Setelah aku melewati hamparan ratusan pemakan para santri, aku turun ke sebuah sungai yang besar, airnya deras, dan terdapat air terjun yang selebar sungai itu sendiri. Tidak terlalu tinggi, tetapi deburannya membuat jiwa bergetar, dan membuat keadaan semakin dingin.
Aku meloncat-loncat kecil dari satu batu ke batu yang lain, sampai ke tengah aliran sungai aku berdiri di salah satu batu besar yang berjejer ke dalam air terjun itu. Ada tiga batu besar di tengah-tengah sungai.
Tantuni menyuruhku menuruti apa perkataannya, sial! Memang dia siapa berani memerintah. Aku sedikit berdebat dengannya. Sampai hal tak terduga dan di luar nalar pun terjadi? Tantuni menarik sebilah bambunya di pinggangnya, dan sangat cepat sebilah bambu itu berubah menjadi sebuah tombak yang membuatku ketakutan, seketika. Dia menghantamkannya pada batu besar yang aku dengannya pijak, dan batu itu langsung bergetar. Aku mundur menjaga jarak sampai di ujung batu itu. Aku pun menyerah, "Baiklah."
Ketika aku duduk dan memejamkan mata, awalnya aku merasakan dingin yang menusuk-nusuk dan mendengar segala sesuatu yang ada disekitaran. Namun, dengan sekejap apa yang dirasa dan didengar itu lenyap, berubah menjadi keheningan. Di dalam keheningan itu aku berdiri sendirian. Kemudian muncul Tantuni dari hadapanku dengan pakaian serba hitam dan tombaknya yang sangat kuat itu. Dia berjalan ke arahku dan kemudian dia berdiri di sampingku. Lalu dia mengibaskan tongkatnya itu di hadapanku, dan seketika kehampaan itu beruabah menjadi tempat yang tidak aku kenali.
Tempat itu sangat bersih, terawat, dan hijau. Banyak remaja –remaja putra bersarung, dan remaja putri yang sangat cantik berbinar dengan sehelai kain di atas kepalanya. Aku melihat aktivitas yang sangat tertarta. Lantas aku bertanya, "Ini di mana?"
Namun lagi-lagi Tantuni tidak menjawab, dia malah berjalan dan memberikan isyarat agar aku mengikutinya. Di samping kiri kanan, ada banyak tumbuhan yang terawat; sayuran, bunga, dan pohon-pohon besar yang menyejukan. Tantuni berhenti, dan aku pun berhenti. Lantas aku pun mendongak, melihat nama pesantren di atas gerbang: Warudoyong. Seketika aku kaget, "Hah? Ja-jadi dulu tempat indah itu adalah pesantren."
"Ya." Jawab Tantuni.
Aku melirik pada Tantuni, aku melihat wajah Tantuni menjadi berseri. Dia melangkah memasuki gerbang itu, tetapi langkahnya tiba-iba terhenti setelah beberapa langkah dari gerbang tadi, dia melihat seorang lelaki dengan sorban dan peci berwarna putih sedang berbicara dengan seorang yang aku kira itu santrinya. Aku perhatikan Seorang santri itu mirip dengan Tantuni. Aku melirik wajah Tantuni, wajahnya berlinang, lalu dia sayup berkata "Guru..."
Seperti diperintah, santri itu mundur beberapa langkah, kemudian pergi meninggalkan gurunya. Dia masuk ke dalam sebuah surau, tak lama dari dia masuk, kemudian terdengar suara azan berkumandang. Azan Magrib.
Hari semakin gelap, suara santri laki-laki dan perempuan ramai di dalam surau, seperti sedang menghapal dengan irama syair yang membuatku betah mendengarnya, walau tak sedikit pun aku mengerti.
Dari dalam sebuah rumah yang terbuat dari jati, seorang guru tadi keluar dengan pakain serba hitam, dan dengan songko hitam. Di jarinya terdapat batu cincin berwarna hijau yang sangat, sangat bersinar. Aku merasakan aura yang berbeda dengan penampilannya tadi – saat pertama kali melihat. Seorang guru itu masuk, dan seketika ramai hapalan dengan syair itu terhenti, tanpa komando siap dan tanpa peringatan. Tantuni melangkah mendekati surau itu, sekarang wajahnya berubah, matanya menjadi tajam. Tongkat yang dipegangnya bergetar. Suasananya pun menjadi kurang begitu enak, "Sebenarnya akan ada apa?" aku bertanya dalam hatiku.
Aku melihat semua santri memberikan tatapan yang berbeda ketika gurunya melintas di antara mereka untuk duduk di depan tempat ajar, tatapan yang asing. Keadaan menjadi hening, dan mencekam. Di barisan laki-laki itu ada seorang anak kecil, dia bertanya dengan wajah polosnya: "Kenapa pakaian Kiai sekarang berbeda?"
Dengan tersenyum seorang guru yang disebut kiai itu menjawab dengan nada yang lembut dan tanpa ragu, "Kiai hanya mau berpenampilan beda saja."
Sedang semua santri yang telah dewasa, mereka memasang wajah penuh tanda tanya, namun di lainnya, seakan telah paham bahwa akan terjadi sesuatu. Aku melihat seorang santri di barisan paling depan di posisi paling tengah, dia menunduk dan mengepalkan tangan. Wajahnya tak lagi menunjukan tanda tanya, tapi dia siap dengan segala apapun yang terjadi, dia Tantuni! Seketika aku teringat pada buku itu, "Jangan-jangan?"
Aku merasakan keadaan menjadi mencekam, angin-angin berhembus lebih dingin. Terdengar gemuruh dan pekikan orang-orang yang datang dari jauh? Bukan! Sangat dekat, "perasaan apa ini? suara apa itu. gaduh? Gerombolan? Menyerang? Ada apa ini?".
Tantuni tiba-tiba berkata, "Sekarang adalah waktunya," seraya menunduk, dengan gerahamnya yang gemetar, gemeretuk, dan matanya semakin tajam.
Sret!
Sebuah anak panah melesat.
Tak tak tak!
Memecahkan tiga lampu utama di depan gerbang. "Apa itu?" aku terkejut.
Tantuni langsung berbalik badan. Aku mengikutinya, dan ketika aku berbalik badan sebuah anak panah melesat ke arah wajahku. Anak panah itu menembus kepalaku dan menembus dinding surau yang terbuat dari bilik bambu itu. Setelah sadar kalau anak panah itu tidak meluakaiku aku langsung berbalik kembali ke arah surau. Aku melihat semua santri tidak ada yang gaduh, semuanya terdiam, senyap. Tantuni yang ada di dalam surau itu, mulai bergerak mengintruksikan agar anak kecil dan santri perempuan segera meninggalkan surau itu dengan tidak berisik.
Dari luar gerbang aku mendengar kasak-kusuk segerombolan orang datang, orang-orang itu sangat banyak. Dari mulut gerbang salah seorang yang aku kira itu adalah pemimpinnya berteriak, "Hoy, Jalal, kelaurlah!"
Aku melihat mata Tantuni di sampingku menatap tajam, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Para santri laki-laki berhamburan, jumlahnya ratusan. Di barisan depan terdapat seratus santri yang terlihat paling senior, mereka berderet rapih, di sana Tantuni memimpin barisan itu. Aku lihat masing-masing dari mereka mempunyai sebilah bambu kuning tua dengan dua utas tali merah dan hitam seperti milik Tantuni. Sedangkan Kiai yang aku baru tahu namanya Jalal itu keluar dengan wajah yang tenang, dan berseri. Aku melihat cincin batu berwarna hijau yang melingkar di jari kirinya itu bersinar lebih terang, seakan dia mengetahui kalau ada tamu yang datang yang membuat dirinya harus menampilkan kehadirannya. Kiai Jalal itu berjalan melewati para santrinya, sampai ke barisan depan, dan berdiri di depan seratus santri itu.
Dari arah gerbang segerombolan itu datang dengan berbagai senjata tajam di tangannya: Sebagian menggunakan pedang dan sebagian menggunakan tombak. Ada tiga orang yang berdiri dari depan, salah satu dari tiga orang itu tidak memegang senjata apapun, dia berdiri di tengah, usianya terlihat sama seperti Kiai Jalal, tetapi aura yang dikeluarkannya gelap, penuh dengan kebencian dan dendam, tubuhnya terlihat lebih kuat daripada yang kedua orang yang berada di sampingnya; mengenakan pakaian serba hitam berplat merah, dan di dadanya terdapat lambang kelalawar berwarna merah, rambutnya gondrong berantakan, dan sorot matanya seperti sorot mata pembunuh. Ya, aku yakin dia pemimpinnya dan dia yang terkuat dari yang terkuat di kelompoknya itu. Sedangkan dua lelaki di samping kanannya terlihat menggendong pedang yang sangat besar. Dia berpenampilan seperti pendekar, tubuhnya terlatih, rambutnya rapih dan tampangnya juga tampan, terliha lebih muda, terlihat seusia dengan Tantuni yang memimpin di barisan depan itu. Dan yang berada di samping kiri, dia memegang busur panah, di punggungnya dia menggendong banyak anak panah. Dia pasti yang melesatkan anak panahnya tadi. Tampilannya seperti seorang pemburu, rambut di bagian belakangnya diikat, dan bagian depannya dibiarkan merumbai.
"Sudah lama kita tidak bertemu, Gintarto." Jawab Kiai Jalal, tenang, menghandapi segerombolan itu.
"Kau sepertinya sudah tahu kedatanganku ke sini mau apa."
"Kau datang pada orang yang tepat."
Aku mendengarkan saling lempar mulut antara Kiai Jalal dan orang yang berdiri di tengah itu, yang disebut Gintarto.
Gintarto tiba-tiba mendesak, "Heh! Sudah jangan banyak basa-basi, berikan Pedang Taraka padaku. Aku tahu, Basra Pranama telah mati, dan dia memberikan pedangnya kepadamu!'
"Pengecut! Kau punya pasukan sebanyak ini, tetapi tidak berani mengambil pedang Taraka saat berada di tangan Basra Pranama!"
Pedang Taraka? Pedang seperti apa itu, sampai menimbulkan peperangan.
"Cuh. Banyak omong! Cepat berikan, atau engkau akan mati di tanganku."
"Aku tidak pernah kalah darimu Gintarto."
"Aaa....!!!" Gintarto berteriak.
Tantuni mendekati gurunya, berdiri disampingnya hendak melindungi gurunya seraya menarik sebilah bambu di pinggangnya, kemudian sebilah bambu itu berubah menjadi tongkat dan dihantamkannya ke tanah. Dan sektika tampilannya berubah, yang tadinya sarungan, berkoko, dan bersongko, sekarang pakaiannya serba hitam dan songko itu berubah menajdi ikat kepala, ujung talinya berkibar. Terlihat keren.