Alex dan Tantuni sampai di Bumbulang, di sebuah pesantren bernama Pesantren Warudoyong.
Pesanrtren itu diterangi dengan petromak-petromak dengan nyala kuning di setiap jalannya.
"Apa ini sebuah pesantren?"
"Ya" jawab Tantuni.
"Tetapi terasa sepi, seakan tidak ada santri."
"Seperti yang kau rasakan."
"Apa di sini juga belum ada listrik?"
"Ternyata kau banyak mulut juga."
"Dasar kau! Aku hanya bertanya hal yang wajar. Lagi pula ini sudah tahun modern, kenapa masih belum ada lampu?" wajahnya mengkerut.
"Tidak semua mesti kau tanyakan. Kau lihat saja, dan tunggu jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di dalam hatimu itu." Tantuni terus berjalan.
"Kurang ajar!" Alex berada dua langkah di belakang Tantuni, dengan rasa penasaran yang masih menyelimutinya atas keadaan pesantren itu.
Sampai akhirnya mereka tidak lagi mengobrol ketika berjalan melewati petromak-petromak kuning itu. Ketika sampai di sebuah kobong yang diterangi dengan lampu bohlam, "Istirahatlah..." ucap Tantuni pada Alex. "Ternyata ada listrik!" Gerutu Alex dalam hatinya. Alex yang kelelahan dan dengan tubuh yang masih penuh oleh luka, duduk di atas sebuah tilam yang terbuat dari kain. Di bawah kain itu dilapisi dengan jerami-jerami kering. "Apa ini?" Tanya Alex.
"Anggap saja itu sebuah kasur." Mengerutkan dahi.
"Dan ini?"
"Ya, itu bantal yang terbuat dari bahan yang sama."
"Apa seperti ini kehidupan di sebuah pesantren?" dengan nada protes.
"Payah! Sudah jangan banyak tanya. Istirahat saja." Tegas Tantuni.
"Apa kau bilang?! Payah?"
"Ya, tak pernah aku temukan lelaki yang masuk ke dalam pesantren ini bertanya tentang hal sepele seperti itu. Padahal kau hanya tinggal berbaring saja, memejamkan mata, dan anggaplah itu adalah sebuah kasur yang sangat lembut dan empuk." Ungkap Tantuni sambil berdiri menatap ke sebuah cermin yang berada di samping sebuah meja belajar.
"Hmhp, sial!" Alex melihat ke sekeliling ruangan tersebut. Lalu dia tertarik dengan meja belajar yang ada di hadapan Tantuni.
"Tapi kau memliliki meja yang unik juga ternyata." Rasa penasarannya tak kunjung padam. Memang banyak benda-benda yang belum Alex temui di pesantren itu.
"Sekadar meja, tempat menulis," jawab Tantuni.
"Menulis?"
"Ya, menulis karangan dan segala tulisan lainnya."
"Emm ya ya. Tapi meja ini seakan memiliki aura tersendiri. Dia seakan menatapku dengan ukiran-ukirannya dan mengajakku berbicara."
"Terlalu berlebihan," sanggah Tantuni.
Alex kemudian berdiri, dan dia melihat sebuah buku yang terpampang di atas meja belajar itu. Dia mengambilnya, dan membaca cover buku itu dengan suara yang seakan berbisik, "Pembantaian – Tan-tu-ni." Kemudian dia bertanya, "Kenapa gambar sampul buku ini seorang yang terkena tebasan pedang di punggungnya, dan dia terlihat sedang memangku seseorang yang telah mati. Terus banyak pula orang-orang yang tergelatak di hadapannya? Seperti telah terjadi peperangan." sembari menunduk memperhatikan sampul buku itu.
Tantuni membelakangi Alex, mengahadap ke sebuah lemari kecil yang terbuat dari kayu.
Barang Alex mengangkat kepalanya dan melihat Tantuni yang sedang melepaskan pakaiannya. Dia begitu terkejut ketika dia melihat pungung Tantuni terdapat sebuah bekas tebasan menyilang dan sangat panjang, yang telah menghitam. Seketika dia terpaku di atas lantai yang terbuat dari kayu itu, dalam pikirannya: sebenarnya apa yang sudah terjadi? Siapa lelaki ini? Dia masih bisa hidup dengan tebasan sepanjang sedalam itu? Mulutnya seakan kaku, tak mampu berbicara, dan tak ada lagi hasrat untuk bertanya apalagi banyak tanya. Dia benar-benar seakan menjadi seorang yang tunawicara.
Tantuni kembali memakai pakaian. Pakaian koko berwarna putih dan samping sarung berwarna hitam. Kepalanya ditutup dengan songko hitam. Kemudian berkata, "Aku mau salat. Kau istirahatlah!" dan berjalan keluar seraya menutup pintu. Suara pintu itu terdengar telah tua, berderat seperti batuk.
Alex masih terpaku melihat Tantuni lenyap dari hadapannya. Dia kembali melihat buku yang penuh dengan penderitaan itu. Dia mundur, satu dua langkah, kemudian duduk di depan meja belajar itu. Kemudian dia membuka buku itu, dengan cahaya temaram dia masuk ke dalam buku itu.
Ada sebuah kalimat sambutan di dalam buku itu, berbunyi "Aku akan mencarimu." Di dalam kepalanya dia menyimpulkan, kalau kalimat itu adalah sebuah kalimat dendam si tokoh utama, dengan kata lain: dendam si penulis itu sendiri. Ketika membaca kalimat itu, iba-tiba dari luar kobong terdengar seseorang yang datang. Tetapi bukan derap langkah, suara itu terdengar menggeprak, lalu diam. Sontak Alex kaget mendengar suara itu. Hatinya tiba-tiba diselimuti rasa ketakutan, dan pikirannya terbayang gambar pada sampul buku itu. Dia terdiam di lembar satu kalimat sambutan itu.
Timbul rasa penasaran di dalam dirinya, karena suara tanda seseorang yang datang itu seakan hilang. Dia minyimpan buku itu di atas meja belajar dan dia beranjak dari duduknya. Dia melangkah mendekati pintu, lalu dengan lirihnya pintu itu ia buka. Ketika matanya menembus keluar, dia melihat burung hantu dengan matanya yang menyorot tajam, seperti memperingatkan. Dia kaget, namun dia langsung sadar kalau itu burung hantu milik Tantuni, "Sedayu!" ucapnya, kembali menutup pintu.
Dia kembali duduk di hadapan meja belajar itu, dan kembali memperhatikan buku yang penuh kesedihan dan dendam itu. Dia hanya memperhatikan gambar itu, sesekali membolik-balik buku itu tanpa membukanya. Dia melakukan itu sampai Tantuni kembali menemuinya.
"Kau belum istirahat? malam semakin larut."
"Belum, aku ingin bertanya."
"Sejak tadi kau selalu bertanya."
"Apa buku ini ada kaitannya dengan keadaan pesantren ini sekarang?"
"Emmm..." Tantuni bergumam seraya menyimpan songkonya di samping lemari kayunya, "Itu hanya sekadar karangan saja. Tidak lebih." Dia membuka baju kokonya kemudian menggantungkannya di samping songko hitamnya, dan menggantinya dengan kaos berwarna hitam. Lalu dia berjalan mendekati kasur, terdengar decit demi decit kayu yang diinjakinya. Kemudian dia membaringkan badannya; menatap langit-langit yang terbuat dari bilik dan lampu kuning yang temaram itu.
"Aku merasakannya... ya, aku merasakannya." Masih menatap sampul buku itu.
"Sudah, istirahatlah! Besok pagi aku akan mengajakmu ke suatu tempat." Pinta Tantuni agar Alex mengabaikan buku miliknya.
Alek membalikan badannya, melihat pada Tantuni yang sedang berbaring. Namun, Tantuni sudah memosisikan tubuhnya miring ke sebelah kanan dan matanya terpejam.
Dengan tidak puas dia mengeluhkan sikap Tantuni itu, dan dia kembali menatap buku itu. Penuh dengan penasaran, tetapi ada rasa takut untuk membacanya, "Cih, untuk apa aku peduli kepadanya?!" Alex kesal. "Tapi buku ini?!" dia berbicara sendiri, "mengajakku bicara"
Tantuni, dari balik terpejamnya ia mendengarkan perkataan Alex itu.
Alex menarik napas panjang, dan mencoba untuk membuang semua penasarannya. "Huuu" Akhirnya Alex pun menyerah dan dia menyimpan buku itu kembali, lalu berbaring di samping Tantunti dengan berbalas pungguung; menghadap ke arah yang berbeda.