Di ujung sana, laki-laki muda di samping kanan Gintarto itu mencabut pedang yang tertancab di balik punggungnya itu, dan memasang kuda-kuda siap tempur. Matanya menatap tajam pada Tantuni.
Gintarto berteriak seakan menyatukan dirinya dengan susuatu, entah apa. Aku masih memperhatikan dengan tejam. Tiba-tiba dua gelang hitam yang melingkar di masing-masing tangannya berubah menjadi dua bilah pedang yang sangat mengkilat, tajam, dan memiliki aura membunuh.
Wus... Wus... Wus... Seketika sembilan puluh sembilan orang yang berdiri di belakng Kiai Jalal dan Tantuni menararik sebilah bambu di samping pinggangnya dan berubah tampilannya seperti Tantunti. Siap bertempur.
"Hmph. Ternyata kau mengajarkan ilmu Kilat Emas pada murid-muridmu."
WUSSS....
Gintarto menghentakan kedua pedangnya dan seketika tampilannya berubah, menjadi kesatria pedang, pekaian hitam dengan garis plat merah itu setiap ujungnya memanjang dan berkibar, pun dengan rambutnya. Kibaran itu dihasilkan dari efek perubahan yang dilakukannya. Dari pedangnya keluar asap hitam yang tipis, tapi terlihat seakan haus darah.
"Tapi sayang, perubahan kilat emas itu masih tahap awal!" sembari berteriak dan dengan cepat menyerang Kiai Jalal.
Kiai Jalal menunduk dan memejamkan mata, dia memasang kuda-kuda melebar, dan WUSSS... tak kalah kerennya, tampilannya menjadi berubah. Pakaian hitamnya menjadi berplat hijau. Dan songko hitmanya pun berubah menjadi ikat kepala berwarna hijau. Dia mengacungkan tangan kanannya. Batu hijau itu menyala menyilaukan, dan tidak kusangka batu hujau itu berubah menjadi sebuah pendang yang besar, di pegangannya terdapat dua kepala burung foniks berwarna perak keemasan, dan ditengah pedang itu terdapat segetiga mengerucut – memanjang berwarna hijau. Membuat pedang itu bercahaya hijau mengkilat.
Trang!
Kiai Jalal menahan dua pedang yang dilesatkan dari atas oleh Gintarto. Gintarto terpental dan mengatur jarak. Kemudian giliaran Kiai Jalal yang melesat cepat menyerang Gintarto. Dengan lincah Gintarto menahan serangan Kiai Jalal yang bertubi-tubi. Gintarto pun membalas bertubi-tubi dan mengerikan, gerakan mereka sangat cepat. Tak bisa mataku menangkap dengan sempurna, yang terlihat jelas hanya percikan api yang terjadi karena pedang mereka yang beradu sangat cepat dan kuat.
Aaaa... serang...!!!
Teriakan para santri dan gerombolan musuh saling menimpali. Seratus orang santri yang ada di depan itu bergerak cepat, tetapi musuh pun tak kalah cepatnya. Aku terfokus pada Tantuni dan lelaki muda itu; tongkat melawan pedang besar.
Sedang Tantuni yang di sampingku, dia terlihat penuh dengan amarah dan kebencian, hanya melihat. Aku dapat merasakannya, dan melihatnya dari cara memegang tongkatnya yang begitu greget dan kesal.
Tantuni dan lelaki muda pengguna pedang besar itu bergerak sangat cepat dan lincah, aku yakin lelaki muda itu juga adalah lelaki pilihan sama seperti dengan Tantuni. Dan ternyata tongkat Tantuni itu lebih kuat dari yang aku bayangkan, tongkat itu bisa menangkis dengan mudah pedang yang sangat tajam itu, bahkan memercikan api, seperti benturan atarbesi dengan besi.
Para santri yang lain dan gerombolan yang lain bertarung penuh dengan harga diri yang mereka pedang masing-masing. Begitupun santri yang hanya menggunakan tombak kayu biasa dan batu-batu yang diambilnya dari bawah kakinya, mereka tidak peduali bambu itu akan dilawan dengan senjata tajam yang sangat buas. Jiwa mereka terpancar dari raut wajahnya bahwa mereka siap untuk mati.
Tubuhku gemetar melihatnya. Pertempuran macam apa ini? Gila! Lebih gila dari penyerangan Danil kepadaku.
Pertumpahan darah para santri termasuk anak kecil yang nekad ilkut berperang dan gerombolan itu tak terelakan, sudah banyak korban yang berjatuhan dari kedua beleh pihak.
Seorang pemanah itu bagiku tak lebih dari seorang pengecut yang berani menyerang dari kejauhan.
Aku masih memperhatikan Tantuni dan lelaki muda itu bertarung habisan-habisan, tenaga mereka terlihat masih banyak. Sudah ada beberapa goresan pedang yang menembus kulit Tantuni. Wajahnya pun penuh dengan luka lebam dan darah. Pun demikian dengan lelaki muda itu, hantaman-hantaman tombak Tantuni membuat tubuhnya penuh luka dan berdarah.
Sedang Kiai Jalal dan Gintarto begitu sengit dan masih terlihat sangat tangguh. Belum ada goresan sedikit pun dalam tubuh mereka. Benturan-benturan pedang mereka masih sangat menegangkan.
BUK
Wajah Gintarto terkena tendangan Kiai Jalal. Dia terpental jauh. Kiai Jalal tidak memberikan napas, Kiai Jalal langsung menyerang dengan sangat cepat. Tebasan pedangnya dari atas ditangkis dengan sempurna, lalu ditebaskan lagi dari samping kanan, dan ditangkis lagi. Atas, samping kiri dan kanan, bawah, tebasan pedang itu sangat cepat. Balasan demi balasan begitu berirama.
Sret...
Aku terkaget, dada Kiai Jalal terkena tebasan pedang Gintarto. Kiai Jalal mundur menjaga jarak, sambil memegang dadanya yang mengeluarkan darah.
"Hahaha... Matilah kau Jalal!" Teriak Gintarto menyerang Kiai Jalal yang masih memegang dadanya.
"Gin-tar-toooo....!"
Namun, dengan sigap Kiai Jalal langsung memasang kuda-kudanya kembali. Serangan dari Gintarto dapat dipatahkannya. Seakan tak ada luka di badannya, Kiai Jalal bertarung dengan sangat lincah.
Sret...
Giliran Gintarto yang terkena tebasan pedang di bagian dadanya. Namun, sama seperti Kiai Jalal, seakan tak ada luka, dia kembali bertarung dengan penuh nafsu.
Keadaan pesantren sudah tidak berupa; semua tanaman hancur, lampu-lampu mati, bangunan terbakar termasuk surau. Kurang ajar, panah itu tidak hanya tajam, tetapi dilapisi dengan berbagai elemen dan racun. Dan, memang sengaja dilesatkan pada bangunan-bangunan agar terbakar. Debu-debu membuat mata menjadi sulit untuk melihat, asap-asap yang mengepul membuat tempat ini semakin terlihat tragis. Aku nyalang melihatnya, geram.
Tantuni meguasai pertempurannya dengan lelaki pengguna pedang itu, dia menyudutkannya. BUK, tongkat Tantuni menghantam perutnya sampai dia terlihat merasakan mual. Belum selesai, Tantuni langsung menghantamkan kembali ke dagunya (serangan dari bawah ke atas) BRAK! Lelaki muda itu terpental – terbang dan ambruk ke tanah, sedangkan pedangnya terlepas dari tangannya; berputar-putar di udar dan tertancab di tanah. Tantuni mendekati lelaki pengguna pedang itu, dia berdiri di atasnya, melihat wajahnya yang sudah penuh dengan luka dan darah. Tombaknya dihantamkan pada tanah di samping telinganya, BAK, sampai membuat tanah itu bergetar. Namun, alih-alih memohon ampun, lelaki pengguna pedang itu malah tertawa menjengkelkan seraya berkata, "Bunuh aku...!" Tantuni terdiam melihat lelaki yang sudah tidak berdaya itu.
Dari balik surau tiba-tiba muncul seorang anak dengan mata yang berbinar, dia berdiri di samping Tantuni yang ada di sampingku. Tangannya bersemoga di depan dadanya penuh dengan harapan. Tantuni yang memgang tongkat di sampingku melihat ke samping kanan bawah, melihat anak itu.
Seratus santri pengguna tombak kini hanya tersisa lima puluh orang. Mereka masih bertarung melawan musuhnya masing-masing, sedang sebagian santri lainnya telah terkapar di atas tanah.
Pertarungan yang sangat hebat, sebentar lagi matahari akan terbit.
Kiai Jalal berhasil menyudutkan Gintarto. Gintarto terus diserang habis-habisan. Kilatan-kilatan cahaya yang keluar dari pedang Kiai Jalal sangat mematikan sampai satu pedang di tangan kiri Gintarto terlepas. Kini Gintarto melawan Kiai Jalal dengan satu pedang. Terlihat dia semakin melemah.
Sret...
Sangat cepat, Pedang Foniks itu kembali menebas dada Gintarto. Gintarto mundur menjaga jarak, tangan kirinya memegang dadanya yang mengeluarkan darah, dia tersengal-sengal, kakinya gontai. Dia menggunakan satu pedangnya sebagai tumpuan badannya. Kiai Jalal mengikutinya.
Dari balik tubuh yang gontai itu, Gintarto berkata: "Kau memang selalu unggul dariku, Jalal... sekarang, apakah kau akan membunuhku?"
"Hmph."
"Aku memang pantas mati di tanganmu, Saudaraku." Ucap Gintarto parau. Membuatku terkejut, Saudara?
Kiai Jalal menghentikan langkahnya, dan Gintarto menjatuhkan badannya.
"Bunuhlah aku, Jalal!" suaranya terdesak oleh rasa sakit di dadanya.
Keadaan masih gaduh, grombolan lain belum sadar kalau pemimpinnya telah tumbang. Tongkat dan pedang masih berbunyi nyaring, membuat kilatan-kilatan api.
"HENTIKAN!"
Tiba-tiba Gintarto berteriak menyuruh pasukannya berhenti menyerang, dan seketika pasukannya itu berhenti, termasuk si pemanah sialan itu.
Pertarungan semalaman. Matahari sebentar lagi akan terbit, rona merahnya mulai sedikit mewarnai langit Bumbulang.
Semua orang terdiam, tak ada lagi bentrokan senjata. Santri dan musuh saling berhadapan, mematung. Hanya saja berbeda raut muka. Aku melihat kegembiraan dan kemenangan di wajah para santri, sedangkan raut kekalahan tertanam di wajah para musuh.
Aku senang melihatnya. Aku menoleh pada Tantuni yang berada di sampingku. Aku melihat wajah tantuni penuh dengan kekesalan, kenapa? Aku langsung bertanya dalam kepalaku, apakah ini belum selesai? Apalagi selanjutnya?
Gintarto sudah terkulai lemas di atas tanah, deru napasnya berkelindan dengan dadanya yang tersengal-sengal. Pedang di tangan kanannya tergeletak di samping tangannya, sedang pedang satunya lagi tergeletak jauh darinya. Tidak ada lagi asap hitam yang keluar dari pedangnya itu. "Kenapa kau malah diam, Jalal?" Nadanya memelas, "Aku juga merasakan kehilangan saat Basra meninggal. Tidak lain dia juga adalah kakakku sendiri."
Mendengar kalimat itu, Kiai Jalal melunak. Pedang Foniksnya diturunkan dan kilatan hijau itu meredup. Dia menunduk dan membalikan badan tanpa membalas perkataan Gintrato, mungkin pikirannya teringat pada orang yang di maksud oleh Gintarto, dan bayangannya sedang kembali pada masa lalu.
Tetapi aku melihat Tantuni yang di sampingku seperti semakin meradang.
Sret...
Tiba-tiba, "KIAI AWAS!!!" Anak dengan mata berbinar itu berteriak dan berlari dari samping Tantuni dengan tergopoh-gopoh ke arah gurunya. Tantuni melambaikan tangannya tanda melarang mendekati. Lalu anak itu meloncat menghadang panah yang diarahkan pada gurunya dengan elemen petir di panah itu. Di udara, anak itu perutnya tertembak anak panah dan tubuhnya langsung terbakar oleh listrik