Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 5 - Kandi 2

Chapter 5 - Kandi 2

Apakah aku menyesal? Ya. Sedikit. Tapi aku tidak sedih, karena Lamaar sungguh-sungguh lelaki luar biasa yang mampu membahagiakanku, Ray, dan Langit. Aku tak bersedih karena aku menjadi damchi yang buruk dan melanggar aturan. Aku bersedih ketika sebuah pesawat kecil jatuh di gunung tepat di atas Lamaar yang sedang berburu bunga anggrek liar untukku. Lamaar tewas tak bersisa. Tak kudapati sisa-sisa tubuhnya.

Padahal dia bisa saja memintaku menemaninya. Namun, tentu saja tak dia lakukan karena dia ingin memberi kejutan padaku. Bunga cinta untukku. Dia tidak kembali membawa bunga cintanya; anggrek-anggrek hutan yang indah, yang menurutnya akan menerbitkan cahaya purnama di kedua mataku. Dia pergi meninggalkanku dengan anak-anaknya. Apakah ini hukumanku yang sesungguhnya? Hukumanku karena melanggar aturan tentang dilarang jatuh cinta itu? Apakah ini hukuman dari kesalahanku itu? Bukan berumur pendek, tapi kehilangan lelaki istimewaku? Di dalam hatiku yakin; pastilah hukuman, karena ini membuatku merasakan sakit yang amat besar di dalam dada dan memaksa tangis membanjir pada malam-malam tertentu.

Tangis yang hanya hilang jika aku menari di bawah bulan purnama. Berharap tarianku mengembalikan Lamaar pada kami. Sayangnya bulan purnama hanya datang sebulan sekali. Dan tarianku tak pernah bisa mengembalikan kekasih hatiku itu. Meskipun aku menari sepenuh hati, sekuat tenaga, dengan segala rasa dan pengharapan di dalam dadaku. Semesta tak mendukungku.

Saat Langit berhenti menyusu dariku di usianya yang kelima tahun, empat tahun setelah kematian Lamaar, tiba-tiba aku terkirim kembali kepada seorang lelaki bernama Razan di negeri padang pasir yang panas. Dia lelaki istimewa karena menjadi satu-satunya lelaki di dusunnya yang sebagian besar penghuninya adalah perempuan-perempuan tua yang lumpuh. Dia satu-satunya yang bisa pergi keluar dusun untuk membeli barang kebutuhan mereka. Razan bukan satu-satunya pemuda di dusun itu, tetapi hanya dia yang mau melakukan pekerjaan berat itu. Sebagian besar pemuda lainnya tidak hanya melihat beratnya pekerjaan pulang pergi berbelanjanya, tetapi menganggap semua pekerjaan itu dilakukan untuk sekelompok perempuan tualah yang membuat mereka enggan.

Di atas kudanya, dia akan menggumamkan lagu-lagu memuja Tuhannya untuk bepergian mencari keperluan perempuan-perempuan tua itu. Menggumam itu dilakukannya untuk menghasilkan lebih banyak air liur yang bisa ditelannya lagi. Jika dia tak menggumam, maka mulutnya akan cepat kering, dia akan mudah haus. Itu yang pernah dikatakannya padaku. Padahal perjalanannya bisa sampai berhari-hari, dan tabung air minum yang dibawanya harus cukup untuk dia dan kudanya. Suatu hari seekor burung nazar besar menabrak kepalanya yang sedang berkuda di tengah gurun pasir. Razan terjatuh, dan pingsan dua hari dua malam di tengah padang pasir, hingga aku terkirim ke tempatnya itu, dan membawanya kembali ke dusun yang berisi perempuan-perempuan tua yang membutuhkannya dalam keadaan hidup.

Waktu itu, Razan mengira aku sejenis hantu atau alien. Dia terus-menerus merapalkan mantra yang tak kumengerti, dan bergerak mundur setiap kudekati. Padahal aku harus menempelkan kedua kening kami untuk bisa berkomunikasi langsung dengannya. Akhirnya, aku harus menunggunya tertidur untuk bisa menempelkan jidatku di jidatnya, dan memasangkan nuye. Tidak sama dengan apa yang kulakukan pada Lamaar, aku tak bisa fokus melayani kebutuhan Razan. Padahal, setelah dia menyadari keuntungannya berada dalam pelukan tarianku, Razan terus-menerus ingin memanfaatkan kemampuan kami berpindah tempat dalam sekejap saja itu untuk bepergian ke tempat-tempat yang sebelumnya harus dia tempuh dengan berkuda satu dua hari. Dia bahkan kemudian ingin mengunjungi tempat-tempat yang hanya ada di dalam gambar di tivi kedai susu yang dia kunjungi setiap selesai berbelanja kebutuhan dapur.

Dia memintaku mengantarnya ke Cina, ke pinggiran kota Paris, atau galeri seni yang memajang lukisan-lukisan besar di berbagai tempat. Namun, aku tidak leluasa mengantarnya. Aku selalu memohon pada Razan untuk memanggilku kalau sudah selesai dengan keinginannya, karena aku tak punya waktu untuk menungguinya; aku harus mengurusi anak-anakku yang kutinggalkan di sebuah desa kecil di lereng gunung, kataku. Dan sebagaimana semua lelaki baik dan istimewa, dia sangat berempati dan meluluskan permintaanku.

Suatu hari, dia memintaku mengunjungi sebuah jalanan yang ramai orang berpesta. Dia belum pernah berada di tengah keramaian orang yang berpakaian aneh-aneh, dengan musik keras, menari-nari bebas di jalanan sepanjang malam. Dia ingin berada di sana, tapi dia memintaku untuk tidak meninggalkannya, karena dia tak mengenal siapa pun di sana, katanya. Dia takut. Aku harus mengiyakan tentu saja. Karena sebagai damchi aku adalah hadiah baginya. Hadiah yang sulit menolak. Tidak boleh menolak.

Aku sempat berkata pada Razan bahwa Ray, anakku sedang sakit, ia terjatuh dari pohon tinggi ketika mengembalikan sarang burung. Tapi dia seperti tidak menganggap informasi itu penting untuknya. Dia lalu asyik berada di dalam kerumunan festival entah itu, ikut menari-nari dengan orang-orang yang tidak saling mengenal satu sama lain itu. Aku seperti biasa berada di kejauhan, di pinggir jalan, menunggu dia mencium batu hijau di gelangnya, memberiku perintah untuk memindahkannya ke tempat lain atau pulang ke dusunnya.

Tapi Razan terlalu menikmati pesta jalanan itu. Dia dengan baju berjubah dan kerudung gelap itu dianggap sebagai bagian dari festival, semua orang yang melihatnya menepuk pundaknya sambil tertawa dan menyodorkan makanan atau minuman. Razan begitu menikmati bagaimana orang-orang yang tidak saling mengenal itu bisa langsung saling sapa dan saling tersenyum seperti sahabat baik. Beberapa kali Razan melihat ke arahku, tapi bukan untuk meminta pertolongan, lebih seperti mengajakku ikut menari bersamanya. Aku tentu saja menolak dengan halus, karena benakku terus dipenuhi tanda tanya apakah Langit sudah terbangun atau Ray membutuhkanku di sisinya.

Karena melihat Razan asyik menikmati waktunya, kutinggalkan dia tanpa sepengetahuannya. Kupikir dia sudah tidak merasakan takut lagi berada di keramaian itu; tak terlihat ada bahaya mengintainya di sana. Kuingin pergi hanya beberapa detik saja, memastikan Langit dan Ray baik-baik saja. Lagi pula, apa yang bisa membahayakan Razan di tempat semua orang sedang berpesta begitu, pikirku waktu itu. Beberapa detik kemudian, sekembalinya aku menengok Ray dan Langit, kudapati dia tergeletak di pinggir jalan, tak bergerak, botol berwarna merah di tangan kanannya. Razan meneguk sesuatu dan hampir mati. Aku meninggalkannya, dan dia hampir mati. Dia tak jadi mati, karena kubawa dia ke telaga Timerta, yang kuketahui airnya bisa menghilangkan racun. Razan hampir mati, tak selamat.

Pengabaian berikutnya kulakukan saat Razan mengejar kijang ke dalam hutan lebat yang tak pernah dimasukinya sebelumnya. Aku lebih memikirkan Langit yang sedang sakit panas, dan lelaki istimewaku itu tewas meminum air dalam batang pohon beracun. Aku malas menengoknya dan memastikan keamanannya hanya karena Langit merengek dalam demamnya. Aku malas, aku abai, dan lelaki itu mati karenanya.

Aku berubah dari seorang damchi menjadi seorang malaikat maut. Hanya karena aku tak bisa berkonsentrasi pada Razan sama sekali. Aku tidak mencintainya dan aku tidak menyimpan lelaki istimewa ini ke dalam benakku. Benakku isinya hanya Ray dan Langit. Aku mungkin sudah bukan damchi lagi.

Seorang damchi tidak akan pernah menomorduakan lelaki istimewanya. Tak akan ada alasan apa pun yang bisa membuat seorang damchi berhenti memprioritaskan lelaki istimewanya. Aku damchi yang sangat memalukan dan gagal menjalankan tugasku. Karambi menenangkanku, mengatakan bahwa kesalahanku itu bukan sepenuhnya kesalahanku. Itu sangat konyol.

Mencintai Lamaar hingga memiliki dua anak darinya membuatku berumur lebih pendek dari damchi-damchi lainnya. Lalu hukuman apa yang akan ditimpakan padaku ketika lelaki istimewa yang harus kulayani ternyata mati karena kuabaikan?

Kematian Razan tidak membuat perubahan apa pun kepada tubuh atau wajahku atau tarian bulan purnamaku, ataupun pada Ray dan Langit. Puji syukur Semesta Maha Mengatur. Namun, mungkin hukumannya atas semua pengabaianku itu tidak kuketahui atau bahkan belum diketahui oleh Karambi, dan saudara-saudaraku damchi lainnya. Tidak tahu dan berada di dalam ketidaktahuan itu sudah hukuman yang berat. Apalagi jika kemudian kau jadi sering menjadi patung atau makhluk tak bernyawa di waktu-waktu anakmu membutuhkanmu menjadi manusia penyayang bergelar Ibu; yang hidup, aktif, dan riang gembira, bukan menjadi patung.

"Kau tidak menjadi patung. Kau sendiri yang membuat dirimu mematung. Kau bisa menolak tubuhmu mematung kalau kau mau. Kau yang menghukum dirimu sendiri!!" tuduh Karambi.

Dia tak pernah merasakan apa yang aku rasakan. Bahkan mencintai saja membuatnya berpikir keras untuk mengartikannya atau mengaitkannya dengan pekerjaan seorang damchi. Baginya sangat aneh merasakan keinginan mencinta atau memiliki. Itu seperti kerusakan sistem internal dalam diri seorang damchi.

"Kau tidak selesai di kematian. Kau juga belum tentu dihukum. Mungkin kau hanya diminta untuk memperbaiki keadaan saja."

Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya pada Karambi, tapi rusaknya kedamaian pikiran dan konsentrasiku mengasuh anak-anakku adalah hukuman yang terberat. Aku tidak ingin ada lagi hukuman yang lebih berat dari ini.

"Apakah Ibu akan pergi seperti bapak? Pergi ke gunung dan tidak kembali lagi?" tanya Ray suatu kali, ketika sedang berburu jamur untuk makan malam kami. Ray selalu bisa mengejutkanku dengan pertanyaan atau pendapatnya yang lugas. Seperti Lamaar yang selalu muncul dengan pernyataan mengejutkan dan membuat yang menerimanya tak bisa menghindar. Pertanyaan Ray kali ini sebenarnya sudah pernah kuperkirakan kedatangannya.

Bagi Langit dan Ray, Bapak mereka yang tak pernah kembali lagi ke rumah menjumpai mereka adalah takdir yang menghadang. Ray berpikir, takdir yang sama bisa saja terjadi lagi. Seandainya saja aku bisa dengan lepas menceritakan segalanya kepada gadis kecilku ini, mungkin ia akan mengerti dan itu juga akan melegakanku. Namun, membayangkan pertanyaan-pertanyaan berikutnya, tentang aku sebagai damchi; membuatku urung menceritakan semuanya.

Mungkin suatu saat aku terpaksa harus melakukannya, tetapi tidak kali ini. Seajaib apa pun takdir kedua buah hatiku ini, aku harus mempersiapkan segalanya untuk mereka. Meskipun Ray tidak mengetahui semua kebenarannya, tetapi aku sudah membekalinya dengan semua informasi dan kesiagaan yang bisa dilakukannya, kalau tiba-tiba saja aku kembali dipanggil tugasku sebagai damchi, meninggalkannya dan Langit.

"Kalau tiba-tiba Ibu melakukannya, apakah kau tahu apa yang harus kau lakukan, Ray?" jawabku. Ray menunduk dengan tatapan mata sedih. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Sayang?" ulangku. Gadis istimewaku itu mengangguk, tetap sedih, tapi anggukannya pasti. Aku tak tahu bagaimana menghiburnya. Hanya doa sederhana kuucapkan agar aku tak harus meninggalkan mereka berdua selamanya.