"Kamu sudah lebih baik, Batara?"
"Sedikit lebih ringan."
"Kegiatanmu sudah selesai?"
"Hanya tinggal pemolesan akhir saja, anak-anak kelas sebelas cukup mudah diarahkan."
"Aku ingin lihat pertunjukannya nanti."
"Harus, tapi sebagai pembuat skenario dan sutradara aku hanya akan ada di belakang panggung."
"Setidaknya dari semua apa yang nampak di panggung teater lusa nanti nampak wajah kamu."
Batara tersanjung mendengar pujian itu. Mereka berjalan di lorong kelas 12 A, lalu belok kiri menuju mading sekolah.
"Terus kegiatanmu bagaimana?"
"Untuk di panggung perpisahan nanti aku akan menampilkan sesuatu yang berkesan."
"Apa?"
"Pengen tahu aja atau pengen tahu banget... hahaha" Sofia berlari mencandai Batara.
Ketika di ujung lorong, Sofia berhenti, mematung.
"Bagaimana perasaanmu, Sofia?" Batara menghampirinya dan menatap ke arah kanan.
"Berdebar." Jawab Sofia.
Dari kejauhan, mading sekolah sudah dikerumuni anak-anak kelas 12. Beragam raut wajah dari masing-masing peserta didik ketika berbalik setelah melihat papan pengumuman: ada yang bahagia karena terpilih di universitas yang diinginkan dengan jurusan yang diinginkan, ada yang meratapi karena tidak sesuai dengan harapannya, bahkan sebagian perempuan ada yang menengis tersedu-sedu karena tidak terseleksi untuk masuk ke universitas yang di impikannya; salah satunya adalah Atik; padahal Atik adalah salah satu siswa yang dikatagorikan pintar oleh sekolah.
Batara memegang tangan Sofia dan menyelusup masuk ke sela-sela kerumunan itu. Tubuh Batara yang tingginya 165 cm, cukup mudah membukakan jalan untuk Sofia untuk usia SMA. Sofia pun berhasil berdiri di paling depan, sedangkan Batar berdiri melindungi dari belakangnya. Sofia mencari namanya, di kertas satu dia tidak menemukan namanya, kemudian dengan teliti dia menilik kertas kedua, namun tetap dia tidak menemukan namanya.
Batara tiba-tiba memegang dadanya, ada denyutan yang tidak biasa. Perasannya pun tiba-tiba tidak enak. Dia melepaskan pegangan Sofia lalu mundur ke belakang, kembali membelah kerumunan. Sofia yang gugup dengan pengumuman itu tidak merasakan kalau pegangannya telah terlepas. Batara menjauh dari banyak orang. Dia berlari ke toilet. Setelah masuk dia berdiri di depan kaca yang lebar, dia menatap wajahnya sendiri, terlihat samar-samar ada api yang berkelebatan di matanya. Dia menahan, "Euhh... ada apa ini?" Dia teringat pertemuannya dengan harimau api dan kakeknya saat dalam mimpi itu, "Euhh... perasaan ini sama seperti saat aku bersama dengan Sofia di puncak hutan." Kemudian dia teringat pada orang tuanya, "Bapak, Ibu? Aaa...!!!" Dia berteriak, matanya kembali merasakan rasa sakit, dan perasaannya itu seakan menariknya untuk pulang. "Euuh...! ada apa ini?" Dia berlari ke luar, dan langsung ke dalam ruangan teater mengambil ranselnya kemudian berlari meninggalkan sekolah.
Sofia berjingkrak kegirangan, namanya tertera dengan universitas dan jurusan yang ia idam-idamkan, Universitas Astrajingga jurusan Kedokteran. Di sana dia akan menjadi mahasiswi dengan almamater kuning yang diinginkan banyak teman-temannya di sekolah, termasuk oleh Atik.
Ketika dia berbalik badan dengan masih berjingkrak, Batara telah tidak ada. Dia memanggil-manggil, "Batara... Batara... Batara...!" Namun, tetap tidak ada jawaban. Dia membelah kembali kerumunan, dia terpisah dari kerumunan – menengok ke kiri dan ke kanan, mencari Batara. "Batara...!" Dia berteriak. Saat dia hendak menarik napas untuk kembali berteriak memanggil Batara, dia terhentak, dia mendengar teriakan Batara dari belakang kelas – dari arah toilet. Tanpa pikir panjang dia langsung berlari ke arah suara itu, dia khawatir kalau Batara merasakan hal serupa seperti saat di puncak hutan. Dia terus berlari dan berlari. Sebagian siswa ikut berlari bersamanya, bahkan sebagian guru pun ikut, karena penasaran. Mereka berpikir takut terjadi apa-apa.
Namun, ketika mereka sampai di toilet, mereka tidak menemukan siapa pun. "Ke mana kamu, Batara?" Tanya Sofia di dalam hatinya penuh degan kekhawatiran.
Batara berlari lebih cepat dari biasanya dia berlari, perasaan tidak enaknya terus menariknya pulang, dan bayangan di kepalanya hanya ada Ayah dan Ibunya. Ketika sampai di alun-alun kota, dia tidak menemui angkutan kota satu pun (memang belum jam sekolah pulang). Di alun-alun itu dia tidak sengaja menyenggol seseorang, dengan rasa paniknya dia tidak memperdulikan orang itu. Batara memutuskan untuk terus berlari lagi. Matanya menatap tajam dan seakan membawanya, dari jalan raya itu dia berbelot ke kanan, menembus hutan. Larinya semakin cepat. Dia membelah hutan, yang ternyata hutan itu tersambung ke hutan di mana ia berlatih. Saat di sana dia berdiri sejenak, mengehela napasnya, dan menatap ke arah rumahnya. Lalu dia kembali berlari lalu menuruni hutan dan sampai di pesisir hamparan sawah, dia beralari dari jalan setapak ke jalan setapak, sampai kembali menemui jalan raya yang telah dekat dengan kampungnya, Bojongsari.
Orang-orang bersuara gaduh dan panik, di kampungya. Batara mengehentikan larinya, dia bertemu dengan salah satu warga – seorang bapak-bapak yang terlihat gelisah, lalu dia bertanya, "Ada apa ini, Mang?"
"Lima puluh kambing juragan Darsa mati, semua matanya hilang."
"Ajag?"
Musibah yang menimpa juragan Darsa menjadi buah bibir satu kampung. Sebagian warga masih berkerumun di kandang samping rumah juragan Darsa. Masih penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Juragan Darsa terkulai lemas di bibir pintu, istrinya menangis histeris; Bu RT menenangkannya dengan memeluknya. Ada ustad juga yang ikut melihat, di barisan paling depan dengan bibirnya yang terlihat komat-komit. Batara menyelinap. Ketika ia berada di tengah-tengah kerumunan, tiba-tiba dia merasakan rasa sakit di kedua matanya. Dia langsung menutup matanya dengan kedua telapak tangannya, menahan rasa sakit, dan menahan untuk tidak berteriak dan meronta di tengah kerumunan itu. Dia mencoba mengendalikan rasa sakitnya.
Seorang kakek menepuk Batara yang masih mengenakan seragam sekolah itu, "Kamu kenapa, Batara?" suaranya sedikit serak dan berat.
Saat dipegang itu seketika rasa sakit di matanya langsung hilang. Dia merasa-rasa sakitnya. Di saat merasa-rasa sakitnya itu, dia mendengar sebuah dengusan di dalam dirinya, "Hmph." Matanya nyalang di balik tangannya, lalu dia membuka telapak tangannya dengan perlahan. Ketika matanya kembali melihat, dia merasa ada yang aneh dengan penglihatannya; dia melihat jejak langkah hewan; samar-samar berwarna merah di kandang kambing itu.
Batara merasa tidak yakin dengan penglihatnnya itu, lantas dia menggisik-gisik matanya beberapa kali, lalu kembali melihat ke kandang kambing itu, tetapi jejak langkah merah itu masih ada di penglihatannya.
"Kamu kenapa, Batara?" Tanya seorang kakek itu kembali.
Dengan kaget dan gugup Batara menjawab, "Oh tidak, Kek, hanya kelilipan." Sembari melirik wajah kakek itu, matanya tertanam di sorot mata seorang kakek itu.
Lantas seorang kakek itu melepaskan tangannya dari pundak Batara. Dan, Batara dengan rasa penasarannya berjalan membelah kerumunan – mendekati kandang kambing yang di matanya terlihat banyak jejak langkah merah. Semakin mendekat semakin jelas jejak langkah samar-samar merah itu. Namun, ketika dia berada di barisan depan kerumunan, seketika dia teringat pada sorot mata seorang kakek yang menepuk pundaknya tadi, dan teringat dengusan di dalam dirinya. Dia langsung menoleh ke belakang, dan mencari-cari seorang kakek itu. Namun, seorang kakek itu sudah tidak nampak di dalam kerumunan itu. Sejenak Batara terdiam karena heran, karena seorang kakek itu benar-benar hilang dari kerumanan. "Sudahlah" gumamnya. Kemudian dia memalingkan pandangannya pada kandang dan jejak langkah hewan itu.
Dia menajamkan matanya, menelisik dari mana langkah itu datang. Dia mengikuti langkah hewan itu di tengah ramai-ramainya orang yang kebingungan. Orang-orang itu mengatakan kalau kambing-kambing itu masih hidup saat pagi tadi, "Kok, bisa mati mendadak? Dan matanya hilang semua."