"Hentikan tertawamu, nanti habis jatah tertawamu, kau akan menangis sampai mati!" wajah bulat Dada, kakekku dengan kumis dan sorban petaninya seperti patung kepala Budha bersinar menghantui kepalaku, dengan kata-kata itu menggema sebagai latarnya.
Seperti roda, nasib hati kita berputar naik turun; kadang bahagia kadang merana. Jangan takut merana terus, karena kamu akan temukan bahagiamu sewaktu-waktu, tapi juga tidak bisa bahagia terus, nanti kamu diam tak berdaya karena sudah habis jatah bahagiamu, lalu mati. Kakek yang memasukkan kata-kata itu di kepalaku sejak kecil. Itu yang dijadikannya alasan untuk menghukumku kalau sampai larut malam masih tertawa-tawa, atau melihat aku dan nenek terus bercanda-canda sejak menyiapkan makanan, memasak, hingga duduk di depan meja makan. Sampai remaja aku dipaksa untuk membatasi bahagiaku sendiri, karena takut tiba-tiba mati kalau aku terlalu bahagia, atau jika tertawaku terlalu panjang, aku jadi khawatir tiba-tiba ada sesuatu terjadi yang akan membuatku menangis sedih.
Sebetulnya itu tidak sesulit yang dipikirkan kakek; karena aku bersama kakek nenekku sejak kecil, mengubah canda tawa jadi tangisan buatku amatlah mudah. Aku tinggal masuk ke kamar dan mengambil foto orang tua dan adik perempuanku dari dalam koper. Membayangkan mereka bertiga bahagia tanpa aku di kota, sudah bisa membuatku melupakan semua alasanku tertawa dan tersenyum. Aku akan langsung menangis tak selesai-selesai, sampai tertidur.
Setelah 5 tahun tidak tinggal serumah bersama Dada dan Nana juga orang tua dan adikku, mimpi kepala kakekku itu dengan kata-katanya yang menggema masih mengunjungi malam-malamku tak terhindarkan. Terkadang aku malah sengaja memanggil bayangan itu sebelum tidur. Semacam obat sakit kepala, sehabis pertunjukan atau rekaman seharian. Obat Pereda sakit dan obat tidur yang diberikan Simon kepadaku tak cukup menghilangkan kegalauan sebelum tidurku. Dan manajerku itu selalu menuduh stresku sebagai penyebab.
Apakah aku stres, aku sendiri tak mengerti. Mungkin saja. Karier menyanyiku tidak datang sebagai warisan, aku mendaki setiap tanjakan terjalnya tanpa mengeluh sedikit pun. Aku yang membakar sendiri tenggorokan dan pita suaraku dengan latihan berbelas jam setiap hari hanya agar nyanyianku tidak sekadar pengiring musik, tapi bisa menyentuh kalbu pendengarku. Itu sama sekali tidak mudah. Aku menyiksa tubuh dan hidupku sendiri untuk serius mengerjakan semuanya. Seandainya aku tidak terlalu serius, mungkin aku tidak akan banyak merasa sakit kepala sebelum tidur seperti ini.
Kalau saja aku tidak terlalu serius, mungkin aku tidak akan terlalu sukses dan terkenal seperti sekarang ini. Tidak akan ada 3 ponsel pintar yang harus diurus setiap hari. Salah satunya ponsel berisi jadwal kerja yang seolah tanpa jeda; pesan-pesan serius yang tidak bisa kuabaikan sedetik pun, berasal dari Simon. Dia akan menanyakan apakah aku sudah minum vitamin sebelum tidur, kompres mata, memakai masker wajah, vitamin bangun tidur, mau makan apa besok pagi, besok siang, dia juga akan menentukan pakaian merek mana dan warna apa yang harus aku pakai besok pagi, yang tentu saja sudah dia siapkan di kamar gantiku, lengkap dengan jadwal ke mana saja aku besok dan melakukan apa atau bertemu siapa. Ponsel merahku.
Lalu ada telepon keluarga, hanya kugunakan untuk keluarga dekat: Papa, Mama, dan Carra, dan sahabat-sahabat dekatku saja. Ada Binar di dalamnya. Penyanyi seusiaku, yang menurut Simon harusnya menjadi saingan terberatku, tetapi kami malah bersahabat sangat dekat. Kalau itu yang dikatakan persahabatan. Aku lebih senang membawa ponsel warna biru ini ke mana-mana, semacam ruang virtual pribadiku untuk "happy hours," tentu saja tidak se-happy yang kumau karena Simon juga bisa menghubungiku di ponsel biru itu. Yang terakhir ponsel kuning, yang kusebut lapak jualanku. Isinya komunikasi media sosial dan sepenuhnya layanan penggemar saja.
Di zaman ketika semua orang bisa membayar dengan kuota internet mereka hanya untuk mengintip apa yang kukenakan di balik jaket atau celana jeans robek-robekku; bahkan foto warna celana dalamku saja bisa jadi uang. Maka, ponsel kuning itu adalah ponsel kerja. Simon akan mengirimkan nasi kotak merek X dan minuman berenergi merek Z untuk kunikmati sambil menyapa penggemar-penggemarku dalam jaringan internet. Tiga puluh menit dalam jaringan itu akan menghasilkan tagihan untuk kedua merek itu. Simon akan mengacungkan jempol dan menanyakan makanan istimewa apa yang bisa dia kirimkan kepadaku saat itu juga untukku berkatarsis melepas penat. Tentu saja bukan merek X ataupun merek Z. Apa yang kulakukan dengan ponsel kuning ini? Topeng selebritiku. Bagaimana aku bekerja keras untuk tetap menjadi imaji sempurna dengan semua ketidaksempurnaan yang direkayasa Simon di kepala penggemar-penggemarku. Ponsel yang terkadang membuatku merasa amat lelah mengurusinya. Kelelahan dari mengerahkan segala daya dan energi untuk menjadi sosok yang sempurna di mata dunia. Karena itu, aku memasang gambar roda gerobak zaman dahulu dan inisial nama kakek, TH. Setiap kali aku merasa malas membuka-bukanya, aku melihat gambar roda itu, membayangkan petuah Dada tentang kebahagiaan yang harus dibayar penderitaan itu, dan kembali mencurahkan semua energiku untuk jutaan penggemarku.
Membalas pesan-pesan mereka, sekadar menyukai komentar mereka tentang penampilanku, atau seminggu sekali aku hidupkan LIVE Video untuk bisa menjawab langsung pertanyaan-pertanyaan mereka. Ini perjuangan terberatku, karena mereka--orang-orang yang sama sekali tak mengenal diriku yang sesungguhnya itu--melihat semuanya. Raut wajah, sorot mataku, ke arah mana sudut bibirku ketika tertawa, atau aksesori apa yang kupakai. Semua di tubuh dan wajahku yang terlihat di layar telepon genggam penggemarku jadi sangat penting selama 75 menit pekerjaan terberatku itu. Setiap hal sekecil jerawat di ujung daguku saja bisa memengaruhi karierku dan jumlah digit di rekeningku dan rekening Simon.
"Wooaaaah! mereka senang kamu membiarkan kumismu tumbuh 3 mm, Arm! Kasih waktu 2 hari, setelah itu, segera kau cukur habis lagi, ya!" Simon bisa tiba-tiba saja berteriak seperti ini kepadaku, seperti dia berteriak pada SIRI atau Cortana saja.
Simon dan timnya akan mengawasi jalannya LIVE itu seperti sepasukan sipir yang mengawasi tawanan mereka yang paling berbahaya. Seolah semua yang kulakukan adalah masalah hidup mati mereka. "Keluar mobil, tanggalkan jaket kuning itu, Arm! ada banyak penggemarmu yang mengecam kau pakai produk designer penyiksa binatang itu! jangan pakai kacamata merah itu lagi, tidak cocok dengan gaya rambutmu hari ini! Oh ya, jangan lupa memberi gestur 3 jari itu sebagai bukti perhatianmu pada peringatan hari hak azasi hari ini ini, Arm!"
Tentu saja ada Simon di ketiga ponsel itu. Dia seperti bayang-bayangku saja. Tapi dia lumayan baik, dia selalu menyemangatiku, mengirimkan pesan pendek berisi gambar hati atau bunga dan memuji kerja kerasku. Terkadang semua perhatian istimewanya padaku terlihat agak berlebihan menurut sebagian orang. Namun bagiku, sebesar apa yang dilakukannya untukku itu pertanda besarnya pendapatan dia dari mengurusiku.
Maka ketika Simon gusar atau berkurang sedikit saja kadar perlakuannya dalam memanjakanku, aku segera meminta rapat mendiskusikan penyebab dan solusi berkurangnya pendapatanku. Simon bagiku seterang itu. Tentu saja dia juga selalu mengiyakan semua kemauan belanjaku. Aku tinggal sebutkan saja apa yang aku ingin beli, dia akan belikan, aku tinggal menunggu barangnya tiba di kamarku. Kalau aku sedang ingin memilih sendiri apa yang ingin kubeli, Simon akan bekerja lebih keras menyamarkan penampilanku, datang ke toko dengan pengawal kiriman Simon, dan berpura-pura bukan menjadi diriku sendiri. Atau dia dan timnya akan membayar lebih hanya agar toko atau butik yang ingin kudatangi buka di waktu tertentu hanya untukku. Tentu saja Simon tidak akan membiarkan semua pengeluaran ekstra itu jadi sia-sia. Simon menyiapkan kamera-kamera untuk merekam semuanya. Kadang-kadang tanpa persetujuanku.
Mereka yang menyaksikan semua itu lewat siaran video yang dibuat anak buahnya Simon' akan melihatnya sebagai keseruan keseharian seorang selebriti. Mereka sedemikian menginginkannya hingga tak keberatan untuk membayar demi video berisi aku berbelanja celana joging selama 15 menit.. Awalnya aku juga menikmati itu semua—menjual keseharianku untuk tambahan beberapa digit di rekeningku, hingga suatu hari tiga tahun yang lalu...
Aku ingin menyaksikan sendiri bagaimana kue bulan dibuat oleh seorang ibu tua yang sudah kehilangan penglihatannya. Simon menjadikan keinginanku itu sebagai konten videoku. Dia bahkan terlihat lebih bersemangat dari aku. Simon menyiapkan penyamaranku untuk datang ke sana dan membayar untuk menyaksikan semua proses pembuatannya. Konsepnya, mereka merekam reaksi orang-orang yang kutemui tanpa mengetahui siapa diriku. Setelah jadi dan matang, aku membawa pulang kue itu ke studio, membuat video baru tentang bagaimana aku mencicipi kue bulan yang terkenal itu. Beberapa hari setelah videonya tayang di mana-mana, anak si pembuat kue mengabari Nana, nenekku. Nana datang ke apartemenku sambil menangis, menyalahkanku karena tidak menyapa si pembuat kue yang ternyata perempuan yang sama yang membantu Nana mengasuhku waktu aku masih kanak-kanak. Nek Karsih. Terkutuklah aku.
Anaknya memperlihatkan tayangan tivi yang memperlihatkan aku sedang menyamar ke tempat mereka lalu menyantap kue bulan mereka sambil memuji-muji kelezatannya. Mereka menyesalkan aksi menyamarku, seandainya tidak, Nek Karsih pasti tetap akan mengenaliku. Sementara aku sudah tidak mengenalinya.
Nana sedih. "Apakah menjadi selebriti terkenal sudah membuatmu melupakan bau badan perempuan baik itu? Ia yang membantuku bergantian menggendongmu waktu bayi. Kami bawa kamu dalam pelukan ke hutan dan kebun. Kamu menghirup aroma kasih sayang dari tubuh kami bertahun-tahun hingga kamu masuk sekolah. Bagaimana kau bisa melupakannya?"
Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab gugatan dan protes Nana. Itu semua benar, aku yang salah. Aku terlalu sibuk mengaburkan identitasku waktu mendatangi perempuan itu, sehingga tak sempat melihat pernak-pernik di sekitarnya, yang adalah segala yang ikut mewarnai masa kecilku. Aku terlalu sibuk memikirkan semua skrip dan instruksi Simon untuk konten tivi, sehingga tak kusempatkan menghirup aroma masa kecilku.
Nana begitu kecewa padaku, hingga sakit. Sekalipun aku kemudian membelikan kedai dan dapur baru untuk Nek Karsih dan cucu-cucunya agar mereka bisa berjualan lebih baik. Awalnya Nana terdengar senang mendengar kabar itu, aku bahagia sekali mendengar suaranya.
"Apakah kau memeluknya, Mein?" aku menjawab bahwa pegawai-pegawainya Simon yang menyerahkan kunci dan lain-lain, karena aku harus ke Amerika saat itu. Lalu Nana menyahut,
"Oh…"
Satu kata yang menghadirkan udara kekecewaan yang gelap mengurungku di mana pun aku berada selama berhari-hari.
Satu suku kata itu saja sudah membuatku tak mampu berkonsentrasi pada semua jadwal dan pekerjaanku. Nana yang mengomel panjang lebar sambil mengucek-ucek rambutku, atau meremes-remas kedua pipiku adalah surga duniaku. Dan satu kata "Oh…" dengan nada kecewa yang menusuk dada itu, kini terasa seperti pintu neraka duniaku.
Ketika kau dipuncak karir dan kejayaanmu dan semua orang mengatakan bahwa aku bisa membeli dan meminta apa saja yang aku mau, mereka salah besar. Aku merasa kata 'oh…' dari mulut Nana adalah tanda kesalahan terbesar yang kulakukan sepanjang hidupku, karena kemudian Nana masuk rumah sakit. Aku merasa tak akan mampu memaafkan diriku sendiri.