Chereads / Pedang Taraka / Chapter 14 - Air Terjun

Chapter 14 - Air Terjun

Keesokan harinya, Alex dibangunkan ketika matahari belum terbit Hanya terdengar kokokan ayam jago yang entah dari mana suaranya, bersahutan, dari kandang ke kandang. Keadaan sang fajar dengan suasanana yang sangat dingin, angin menyelinap ke sela-sela bilik, seakan menusuk-nusuk kulit, bahkan tembus ke dalam jantung. Keadaan Warudoyong memang sedikit lebih tinggi, tidak jauh dari awan, siang hari pun jarang panasnya, awan-awan lebih sering menyelimuti pesantren. Matahari yang seharusnya lebih menyengat, tidak, karena pohon-pohon tua masih menjulang tinggi, dan pohon yang beranjak dewasa pun telah percaya diri – menampilkan gigi untuk ikut mengasrikan Bumbulang. Memang di kenal dengan daerahnya yang dingin oleh masrayakat kota.

Di tengah sahut-sahutan ayam dan dinginnya fajar - tubuhnya yang masih belum sembuh sempurna, terasa bukan lagi ditusuk-tusuk oleh angin dingin, tetapi seakan digrogoti. Dia hanya bisa melindungi dan mengusap-ngusap dengan tangannya, bersilang bahu. Tidur-terjaga, tidur-terjaga, dan begitu. Suatu ketika, saat hendak menerjang mimpinya, saat matanya hendak masuk ke dalam lelap dan gelap. Tiba-tiba diterjang!

"Bangun!"

Suara itu terdengar keras oleh Alex, dan Alex langsung membuka matanya dengan sedikit menggerutu, "Gila! Ini masih gelap." Terperanjat. Samar-samar pandangannya melihat Tantuni berdiri menggenakan pakaian serba hitam, dan Sedayu dengan mata yang menyorot tajam, menyala berpadu dengan temaramnya lampu kuning, berada di pundaknya. Sesekali kepala burung hantu itu menengok ke kiri dan ke kanan, bahkan satu dua kali berputar sampai kebelakang, selalu begitu. Namun, selalu awas.

"Bangun!" Tantuni menarik tangan Alex sampai Alex terbangun dan duduk, "Ayo bangun, payah!"

"Apa?!" Alex langsung berdiri dan matanya nyalang menodong Tantuni.

Kesal. Berang. Alex pun menyerah pada Tantuni, dan mereka berdua keluar dari lingkungan pesantren, berbelok ke samping kanan pesantren; berjalan melwati kebun yang sudah tak terurus, banyak ilalang yang telah tumbuh tinggi, sampai setinggi badan. Langkah Alex seperti merayap karena keasingannya, tetapi lain dengan Tantuni, ia berjalan seperti di tengah hari. Sebagai pencahayaan, mereka menggunakan pencahayaan dari petromak yang temaram berwarna kuning, "Kebun ini dulu diurus oleh para santri, tetapi sekarang terlantar karena tidak ada yang merawatnya," ucap Tantuni dengan nada yang dingin, dingin dengan sejuta kenangan dan rasa sakit. Mereka terus melanjutkan perjalanannya, dan ketika keluar dari kebun tak terurus itu, Alex disuguhi dengan ratusan makam yang dinisani oleh batu-batu sungai. Alex terkaget dan menghentikan langkahnya, "A-apa ini?" mulutnya gagap, tubuhnya kaku seakan terpaku di atas tanah.

"Ini adalah pemakaman para santri." Jawab Tantuni seraya berhenti mematung.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?"

Tantuni tidak menjawab, dia melanjutkan langkahnya meninggalkan Alex yang masih bengong dan mulutnya hampir menganga melihat penampakan yang ada di hadapannya, pemakaman yang begitu luas. Dia melihat Tantuni semakin menjauh, berjalan di antara makam-makam yang berderet itu. Bayangan gambar di sampul buku itu muncul di dalam kepalanya, lalu mendengus "Tantuni?". Tak lama, dia mengibaskan apa yang ada di dalam pikirannya itu dan malanjutkan langkahnya – sedikit berlari mengejar Tantuni, dan ketika dekat dia memelankan langkahnya dan mengikuti Tantuni dari belakang, lagi-lagi tidak jauh dan tidak dekat, sebatas pencahayaan lampu pertomak.

Setelah melewati ratusan makam itu, Alex mendengar sebuah aliran sungai yang deras, berdebur-debur. Dia tetap berjalan di belakang Tantuni, dengan sejuta kepenasaran di dalam kepalanya. Tantuni berhenti, Alex pun berhenti di sampingnya. Di pagi buta itu, Alex melihat sungai yang sangat menawan, putih dan berbuih-buih di sela batu-batu besar dan kecil. Sungai yang lebar, deras, segar, dan terdapat air terjun yang indah. Air terjun itu selebar sungai itu sendiri, dan airnya yang jatuh membentur batu-batu di bawahnya. Di tengah sungai itu ada tiga batu besar yang berjejer ke dalam air terjun itu, seperti sebuah pijakan yang seakan di balik air terjun itu terdapat sebuah gerbang menuju alam lain? Dimensi lain? Atau dunia lain? Berbagai pertanyaan terus bermunculan di dalam kepalanya.

Tantuni mengajak Alex menuruni sungai itu, berjalan di tepian-tepian. "Mau apa kau ajak aku ke sini?" tanya Alex dengan nada gusar.

"Lagi-lagi kau bertanya, sudah ikut saja."

Mereka meloncat-loncat kecil dari satu batu ke batu yang lain, dari batu kecil ke batu kecil, dari batu besar ke batu besar, dari batu besar ke batu kecil, dan dari batu kecil ke batu besar. Setelah mereka sampai di tengah-tengah sungai, di tiga batu yang berjejer ke dalam air terjun, Tantuni menghentikan langkahnya. Pun dengan Alex.

"Di sini aku ingin kau tidak banyak tanya. Kau lakukan saja apa yang aku katakan." Tantuni menekan perkataanya.

Tetapi Alex dengan sikap kepemimpinannya selalu membantah, "Hmph. Untuk apa?" Sembari memalingkan pandangannya.

"Sudah ikuti saja, payah!" Nada bicara Tantuni naik dan menggema, membuat Alex gemetar mendengarnya.

"Apa-apaan suara itu? sering kau merasa takut jika dekat dengannya. tetapi kadang terasa begitu tak asing dan nyaman berada di sampingnya.Cih."

Alex kembali menoleh ke arah Tantuni. Begitu terperanjatnya dia, ketika melihat Tantuni menjadi dua, dan tiba-tiba Sadayu yang hinggap di pundaknya pun terbang, matanya kembali terlihat tajam. Alex mundur menjaga jarak, "Sebanarnya apa yang kau ingin lakukan?" Tanya Alex gugup.

Tantuni mengambil sebilah bambu di pingganya, lalu dilemparkannya ke udara, dan saat sebilah bambu itu kembali, sebilah bambu itu menjadi sebuah tongkat yang terlihat sangat kuat. Tantuni mengakap tongkat itu, dan memutarkannya satu kali lalu menghantamkannya ujung tongkatnya pada batu yang dipijaknya, seraya berkata "Ikuti perkataanku!" dengan matanya yang tajam pula. Hantaman itu membuat batu yang dipijaknya bergetar, dan Alex mundur satu langkah terakhir sampai berada di ujung batu.

"Baiklah..." Alex menyerah.

Suasana yang sangat dingin dengan deburan air terjun berpadu sangat mengerikan di diri Alex. Di tengah keadaan itu, Tantuni meminta Alex membuka bajunya dan memintanya duduk di atas batu kedua, menghadap ke air terjun.

Alex mengikuti semua intruksi itu. Dan, Tantuni duduk di batu pertama – batu yang paling dekat dengan air terjun, berhadapan dengan Alex. Mereka berdua berhadapan dan bersila. Alex masih tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Tantuni. Hanya bertanya-tanya dan bertanya-tanya di dalam kepalanya, dan gelap pula jawabannya.

Alex diminta duduk untuk menjernihkan pikiran dan hatinya. Dia menutup matanya, dan mulai hanya merasakan dan mendengar apa yang ada di sekitarnnya. Banyak yang terdengar, tidak hanya air terjun dan arus air yang mengalir ke muara. Ada: suara langkah, desir angin, gesekan dedaunan, percikan air, bisikan. Perasannya, timbul tenggelam antara rasa takut dan rasa penasaran. Pikirannya belum benar-benar jernih, pertanyaan-pertanyaan masih menghantui kepalanya. Namun, dia terus mencoba mengikuti apa yang dikatakan oleh Tantuni.