Simon dan Kharisma, manajer Binar. Aku tak peduli. Seperti yang kuduga, Kharisma mengirimkan pesan pendek ke telepon genggam biruku, "Binar ngambek, dia menangis, Arm. Sudah 1 jam mengunci diri di kamar. Padahal 2 jam lagi pemotretan. Ponselnya dimatikan."
Setelah kepergian Nana dan Dada, kabar seperti itu menjadi prioritas utamaku; membuat jantungku berdebar lebih kencang dan keringat gugup mengucur di sekujur tubuh. Aku akan melupakan semua kontrak atau kode etik apa pun ketika mendengar Binar menangis. Aku sendiri tak mungkin melakukan meeting atau pekerjaan apa pun setelah mengetahuinya.
Sementara aku dan Simon sudah kadung berada di dalam ruangan meeting dengan para kapitalis ini. Kalau saja belum, sudah kubatalkan kehadiranku, dan tanpa menunda sedetik lebih lama lagi, aku akan menjumpai belahan hatiku. Dan ironisnya, yang tahu betul sebesar apa masalah ini untukku hanya Simon, Erron, dan Kharisma. Selebihnya hanya melihatku sebagai selebriti yang "sedang kumat angkuhnya" karena aku menampakkan kegusaran.
"Satu jam lagi aku ke sana, Ris. Kamu amanin, ya…" perintahku. Simon langsung berwajah kalut. Dia tahu apa yang akan terjadi kalau aku sudah membuat keputusan mendadak tentang Binar. Simon juga sadar bahwa aku dalam suasana hati ketika manajerku sekalipun tidak akan bisa menahan atau menolak keinginanku.
Simon langsung berdiskusi dengan dua stafnya tentang bagaimana menyelundupkan aku ke gedung pemotretan Binar malam ini tanpa memancing kehadiran paparazi. Ini mission impossible mereka, yang sudah mereka kuasai betul mekanismenya. Kharisma akhirnya mengakomodasi keinginanku dengan cara mengumpulkan semua kru untuk acara pemotretan Binar hari itu di lantai yang berbeda untuk briefing; beberapa menit sebelum kedatanganku. Ia juga sudah menyisipkan selembar kertas bertuliskan 'Ur Tophat is on the way' ke bawah celah pintu kamar ganti Binar, agar kekasih hatiku itu tahu bahwa aku dalam perjalanan menemuinya. Binar menggunakan kata sandi "tophat" untuk menyebut aku di depan manajer dan stafnya. Seperti aku menamai Binar "biscuit" ketika membicarakannya dengan Simon.
Aku tak memedulikan semua petunjuk dan strategi yang dijejalkan Simon ke dalam telingaku selama 40 menit perjalanan dari tempat pertemuanku ke gedung tempat sesi foto Binar. Dalam perjalanan karierku, Binar adalah rasa aman dan nyamanku. Kemungkinan bahwa Binar akan begitu marah hingga meninggalkanku, bagiku adalah akhir dari segalanya, termasuk berakhirnya bisnis Simon dan karierku.
Aku tidak yakin aku masih bisa terus berkarier sebagai penyanyi atau pemusik tanpa Binar mendampingiku. Di titik ini, aku merasa sudah selesai dengan ambisiku, tetapi ada banyak konsekuensi berat jika aku tiba-tiba saja menghentikan semuanya, pindah ke lereng gunung dan menjadi petani bunga dan ubi. Binarlah satu-satunya alasan mengapa aku terus mempertahankan peringkat selebritiku, dan setengah mati menghajar rasa malas memelihara kegantengan wajahku.
Di sisi lain, aku tahu juga bahwa lelaki cerdasku itu tidak akan mudah dilemahkan keadaan dan penjaranya. Aku menyetel video wawancaranya tadi pagi berulang-ulang di layar ponselku; mencoba mengingat dan meneliti detail apa dari pertanyaan-pertanyaan wartawan itu yang telah membuat Binar sedemikian marah padaku. Bukankah di antara semua orang di sekelilingku dia yang paling tahu perasaanku yang sesungguhnya. Bahwa aku tak mungkin menyetujui skenario menjijikkan mencium Hanun di depan kamera, kalau tidak karena ada konsekuensi dengan kontrak dan jenjang karierku; semua itu semata urusan bisnis. Binar pasti tahu betul itu. Tapi...
"Kalau kau tak memedulikan image-mu, mengapa tidak kau pedulikan image Binar, Arm!" bentak Simon padaku untuk mengembalikanku pada kenyataan bahwa aku harus bersikap dan berlaku lebih bijak pada situasi ini dan harus mengendalikan emosiku.
Simon tidak bisa menerima begitu saja sikap emosionalku untuk segera menenangkan Binar yang merajuk. Menurutnya, itu terlalu 'obvious'... Meskipun aku sempat mengatakan 'persetan', tapi aku akhirnya menyerah mengikuti semua arahan Simon tentang apa yang harus kulakukan. Bagaimanapun juga, aku akan mendapatkan kesulitan tanpanya.
Kharisma menyimpan beberapa orang kepercayaannya untuk berjaga memberi petunjuk jalan padaku dan Simon. Mereka bahkan menyiapkan jaket besar dan topi untuk menutup wajah dan tubuhku dari CCTV. Aku berterima kasih, meski di dalam hatiku aku merasa mereka sudah sangat bodoh. Wartawan yang cerdas akan menemukan keanehan melihat Simon dan aku ditutupi jaket dan topi yang sama. Postur tubuh kami sangat jauh berbeda, wartawan baru sekalipun akan dengan mudah membedakannya. Percuma saja. 'Alat penyamaran' itu malah menjadi properti drama yang membuat pemberitaan yang muncul nanti jadi lebih 'pedas' dan 'gurih'.
Menyadari hal itu, aku melepas jaket dan topi, dan kuberikan pada salah satu bodyguard-ku yang perawakannya tidak begitu jauh berbeda dariku, untuk ditukar dengan topi dan jaketnya, agar terlihat biasa-biasa. Semoga sekarang aku lebih terlihat seperti bodyguard-ku. Aku meminta Simon mengikuti bodyguard-ku ke lobi dan duduk di sana seolah menunggu sesuatu, sementara aku sendirian dengan topi dan jaket bodyguard-ku naik ke kamar Binar.
Kamar ganti itu dijaga dua orang di bagian luar, aku berbisik kepada mereka untuk pergi dan mengambilkanku minuman. Beberapa saat kemudian aku mengetuk pintu kamar ganti Binar dengan baki berisi minuman di tangan kiri, "Moonlight, bukalah…" aku tak perlu berbisik. CCTV tidak akan menangkap suaraku. Binar akan tahu aku yang datang. Tentu saja.
Dia membuka pintu, aku membungkuk memberi hormat di ambang pintu—ini bagian dari pertunjukan bagi CCTV di atas sana, dan berpura-pura menawarkan isi baki, lalu masuk ke dalam kamar itu. Di dalam, kututup pintu di belakang punggung, lalu buru-buru kupeluk dia. Tapi Binar menepiskan pelukanku. "Aku lelah, Meinchi," katanya dengan suara ketus. Wajahnya sembab habis menangis. Aku berusaha memeluknya lagi, dan dia menepiskanku lagi dengan lebih kasar. "Kau ingin aku melakukan apa, Bin?" tanyaku pasrah. "Aku ingin…." Binar tidak melanjutkan kalimatnya. Dia hanya diam menyandar ke jendela balkon, memandangiku tajam. Aku balas tatapannya, dan aku membaca apa yang sepertinya akan diucapkan berikutnya. "Jangan! Please… jangan tinggalkan aku, Bin…"