Chereads / Pedang Taraka / Chapter 11 - Terbangun

Chapter 11 - Terbangun

Batara terbangun dari tidurnya.

Ayah dan ibunya sudah ada di lawang pintu dengan kekhawatiran. Ibunya memegang dadanya sendiri, meredam debar jantung yang ketakutan. Mereka berdua langsung beralari mendekati Batara, "Ada apa, Nak?" Tanya ibunya sembari memegangi tubuhnya.

Batara terengah-engah dan tersengal-sengal, matanya ditutup oleh kedua telapak tangannya. Dengus napasnya seperti kuda yang telah dipacu kencang dan jauh.

Dia mencoba meredakan dirinya itu dan membuka matanya dengan perlahan. Lalu memegang tangan ibunya dan berkata, "Tidak apa, Bu, mungkin karena mimpi buruk saja."

Mendengar jawaban itu Nila Ningrum langsung memeluknya.

Sentaya yang berdiri di samping Nila Ningrum berkata pelan, "Ternyata sudah waktunya."

Menjelang Batara berpisah dengan ayahnya yang akan berangkat ke pasar dan dirinya yang akan berangkat sekolah, Batara berkata: "Ternyata kakek memang tampan, Pak." Sembari tersenyum.

Sentaya menatapnya sejenak kemudian tersenyum dan mengangguk.

Mereka pun berpisah di persimpangan dengan tujuannya masing-masing.

***

Sofia menunggu Batara di koridor gedung A, di depan kelas Batara. Sofia duduk di kursi memanjang yang menempel di dinding kelas Batara. Di pangkuannya terdapat beberapa buku pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Ya, Sofia Anggini adalah siswa kelas 12 MIPA. Dengan jurusan studi yang dia ambil itu dia bercita-cita ingin menjadi seorang dokter, membantu orang kecil dalam kesehatan; menyelamatkan banyak nyawa, dan dia bertekad akan mendalami bidang forensik. Dia seorang gadis yang cantik dan pintar, terlebih caranya bersikap menyempurnakan dua kata sifat tadi sampai siapapun takzim kepadanya. Dia sosok yang rendah hati. Dia juga memiliki hobi membaca karya fiksi, seperti yang sedang ia lakukan barang menunggu Batara di koridor itu. Di tangannya terbuka sebuah buku rampai cerita pendek berjudul Tentang Manusia gubahan Sentara. Kumpulan cerpen kritikan sosial yang diangkat dari kasus-kasus kecil yang menjamur di masyarakat. Dia tidak begitu tertarik dengan cerita-cerita senja yang digandrungi oleh remaja seuisanya, roman misalnya, dia lebih asyik dengan buku yang memperhatikan keadaan; walapun berat, tetapi baginya itu hanya perihal kebiasaan saja. Ya, meskipun dia terlahir dari keluarga berada, bahkan bisa dikatakan elit, tetapi sosial yang dia miliki terhadap orang kecil begitu tinggi. Di lainnya dia pun senang berdiskusi, dan orang yang paling dia senangi untuk diajak diskusi adalah Batara. Karena dia mengenal Batara adalah seorang yang pintar, rajin, sederhana, dan ketika Batara berbicara, baginya, retorika yang digunakan seperti kalimat-kalimat yang berbaris di dalam sebuah buku sastra, seperti buku yang ia sedang dalami isinya itu. Dia sangat suka dengan buku itu. Mungkin bukan hanya karena isinya saja, tetapi buku itu juga adalah hadiah dari Batara.

Ketika Sofia tenggelam dalam salah satu cerita dalam buku itu, dia tidak sadar kalau kelas Batara telah selesai, dan Batara tengah duduk di samping kanannya, tanpa sedikit pun mengusiknya. Batara hanya sesekali tersenyum memandanginya. Begitulah Sofia kalau sudah tenggelam dalam buku, hingar bingar dan sorak sorai para siswa-siswi yang keluar dari dalam kelas tak membuatnya hilang fokus. Tak peduli ada derap langkah dan obrolan yang melaluinya dengan berlari-lari atau berteriak-teriak, dia tetap tenggelam dan menikmati.

Tiba-tiba angin dari ujung lorong datang menerpa rambutnya yang terurai, sehingga menghalangi pandangannya ke dalam buku. Lalu entah apa yang ada di dalam kepala Batara, dengan sendirinya tangan kanan Batara menyapu rambut yang merumbai di wajah Sofia itu dengan perlahan. Ketika rambutnya dibelai disimpan di sela telinga Sofia, Sofia tiba-tiba sadar kalau ada yang menyentuh rambutnya, dan dia menoleh ke arah Batara yang tangannya masih menyanggah rambutnya.

Merasa tertangkap basah, Batara terpaku menatap wajah Sofia yang cemerlang itu, pun demikian dengan Sofia yang kaget karena wajah Batara begitu dekat dengan wajahnya. Mereka saling menatap; bola matanya menangkap jelas wajah satu sama lain. Seakan detik terhenti. Dengus napas mereka saling berkelindan satu sama lain.

Angin itu kembali menerpa tubuh mereka, dan seketika mereka mengibaskan pandangannya. Mereka tersipu malu, gagu, terpaku, diam dan bisu.

Tak ingin terlarut, di waktu bersamaan mereka memanggil nama satu sama lain, membuat mereka semakin lirih dan rikuh dengan keadaan yang tak biasanya itu. Mereka kembali diam dan menunduk.

"Mari pulang." Ungkap Batara memecah hening.

Wajah Sofia memerah, dan mengangguk.

Mereka berdua pulang bersama. Di sepanjang perjalanan Sofia memberikan pendapatnya tentang cerita yang dibacanya, "Aku baru selesai membaca Perawan Tua, cerita ini bisa membuat melek perempuan-perempuan yang terlambat menikah. Ya kita tahu, masyarakat selalu beranggapan kalau ideal perempuan menikah itu di usia 23 tahun, padahal kehendak menikah itu tidak ada di tangan si anak atau si orang tua. Dan, jika buku ini bisa sampai kepada masyarakat luas, bisa menjadi sebuah obat atas demam masyrakat, dan penyadar atas orang yang gemar menyindir."

Batara bergumam menanggapi deduksi yang Sofia keluarkan.

"Apa kamu tidak mau membacanya?" tanya Sofia.melihat ke wajah Batara yang lebih tinggi darinya.

"Aku sudah pernah membacanya, itulah kenapa aku berikan buku itu kepadamu."

Sofia mengangguk-ngangguk, "Emmm... nama ini.." sambil menilik dan mengusap nama pengarang di buku yang dipeganginya, "aku akan tunggu karya selanjutnya, " kemudian mengeja nama si Pengarang, "SEN TA RA."

"Oh iya, bagaimana rencanamu masuk kedokteran?"

"Aku hanya tinggal menunggu pengumuman, katanya lusa."

"Mudah-mudahan berjalan lanacar."

"Amin. Lagi pula di sekolah masih ada beberapa kegiatan yang belum selesai, selebihnya aku tidak ingin tergesa-gesa untuk mengakhiri masa SMA ini." Sofia menunduk, terdiam sejenak, dan melanjutkan "Entahlah... apa setelah lulus sekolah nanti aku masih bisa bertemu denganmu." Sofia menghentikan langkahnya.

Batara ikut terhenti dan berbicara, "Jangan terlalu dipikirkan, kamu fokus saja pada mimpimu..."

"Kamu memang tidak merasa sedih kalau kita berpisah?" Sofia memungkas perkataan Batara.

Batara menghela napas dan terhening.

Kemudian alih-alih menjawab, Batara malah menarik tangan Sofia sampai ke tepian jalan. Batara memberhentikan sebuah angkutan kota dengan melambai-lambaikan tangannya. Lalu mengajak Sofia naik.

Tanpa bertanya Sofia mengikuti ajakan Batara.

Ketika angkutan umum itu melewati alun-alun kota Kertasari di mana mereka biasa berpisah, Batara tidak meminta berhenti. Sofia bertanya, "Kita mau ke mana?"

"Nanti kamu akan tahu."

Sofia sangat penasaran.

Ketika sampai di jalan pedesaan – di kanan kiri terhampar sawah luas nan hijau, Batara barulah memberhentikan ankutan kota itu. merek turun, dan sekali lagi Sofia bertanya, "Kita mau ke mana, Batara?"

Batara tidak menjawab, dia kembali menarik tangan Sofia mengikuti jalan petak-petak sawah yang padinya baru di tanam itu.

Ramabut Sofia melambai-lambai tertiup angin. Sofia merasa bebas dan bungah. Mereka berdua berlari-lari tertawa riang.

Sofia yang tidak biasa berjalan di sawah, dia terpeleset. Namun, Batara dengan sigap langsung menangkap tangannya. Seperti dalam seinetron-sinetron, mereka berdua saling pandang dan saling senyum.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Tidak..." Sofia tersipu, "Terima kasih."

Batara membangunkan Sofia dan kembali mengajaknya berlari.

Sampai di ujung hamparan sawah, mereka masuk ke dalam hutan. Masih berlari dan berlari.

"Kamu mau bawa aku ke mana, Batara?" Sofia kembali bertanya.

"Sudah... ikut saja."

Sofia kecapean, dia melepaskan pegangan Batara. Dia membungkuk dan terengah-engah, kedua tangannya menopang tubuhnya di lututnya "Aku cape..." suaranya parau. Keringat membasahai wajahnya.

Batara langsung jongkok dan menawarkan punggungnya, "Naik...!"

Sofia menatap sosok Batara dari belakang. Dia teringat masa ia digendong oleh Batara ketika pertama kali masuk sekolah di hari terakhir masa ospek. Ketika kakinya terluka karena dijaili oleh kakak kelasnya.

Sofia menelungkup punggung Batara dan Batara menggendongnya. Sofia merasakan kehangatan dan kenyamanan. Di balik langkahnya Batara menanjaki hutan menuju puncak. Sopfia tersenyum bahagia.

Mereka pun sampai di puncak hutan itu. Batara menurunkan Sofia dari punggungnya, Sofia melihat kesekitaran, dia melihat puncak hutan itu seperti sering dikunjungi manusia; tidak seperti keadaan hutan yanga dilaluinya tadi. Di puncak itu terlihat rapih dan seperti tempat latihan bela diri: ada lima pohon pinus yang dipintal oleh tali tambang besar berwarna coklat, ada sasaran tembak, dan ada juga sebuah dangau yang menghadap ke alun-alun kota Kertasari yang di sampingnya terdapat dua pohon kelapa.

"Di sinilah biasa aku menghabiskan waktu bersama bapakku, bercerita dan berdiskusi, tapi aku lebih sering mendengarkan ayahku bercerita." Ungkap Batara sembari menatap ke alun-alun kota, "dan itu sangat mengasyikan... mungkin sebentar lagi ayahku akan datang ke sini."

"Lantas alat-alat itu untuk apa?"

"Ohhh itu..."

Sret.

Sangat cepat.

Batara melesatkan sebilah daun ilalang dan tertancab di sasaran tembak, "Bapakku melatih silat di sini."

Sofia membelalak, matanya tak bisa menangkap kecepatan sebilah daun ilalang itu. Dia hanya bisa melihat tiba-tiba dau itu tertancab di sasaran tembak, sampai membuat dirinya tidak dapat berbicara.

"Apakah kamu haus, Sofia?"

Sofia hanya mengangguk.

Batara mengajakanya ke Dangau, "Kau tunggulah di sini, aku mau memanjat kelapa."

Sofia kembali mengangguk.

Batara melepas baju sekolahnya, kemudiian naik ke atas pohon kelapa.

(Padahal Batara bisa melesatkan lagi sebilah daun ilalang untuk menjatuhkan buah kelap itu, tetapi dia ingat ayahanya berkata "Jangan dijadikan sebuah pertunjukan untuk mendapat pujian.")

Sofia milihatnya dari bawah bagaimana lelaki yang ia senangi memanjat pohon kelapa, seperti tanpa kesusahan, dan tak lama dua buah kelapa diturunkan oleh Batara. Batara pun turun dan mengambil dua buah kelapa itu, kemudian mengambil sebuah golok dari dalam dangau itu, lalu mengupas kedua putik buah kelapa itu, dan Batara menyuguhkan satu kelapa kepada Sofia. Mereka pun duduk menghadap pemandangan alun-alun kota seraya menikmati segarnya kelapa hijau muda.

"Aku terlahir dari keluarga sederhana, keluarga pedagang yang mulanya mengandalkan bahan yang hanya didapat dari kebun saja... rumahku juga dulu masih warisan dari kakek dan nenekku."

Sofia bergumam.

"Sebuah rumah yang terbuat dari bilik dan papan, dan juga genting yang sudah berwarna hitam tua."

"Rumah panggung?"

"Ya, sempat aku bertanya pada bapakku kenapa ada rumah yang dibangun seperti panggung, dengan ditopang oleh batu-batu yang dinamai tatapakan. Dan bapakku menjawab: agar tidak ada ular yang masuk ke dalam rumah. Aku mengerti, karena rumahku memang dekat dengan kebun dan hutan. Alasan itu masuk akal. Di lainnya, karena bahan rumah yang terbuat dari bata dan semen belum mampu kami beli."

Sofia membayangakan sembari menatap ke arah alun-alun kota.

Batara masih melanjutkan, "Semakin hari semakin dagangan bapakku berkembang dan ibuku ternyata selalu menabung. Setelah aku menginjak sekolah menangah pertama barulah rumahku direnovasi, bisa dibilang diganti. Dengan bata, seperti orang-orang-orang yang berpunya. Tidak mewah. Sederhana tetapi bagiku cantik."

"Emmm... sejak tadi aku mendengar kamu menyebut ayahmu dengan sebutan bapak. Kenapa kamu tidak memanggilnya ayah."

"Hahaha... kau harus belajar menyimak, Sofia." Sembari menyolek hidung Sofia.

"Ih!" Sofia memalingkan wajahnya, "kebiasaan."

"Seperti yang sudah aku katakan kalau aku lahir dari keluarga sederhana, orang kampung. Terasa kelu kalau lidahku menggunakan sebutan ayah. Lagi pula sejak kecil aku diajarkan dengan sebutan bapak, bukan ayah.

"Oh iya." Sofia kembali melunak dan menatap lagi ke depan. Batara kembali melanjutkan ceritanya, "Dangau ini dibangun ketika usiaku 10 tahun oleh ayahku. Sebelumnya aku selelu diajak ke sebuah dangau yang ada di sawah yang tadi kita lalui."

Sofia mengannguk, "Di sini enak, adem, anginnya menyegarkan."

"Ya, benar, memang sengaja dibuat menghadap ke arah timur, katanya angin dari sebalah sana legih menyegarkan, belum lagi memang dibuat untuk menatap pemandangan alam yang sekaligus pemandangan alun-alun kota Kertasari."

"Ya, aku sudah memperhatikan pemandangan sawah-sawah, hutan, beberapa bukit, dan alun-alun Kertasari itu. Biasanya aku ada di alun-alun kota itu, dan kadang kala aku menatap ke puncak hutan ini. Sekarang kebalikannya, begitu kecilnya aku di sana berarti sampai aku tidak bisa melihat lalu lalang orang yang biasanya ramai ada di alun-alun kota itu. Begitu jauhnya. Aku pun dapat membayangkan kalau aku jauh darimu..."

"Orang itu akan selalu ada - terlihat meskipun jauh..."

"Maksudmu?"

Batara terdiam sejenak, "Kau akan selalu ada – terlihat meskipun jauh."

Sofia terdiam, seakan terentak. Dia tersipu. Dia pun menoleh pada Batara.

"Aku akan selalu ada. Kamu fokus saja pada kuliahmu, dan capai mimpimu. Nanti akan aku berikan sesuatu agar kau mudah melihat diriku walau aku jauh."

"Apa?"

"Ada lah... rahasia."

Batara tersenyum, mereka saling menatap satu sama lain. Batara mengangkat kelapanya dan mengajak Sofia bersulang dan minum bersama.

Setelah Sofia menurunkan kembali buah kelapanya, tiba-tiba Batara berteriak: Aaa!!! Buah kelapanya jatuh menggelinding, dan air kelapa yang ada dimulutnya muncrat ke wajah Sofia. Batara masih berteriak kedua tangannya menutup kedua matanya.

Sofia yang tersembur dan melihat Batara berteriak kesakitan kaget, dia panik dan memegang tubuh Batara, "Kau kenapa, Batara?"

Batara terjatuh ke tanah, keuda lututnnya bertumpu di atas tanah sedang kedua tangannya masih menutup matanya yang kesakitan.

Sofia menyusul Batara bertumpukan lutut di atas tanah dan memegang tubuh Batara. Kembali Sofia bertanya dengan nada tinggi dan panik, "Kau kenapa, Batara?!"

Batara tidak menjawab, dia malah terus-terusan berteriak kesakitan dan menutup matanya.

Sofia kebingungan dan semakin panik, matanya berlinang melihat Batara yang berteriak mengerang kesakitan. Dengan segela keterbatasan dan ketidaktahuannya Sofia memeluk tubuh Batara, dan meneteskan air mata. "Kau kenapa, Batara?"

Batara tetap mengerang kesakitan.

Dan, Sofia tetap memeluknya erat, semakin erat.

Enatahlah, mungkin ikatan rasa, tiba-tiba erangan Batara mereda dan Batara terkulai lemas di pelukan Sofia. Sofia tetap memeluknya dengan erat dan hangat. Tak lama Batara pun kembali sadar.

"Batara, Batara! Batara kau tidak apa-apa?"

Batara mengangkat kepalanaya dan langsung berkata, "Kita harus pulang sekarang!" dan seketika berdiri dan menarik tangan Sofia.