Chereads / Pedang Taraka / Chapter 12 - Mata Yang Menyala

Chapter 12 - Mata Yang Menyala

Ketika Sentaya pulang berdagang dari pasar, dia dapati Nila Ningrum tidak ada di rumah. Dia sudah memanggil-manggilnya satu dua - beberpa kali dari luar, namun benar memang Nila Ningrum tidak ada di rumah. Perasannya tidak enak. Dia langsung masuk ke dalam rumah dengan tergopoh-gopoh memeriksa setiap ruangan. Yang didapatinya setiap ruangan itu berantakan, dia langsung masuk ke dalam kamarnya dan didapatinya lamari sudah terbuka dan semua pakaiannya telah berserakan di mana-mana. "Sial!" dia keluar dan merangsek masuk ke dalam ruangan dapur, dan sama berantakannya. Di sana dia mendapatkan sebuah sal merah berlambang kelelawar. "Cuh, berengsek!"

"Sial!" Sentaya memintal sal itu. Dia berlari ke luar rumah, melihat sekitaran, kepalanya berkepundan dadanya tersengal-sengal. Wajahnya merah padam, rahangnya bergetar, urat-urat di keningnya bermunculan, dia seakan menjadi seorang buas, dia mengambil sekepal tanah dan membaui. Setelah membaui tanah itu dia mengucurkan tanah itu dari kepalannya, debu-debunya terhembus angin yang berlalu.

Wusss...

Seketika Sentaya melesat dengan sangat cepat mengejar pemilik sal merah itu, mengikuti instingnya. Itulah ajian Kilat Braja (Kilat Braja adalah ajian kecepatan seperti kilat yang bisa digunakan untuk berlari, menendang, dan menghantam. Tergantung sipenggunanya mau menggunakannya dalam apa saat bertarung). Belum jauh, Sentaya mendapati komplotan itu di perbatasan kampung dan kota; di samping kiri kanannya terdapat sawah yang membenteng. Dia menghadang laju mobil yang digunakan oleh komplotan itu tanpa ragu dan seketika, ada lima mobil, semua berwarna hitam dan ada lambang kelelawar di depan dan belakang kaca mobil itu.

Lima mobil itu berhenti, satu mobil paling depat berhenti di tengah, dan sisanya menepi, kemudian semua komplotan itu keluar dari dalam mobil. Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam dengan sal merah di lengan kirinya, terikat, hanya ada satu orang yang tidak mengenakan sal di lengannya, dan orang itu keluar dari mobil paling belakang. Jumlah semuanya ada empat puluh orang.

Dari mobil paling depan keluar seorang lelaki dengan tubuh kekar, tampilannya lebih rapih dari antara semuanya. Dia berjalan dengan penuh kebernaian dan menantang, di belakangnya dua orang memegang Nila Ningrum yang tangannya diikat dan mulutnya ditutup dengan kain. Dia bertepuk tangan meledek, "Akhirnya kau muncul juga Sentaya Pranama!"

Sentaya nyalang melihat istrinya di sandera. Sedang laki-laki kekar dan rapih itu masih mengoceh, "Berikan Pedang Taraka kepadaku atau kulenyapkan istrimu!"

"Takkan pernah kuberikan!"

Wusss...

Seperti lesatan ilalang yang diajarkan pada Batara dia melesat dan berada tepat di hadapan wajah lelaki kekar dan rapih itu.

Buk!!!

Seketika lalaki kekar dan rapih itu muntah darah dan tersungkur di atas aspal. Semua komplotan terhentak melihat kecepatan Sentaya dan terpaku. Sebelum benar-benar ambruk di atas jalan, lelaki kekar dan rapih itu memberikan komando, "Serang...!"

Mereka semua berteriak, dan wusss... Sentaya berada di barisan paling belakang mobil, tepat di hadapan lelaki yang tak mengenakan sal, "Bodoh, kau meninggalkan sal merahmu." Bisik Sentaya pada lelaki itu: Buk! Lelaki itu pun ambruk.

Semua komplotan di penuhi keraguan untuk menyerang. Namun ternyata lelaki kekar dan rapih itu masih kuat berdiri dan kembali memberikan itruksi, "Serang, Bodoh...!"

Dari samping kanan – samping deretan mobil yang menepi, Batara meloncat dan melayangkan tendangan pada dua lelaki yang memegangi ibunya.

Buk! Buk!

Dan dua lelaki itu terpental jauh. Batara langsung menyelamatkan ibunya, dan membawanya ke dekat Sofia, "Tolong jaga ibuku, Sofia."

"Berengsek! Bodoh kaliah semua. Serang...!" Teriak lelaki kekar dan rapih, kesal.

Batara dan Sentaya di rubung dengan terpisah. Dan, Aaaa...! Salah satu dari komplotan itu berteriak mengomandoi untuk menyerang.

Batara dan Sentaya bertarung habis-habisan. Sentaya melihat Batara mulai kewalahan karena disereng dari kiri dan kanan. Dia melihat Batara berdarah dari sudut mulutnya, kemudian dia mendekat Batara dan melindunginya.

"Dari mana kau tahu bapak di sini?" tanya Sentaya saling memunggungi dan memasang kuda-kuda siap. Mata mereka berdua tajam melihat ke segala arah, mereka berdua menutupi titik butanya masing-masing.

"Entahlah, seakan ada yang memeberiatahu," jawab Batara.

"Heh..." Sentaya mengerti, "Lebih baik kau bawa ibumu pergi dari sini biar mereka bapak yang urus!"

"Tidak!" Batara malah berterik: "Aaa....!" dan menyerang komplotan kelelawar itu. satu dua tiga, semua serangannya telak di mereka.

"Ternyata kau bertambah kuat setelah bertemu dengan kakekmu tadi malam, Batara." Isi hati Sentaya. Aaa....! Teriak sentaya ikut menyerang dengan kecepatannya.

Di lain kondisi, Sofia mengajak Nila Ningrum menjauh dari pertarungan itu. Mereka berlindung di bawah pohon muda yang tengah belajar rindang di tepian jalan, memandang penuh kekhawatiran dan ketakutan. Tubuh mereka berdua gemetar dan hati mereka berdua menjerit ke atas langit – pada Tuhan, memohon perlindungan: "Ya Allah"

Lelaki kekar dan rapih itu melihat mereka berdua, dia menatap tajam pada Sofia dan Nila Ningrum. Dia berjalan gontai mendekati mereka dengan tangan sedikit mencengkram di perutnya, menahan rasa sakit. Mulutnya masih dilumuri darah, sela-sela giginya merah diselputi darah.

Batara lagi-lagi kewalahan; perutnya terkena tendangan lalu disusul dengan pukulan bertubi-tubi ke arah wajahnya. Salah seorang terbang dan menendang dengan penuh nafsunya sampai mebuat Batara terpental ke sawah.

Senataya tidak bisa menolong Batara karena dia pun mulai kewalahan.

Keadaan Sofia dan Nila Ningrum mulai tidak aman, mereka mulai ketakutan karena lelaki kekar dan rapih itu semakin dekat. Ketika sangat dekat, Nila Ningrum menatap lelaki itu penuh dengan ketakutan, sedangkan Sofia menunduk dan gemetar. Di hatinya ada satu nama, dan dengan sangat keras dia meniarakan nama itu – menjerit: "Bataraaa...!!!"

Aaarrrggghhhhh....!!!

Batara langsung berteriak mengerang kesakitan, dia menutup kedua matanya dengan kedua telapak tangannya. Selang teriakan panjang itu selesai kedua telapak tangan yang menutupi matanya itu dia buka, dan untuk pertama kalinya matanya dibalut oleh api yang menyala-nyala.

Batara langsung meloncat jauh ke tengah jalan. Sret, Batara melemparkan sebilah daun padi pada lelaki kekar dan rapih yang sedang berjalan mendekati Sofia dan Ibunya.

"A'" seperti tersedak.

Lelaki kekar dan rapih itu terjatuh dan ambruk di atas aspal. Bilah daun padi itu menancab di lehernya.

Sentaya dan musuhnya melihat mata Batara menyala, dan seketika musuh-musuh itu mundur karena ketakutan, (Komplotan kelelawar itu tahu kalau mata itu bisa membunuh diri mereka) mereka langsung masuk ke dalam mobil, dan empat orang menggontong tubuh lelaki kekar dan rapih itu masuk ke dalam mobil. Mereka langsung menancab gas, laju mulanya seakan tergopoh-gopoh.

Kendati komplotan itu pergi, Batara langsung terjatuh dan api di matanya kembali lenyap. Sentaya menangkap tubuh Batara. Sofia dan Nila Ningrum langsung berlari menghampiri Batara dan Sentaya.

"Batara kenapa?" Ibunya langsung memeluk Batara, merintih.

Sofia gemetar memeluk tangannya sendiri dan menyebut-nyebut nama Batara dengan lirihnya, "Batara... Batara... Batara..."

"Dia harus segera dibawa pulang, tubuhnya penuh luka, harus segara diobati."

"Aku ikut..:" pinta Sofia.

Sentaya melihat wajah Sofia seakan mengenalinya, dan seakan sangat, sangat tak asing dengan mata dan bibir Sofia.