Chereads / Hati Yang Melangit / Chapter 3 - Armein 3

Chapter 3 - Armein 3

Momen duka citaku tidak membuat kedekatanku dengan Binar terkuak. Manajer kami memang terbaik di bidang mereka. Hanya satu yang tak bisa dilakukan kantor hebat Simon untukku, menghilangkan sakit kepala sebelum tidurku yang selalu menderaku sejak kepergian Nana.

Tumpukan pekerjaan yang disiapkan Simon mengalihkan duka citaku; meski rasa sakit di dadaku sepertinya tak mungkin kuobati, meski aku sudah habis-habisan memoles karierku. Penjaraku. Tanpa Nana, berkurang alasanku bekerja keras. Membahagiakan kedua orang tuaku dan Carra, itu satu. Alasan berikutnya membuat Binar bangga padaku. Tapi mencintai Binar tidak mudah dari penjaraku. Aku harus menelan kenyataan pahit betapa mahalnya mencintai Binar. Bukan soal uang, tapi rasa sakit hati yang harus kubayarkan hanya untuk tetap menikmati kebersamaanku dengan Binar.

"Kita membutuhkan liburan, berdua saja, Meinci…" usul Binar suatu hari, sambil bermanja di pangkuanku. Aku tertawa mendengar usulnya, Binar ikutan tertawa manja.

"Gimana caranya?" tanyaku. Lalu kami sontak berhenti tertawa. Sepedih itu kenyataan kami. Tidak terbayangkan betapa besarnya konsekuensi logistik yang harus ditanggung manajer kami berdua, kalau kami memaksakan berlibur berdua. Ke belahan dunia mana pun, ke sudut mana pun di muka bumi ini, tanpa diketahui publik. Mustahil. Kami menginginkan kemustahilan. Perih sekali. Semua uang yang kami miliki berdua bahkan tak mampu memberi kebebasan berlibur berdua saja.

Inilah yang pernah diceritakan Nana padaku; tentang pilihan hidup yang bukan hitam putih atau baik buruk, tetapi mana yang paling menenangkan jiwa kita ketika menjalaninya, atau mana yang rasa perih konsekuensinya tidak terlalu menyakitkan. Semua konsekuensi ketika kita memilih warna tertentu dan tak cukup kuat menanggung penilaian banyak orang tentang warna yang kita pilih.

"Let me bathe my soul in colours, let me swallow the sunset and drink the rainbow…"

- Khalil Gibran

Bagiku dulu, menjadi terkenal dan punya banyak uang untuk melakukan banyak hal atau membeli banyak barang yang tak mungkin kulakukan di masa kecilku adalah pilihan satu-satunya. Nana pernah bertanya padaku, apakah membuat semua orang mengenalku, menjeritkan namaku saat melihatku, mendapatkan tepukan tangan bergemuruh setiap selesai pertunjukkan akan membuatku hidupku tenang dan damai? Dan waktu itu akan mengangguk mantap. Aku yakin itu akan membuatku bahagia.

Mungkin sikapku itu juga yang membuat Nana dengan ikhlas melepaskanku tinggal di kota sendirian dan menjadi penyanyi yang dikenal banyak orang. Untuk mendapatkan apa yang kuinginkan itu aku menggadaikan segalanya; kemerdekaanku, hari-hariku, privasiku. Aku berlatih keras hanya untuk menguasai lagu dan panggung; berlatih di depan cermin bagaimana tubuh dan wajahku bisa membuat orang yang melihat apa pun yang kulakukan jadi jatuh cinta padaku, dan menginginkanku.

Aku tidak menoleransi kegagalan dalam setiap langkahku. Ketika targetku tak tercapai, artinya aku harus mengurangi jam tidurku dan bekerja lebih keras. Menahan makan makanan yang kusukai, karena itu akan membuatku gemuk atau perutku jadi tidak "six packs" lagi; atau membuat kulitku berjerawat. Aku harus tidur dengan masker penghalus dan pengencang kulit di wajah, bangun untuk minum banyak air dan vitamin, berolahraga sebelum melakukan banyak perawatan tubuh, rambut, dan kulit wajah. Lalu waktu yang tersisa sebelum tidur aku gunakan untuk menulis lagu, berlatih menyanyi dan menari, dan melakukan rekaman, sesi foto, dan lain-lain.

Dalam lima tahun terakhir, menjulangnya karierku itu telah kubayar dengan kerja keras tanpa libur satu detik pun. Bahkan meluangkan waktu bersama Binar hanya bisa kulakukan di sela-sela jam kerja, di antara pekerjaan dan bisnis. Kami mencuri waktu, membuang lebih banyak waktu lagi untuk merekayasa kebohongan serius yang harus ditelan publik, demi mengamankan sumber-sumber uang kami.

"Nanaku juga pergi di hari kedua konserku di Tokyo. Mungkin itu yang kubayarkan untuk menjadi artis Asia yang selalu diundang ke Cannes?" ujar Binar sinis. Ia melihatku tidak tersenyum merespons gurauannya. Ia tahu aku tak mampu. Binar lalu mendekatkan kepalanya dan menciumku. Aku memejamkan mata merasakan hangatnya ciumannya di pipiku. Biasanya aku akan pindah dimensi, melupakan segalanya, dan mencurahkan rasa cintaku yang membabi buta padanya setiap kali bibir seksi itu mencium tubuhku di bagian mana pun. Tapi kali itu aku terdiam. Entah mengapa otakku menerima kata-kata Binar yang pahit itu sebagai tuduhan yang harus segera ditolak atau ditangkis. Karenanya indra perasaku bebal.

Untuk pertama kalinya aku tak meresapi kata-kata Binar. Aku merasa dipukuli oleh kata-katanya sampai babak belur parah. Yang terdengar jelas dari kata-kata Binar adalah semua world tour, konser, dan sesi pemotretanku di berbagai belahan dunia itu yang telah membunuh Nana-ku. Aku tidak membayar ketenaranku dengan kematian Dada dan Nana. Tidak.

Tuduhan seperti itu juga pernah diluncurkan Carra, adikku. Ia menganggapku sudah dirasuki keegoisan yang sangat parah sehingga sering melupakan Nana dan Dada, Papa dan Mama. Kalau saja bukan adik kandungku, mungkin aku sudah minta anak buah Simon mengurusi mulut jahat itu. Karena itu semua tidak benar menurutku. Aku tidak mengabaikan Nana dan Dada, menurutku. Aku juga tidak mengabaikan Papa dan Mama; aku mendahulukan semua kepentingan dan kebutuhan mereka semua. Seluruh uang yang kudapatkan, kupakai untuk membahagiakan mereka terlebih dahulu sebelum aku memuaskan hasrat belanjaku.

Aku membelikan segala hal yang sebagian besar orang tua inginkan dari anaknya ketika anaknya memiliki banyak uang. Aku ingin mereka membangga-banggakan semua yang mereka miliki sebagai sesuatu yang kuberikan pada mereka. Aku ingin dianggap anak lelaki sulung yang baik, berguna, bermartabat karena membanggakan keluarga, dan dihormati; karena aku membuat semua anggota keluargaku memiliki segalanya. Aku ingin Nana dan Dada bangga padaku karena cucu lelakinya berjaya dan menghasilkan banyak uang. Tapi hingga hari ini, aku tak pernah tahu apakah Nana dan Dada bangga padaku.

Selain rumah, kendaraan, dan uang, aku mengirimi mereka tiket VVIP pertunjukanku, atau hadiah-hadiah yang menurutku akan membahagiakan Mama, Papa, dan Carra. Tapi rupanya itu belum cukup. Mereka juga membutuhkan keberadaanku bersama mereka, makan malam, jalan-jalan, dan acara keluarga yang sangat sulit kupenuhi karena jadwal kerjaku yang sangat padat. Bagaimana mungkin aku memenuhinya? Kalau aku tidak bekerja keras dan mengikuti jadwal yang diberikan Simon, maka tak ada lagi uang yang mengalir sebanyak yang mereka butuhkan. Pekerjaan yang sangat berat ini juga memunculkan konflik batin bagi kedua orang tuaku dan Carra. Mereka mensyukuri hasilnya, tapi tidak begitu menyukai pekerjaannya.

Apalagi kalau media sosial memberitakan yang buruk-buruk tentang aku, Mama akan langsung mengontakku dan memprotes keras. Tak pernah kumasukkan hati, karena semua itu sama saja dengan semua ujaran kebencian yang menghujaniku setiap hari dari orang-orang yang tidak kukenal, yang lolos dari saringan Simon. Manajerku itu selalu mengatakan bahwa aku harus melihat semua puja puji dan ungkapan cinta yang dikirimkan penggemar-penggemarku. Jumlahnya lebih banyak daripada pesan-pesan jahat, fitnah, dan semua kebencian itu, kata Simon.

Membaca semua hal negatif itu akan menurunkan mentalku dan otomatis akan berdampak pada stamina dan kualitas karyaku. Oleh karena itu, aku dibatasi Simon hanya boleh membaca puja puji dan semua yang baik-baik saja, yang menyemangatiku, dan membuat aku lebih bergairah memproduksi musik dan menjalankan semua konserku. Maka, aku pun mengabaikan protes-protes Mama, Papa, dan Carra. Aku beralasan bahwa ponselku selalu dipegang Simon. Alasan itu tidak sepenuhnya salah. Kalau hanya keberatan Mama atas gaya berpakaian atau gerakan menariku saat konser, tidak pernah membuatku gusar. Aku hanya akan merespons 'Baik, Mama!', menyembahnya, lalu tersenyum. Itu sudah cukup. Tapi kalau Mama, Papa, atau Carra menemukan artikel gosip tentang kedekatanku dengan Binar, aku tak tahan mendengar nada suara mereka yang menahan sekuat tenaga tangisan kecewa mereka.

"Simon bilang kau harus membawa Hanun ke malam penghargaan Artis Paling Berpengaruh Sabtu ini? Kau mau pake apa?" tanya Binar. Simon mengatur sedemikian rupa agar Hanun, sahabat Carra yang atlet seksi itu tampak sebagai pacarku. Aku tidak mencintainya, tidak juga kunikmati setiap kebersamaan-kebersamaan yang tidak gratis dan alami itu. Meskipun begitu, Carra bilang kalau Hanun sungguh-sungguh mencintaiku. Gadis yang malang. Aku tidak membencinya, dan di video atau foto yang bertebaran itu, Hanun membuat aku terlihat lebih seksi. Jadi aku tidak menolak dipasang-pasangkan dengannya untuk memuaskan paparazi yang mengejar kami berdua… utamanya untuk menenangkan Mama dan Papa.

Lebih mudah bagi mereka menertawakan gosip tentangku dan Binar, jika tahu anak lelakinya menyukai perempuan yang cantik dan hampir sama terkenalnya. Namun, tak mungkin bagiku menerima sepenuhnya cinta Hanun. Itu tidak adil. Apalagi aku tahu betul kalau Binar tidak menyukainya.

Sebagai seorang penyanyi dan bintang sinetron yang suaranya mendayu merayu meluluhkan hati banyak gadis, Binar juga sering dipasang-pasangkan dengan beberapa artis perempuan lainnya. Tapi karena dia sering kali menjadi ambasador produk keagamaan, Binar sering menampilkan sikap malu-malu dan menyebut semua selebriti perempuan yang disandingkan dengannya sebagai "sahabat baik."

Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya kepada mereka, dan selalu bersikap sopan di muka publik. Muka di sini adalah ribuan foto dan video yang disebarkan ke khalayak tentang kebersamaannya dengan gadis-gadis itu. Padaku Binar mengaku menikmati perannya itu.

"Aku tak suka menyentuh mereka, aku takut menyakiti perasaanmu Meinchi…" kilahnya.

Tapi akulah si penjahat di antara kami berdua. Karena Simon ingin mencitrakan diriku sebagai lelaki normal yang flamboyan, yang menjadi pujaan banyak perempuan, dan harus terlihat jantan dan "irresistible", katanya.

Maka, aku harus membiarkan publik menuduh dan mengira Hanun memang kekasihku, yang tak kuakui secara langsung. Aku merangkul pinggangnya di depan paparazi, atau sekadar menggenggam tangannya, menyibakkan rambutnya sedikit, atau memandanginya 10 detik saja seperti orang jatuh cinta. Itu manual yang diberikan Simon padaku. Biarkan paparazi berpesta dengan foto-foto yang mereka kira candid itu, dan menulis banyak kisah romantis tentang aku dan Hanun. Hanya satu yang tak akan pernah kulakukan, menyebut Hanun sebagai kekasih atau membuat pengakuan palsu bahwa aku menyayanginya. Itu syarat yang diberikan Binar padaku untuk semua skenario aku dan Hanun yang disusun Simon.

Binar membuktikan cintanya padaku dengan tidak mudah marah atau cemburu setiap kali foto atau video tentang aku dan Hanun muncul di media massa. Dia sepintar dan secerdik itu. Dia tahu pasti hanya dirinya yang membuatku bahagia dan tenang. Binar adalah suaka bagiku; oase di hidupku.

"Kau ingat The Vanity yang memuat foto kita sedang bertukar jaket di Steven Show? Lalu menulis judul 'More than Best Friends' dengan tanda tanya yang ada lambang hatinya? Aku merobeknya dan membingkainya. Kupasang di dinding toilet kamar pribadiku!" ujarnya suatu kali.

Aku terbahak mendengarnya. Kurengkuh tubuh atletisnya ke dalam pelukanku, aku tak ingin melepaskannya seumur hidupku. Simon kadang menunjukkan sikap tidak suka pada Binar, apalagi kalau tahu dia berhasil menyusup ke apartemenku untuk menginap. Pengawal pribadiku, Erron, sering berbisik padaku bahwa sesungguhnya Simon cemburu. Simon ingin aku mencintainya, dan bukan Binar. Tapi tak mungkin itu kulakukan, karena aku tak ingin merusak rumah tangga siapa pun. Istri Simon perempuan baik, yang mengingatkanku pada Nana. Aku tak ingin menyakiti hati istrinya Simon. Lagi pula, bagaimana mungkin aku lebih memilih Simon daripada Binar yang bertubuh atletis dengan wajah bak malaikat ini.

"Bagaimana kalau orang yang membersihkan kamar mandimu memotretnya dan mengirimkannya pada wartawan gosip?" tanyaku dengan bibir tepat di cuping telinganya. Binar menggelinjang kegelian sambil menyahut, "Kubunuh dia."

Aku tak pernah merasakan rasa aman dan damai yang menyertai ketenaranku selain bersama Binar. Lelaki muda jelita ini membuatku merasa bahwa aku sudah membuat keputusan yang tepat selama ini. Seperti yang dikatakan Dada dulu, kebahagiaanku menjadi seorang bintang harus dibayar dengan kesusahanku yang tidak bisa dengan bebas menunjukkan pada publik bahwa sesungguhnya kekasih hatiku adalah Binar.

Tak apa-apa, aku bisa hidup begini; merana dan terpenjara seperti ini dalam ketenaranku. Asalkan Binar bisa sesekali bersamaku, meski harus kami lakukan di dalam kamar tertutup rapat, yang sudah kami periksa seluruh sudutnya; tidak ada kamera tersembunyi, recorder, atau apa pun.

Momen-momen tersembunyiku bersama Binar adalah tawa dan napas bahagiaku sebagai bayaran atas tangisku yang meraung-raung di dalam dada, setiap kali aku dihadapkan pada kenyataan bahwa kemerdekaanku--untuk berbuat dan bepergian ke mana pun aku mau--sudah hilang karena ketenaranku. Tak apa aku menjalani penjara berjudul selebriti papan atas ini, asalkan bersama Binar. Diam-diam aku berdoa khusyuk, pada Tuhan tentu saja. Memohon-Nya memberikanku kehangatan cinta dan kebersamaan dengan Binar selama mungkin, selama aku masih bernapas. Itu saja permintaanku, setelah tak ada lagi Nana dan Dada di dunia ini, apalagi yang kuinginkan?

Ah, ya… aku ingin bisa bepergian ke mana pun aku dan Binar bisa pergi tanpa dikuntiti paparazi. Kalau saja itu tidak mustahil.