Batara berdiri di dalam sebuah ruangan kosong, dengan mata yang terpejam. Tidak ada satu pun barang. Tidak ada dinding pembatas. Ruangan itu tidak memiliki ujung pandang; suasananya hening, hampa, tenang, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya ada te terang dan gelap, seperti keseimbangan dalam kehidupan. Setelah semua itu ia rasakan dengan jiwanya, matanya perlahan terbuka. Dia terhentak. Kaget. Dan, bertanya-tanya "Di mana aku?" sembari melihat ke kiri dan kenan, ke depan dan ke belakang, ke atas dan ke bawah, semuanya kosong. Di dalam ke kosongan itu, meskipun luas, dia merasa terkungkung dalam sebuah kurungan. Ketika dia mencoba melangkahkan kakinya, tiba-tiba dia memegang matanya dan merasakan kesakitan yang luar biasa, perih. Dia berteriak sampai urat di leher dan di dahinya bermunculan ke permukaan. Dia mundur sempoyongan merasakan rasa sakit, sampai akhirnya lututnya ambruk. Dia tertunduk dengan kedua tangannya, menutup kedua matanya. Seakan di puncak rasa sakit, dia mendongak seraya melepaskan kedua tangannya, lalu berteriak panjang dan melengking, seperti lolongan serigala di tengah malam bulan purnama.
Di saat berteriak itu, dari dalam tubuhnya keluar seekor harimau yang sangat besar, lebih besar dari harimau biasanya. Matanya tajam menyala, tubuhnya berotot, kuku dan taringnya menikam tajam. Seluruh tubuhnya diselimuti oleh api yang berkobar, menyala-nyala.
Setelah harimau itu keluar dari tubuh Batara, Batara langsung terkujur dan terkulai lemas. Melihat Batara demikian, harimau api itu menggoyangkan tubuhnya seperti mengibaskan-ngibaskan air, lalu mengaum. Aumannya membuat ruangan hampa itu bergetar, pun demikian dengan jiwa dan tubuh Batara, sehingga mata Batara membelalak diselaputi ketakutan.
Syahdan Batara menggusur badannya, mundur, menjaga jarak dengan harimau itu. Sedang harimau itu seperti harimau yang kelaparan yang siap untuk memangsa Batara. Mendengus-dengus. Dari lubang hidungnya keluar asap yang panas.
Melihat harimau api itu tidak menyerang, dia berdiri dan memasang kuda-kuda siap bertempur. Di dalam jiwanya tiba-tiba terbentuk sebuah api kecil berwarna merah dan biru. Timbul rasa keberanian lebih, Batara berteriak, "Siapa kau?!"
Harimau itu mengaung sampai membuat Batara terpental, terguling-guling. Batara terkapar. Dengan gontai, Batara kembali memasang kuda-kuda, dia berteriak, lalu berlari menyerang harimau api itu; dia meloncat dengan kepalan tangan yang siap dihantamkan, tetapi dengan mudahnya harimau api itu mengibaskan kaki depannya sampai membuat Batara terpental jauh dan terguling-guling.
Batara berbaring mengerang kesakitan. Dia mengepalkan tangannya dan menghantam-memukulkannya. Matanya nyalang, di dalam tatapannya itu terbayang ayahnya yang telah mengajarinya silat, tetapi di lainnya dia merasakan kekesalan atas dirinya karena ilmu silat itu sekan tidak berguna.
Namun, dia tiba-tiba teringat pada sosok sang kakek yang pernah di kisahkan ayahnya. Saat teringat kisah itu, dia kembali merasa tak ingin memalukan leluhurunya, dia tidak ingin membuat kakeknya malu hanya karena satu ekor harimau saja. Dia mengepalkan tangannya lebih keras, dan menghantamkannya lebih keras pula. Lalu dia berdiri dengan gontai, dan berteriak sangat keras dan kuat. Di saat teriakan itu, dia merasakan ada yang berbeda dengan tubuhnya. Api kecil di dalam jiwanya itu membesar, dan berkobar.
Dia kembali memasang kuda-kuda, lalu berteriak sangat kencang dan kuat, pun demikian dengan harimau api itu; dia mengaung sangat menggelegar.
Di saat yang bersamaan itu, muncullah seorang kakek tua dengan tubuh yang segar. Rambutnya hitam mengkilat, tersisir kebelakang. Tubuhnya seperti petarung-petarung hebat, tidak begitu berotot tetapi bersisi, wajahnya tampan dan matanya tajam, memakai pakaian serba hitam. Dia berdiri di hadapan harimau api itu dengan tangan sidakep di dadanya dan menunduk dan tersenyum simpul. Kemudian berkata, "Hmph, ternyata kalian sudah akrab!"
Harimau api itu langsung memalingkan pandangannya, "Bodoh! Kau akan percayakan aku pada bocah lemah itu."
"Jangan mengelak, kau terlihat serasi dengannya."
Sedang Batara terkaget melihat kakek tua segar yang tiba-tiba muncul yang entah datang dari dimensi yang mana. Dia kembali mundur menjaga jarak, sebab dia memperhatikan kakek tua segar dan harimau api itu begitu akrab, dan alangkah kagetnya ketika mengetahui harimau itu dapat berbicara seperti manusia, sampai dia terhenyak, dan matanya membelalak.
Batara memberanikan diri, memuntahkan pertanyaan dari dalam kepalanya, "Siapa kau?"
"Aku Ta...:"
Belum sempat harimau api itu menjawab Batar langsung momotongnya, "Aku tidak bertanya padamu brengsek!"
"Kurang ajar kau bocah sialan!" Harimau api itu berdiri layaknya manusia, dan api dari tubuhnya semakin menyala-nyala. Marah, dan siap menyarang.
Namun, kakek tua segar itu langsung mengangkat tangannya di samping telinganya, dan mengacungkan jarinya. Sebuah jari peringatan pada harimau api itu.
Harimau api itu langsung kembali turun, "Heh! Sialan. Awas kau!"
Kakek tua segar itu tertawa senang, "Hahaha... dulu kau tidak seperti itu padaku." Sembari menengok.
"Hey kau Kakek tua! Kau belum menjawab pertanyaanku."Batara langsung menyela, melemparkan pertanyaannya lagi.
Dan sektika harimau api itu meloncat melewati tubuh kakek tua segar itu, dan menerka Batara sampai tubuhnya terbanting. Kedua tangannya dicengkram, dan dia tidak bisa lagi bergerak, "Kau bocah ingusan, berani kau berkata seperti itu." Harimau itu menggeram di atas tubuh Batara. Menatap tajam pada wajah Batara. Pun demikian dengan Batara. Mereka saling menatap.
Dari mata kakek tua segar itu keluar api menyala-nayala, lalu berkata dengan suaranya menggema, "Aku Basra Pranama."
Mendengar suara itu, Batara dan harimau api itu langsung menoleh kepada kakek tua yang menyebut dirinya Basra Pranama.
"Bodoh! Tidak perlu mengeluarkan kakuatan sebesar itu." ucap harimau api itu.
Batara yang mendengar nama itu langsung meronta dari terkaan harimau api itu. Namun kekuatannya tidak sebanding sedikit pun dengan harimau api itu. Merasa kesal, Batara berteriak, dan dengan sendirinya matanya mengeluarkan api yang menyala-nyala, sampai mebuat harimau api itu terhentak dan kembali mundur ke tempat asalnya.
"Hmph! Ternyata bocah lemah itu memiliki mata api juga."
Api di matanya Batara langsung musnah setelah harimau api itu mundur ke belakang Basra Pranama, dia merasakan kesakitan dan menutup matanya dengan kedua telapak tangannya, meringis kesakitan.
Basra Pranama tertawa senang terbahak-bahak, "Hahaha... sudah kukatakan kalian itu cocok."
Mendengar kalimat itu, harimau api itu langsung memalingkan wajahnya seakan tak sudi.
Batara berdiri lirih, kakinya gontai menyangga tubuhnya. Dia membuka matanya, kemudian dia bertanya, "Basra Pranama? Kakekku?"
Basra Pranama tersenyum.
Dengan sekuat tenaga, Batara langsung berlari dan memeluk tubuh kakeknya itu. Erat. Sangat erat. Dan, lama.
"Sudah waktunya, Batara."
Semuanya kembali hampa, kembali menjadi ruangan yang kosong, setelah Basra Pranama meninggalkan kalimat itu.
Batara kebingungan, dia kembali mencari-cari arah, matanya kembali merasakan rasa sakit, samar-samar matanya melihat harimau api itu ada di hadapannya.
Aaa!!!
Batara berteriak kesakitan, matanya kembali mengeluarkan api yang menyala-nyala, tetapi pandangannya masih samar – kabur, dan di saat teriakannya itu, harimau api itu kemabli masuk ke dalam tubuh Batara.
Aaa!!!