Cengkraman mendarat di pundaknya, tak ada lagi geraman yang kelaparan. Dia benar-benar pasrah tubuhnya dimangsa.
"Tidak terasa apa-apa..." Hatinya kembali berbisik. Tetapi di pundaknya kanannya terasa berat. Alex memberanikan diri membuka matanya dengan lirih, dan dia melihat dua kaki dengan kuku-kuku tajam berdiri di pundak kanannya, "Sedayu!" Alex kaget. Kenapa kau ada di sini? Tanyanya keheranan.
"Sudah kubilang kau belum siap. Kau masiih diselimuti rasa ketakutan" Suara Tantuni terdengar olehnya dari belakang, dan saat suara itu rampung Sedayu langsung berpindah pundak pada Tantuni
Alex tersinggung mendengar ucapannya Tantuni. Dia naik pitam, dan menjambret kerah baju Tantuni, "Lo, tidak tahu apa-apa! Gue harus balas mereka semua, karena asal lo tahu, mereka sudah membunuh sahabat gue sendiri!" Dengan nada yang kesal. Mata mereka saling menatap satu sama lain. Alex dengan wajah merah padam dan mata yang melotot, sedangkan Tantuni dengan wajah yang tenang, dan mata yang tenang pula. Mereka terdiam dan masih menatap satu sama lain. Alex seakan melihat dosanya sendiri dalam sorot mata Tantuni, dia melepaskan jambretannya dengan perlahan, lalu mengibaskan pandangannya dengan penuh kekecewaan pada dirinya sendiri. Dia menunduk, dan terbayang semua yang telah terjadi sebelumnya. Ketidakbergunaannya.
Seakan inigin mengalihkan kesedihan Alex, Tantuni berkata: "Butuh waktu dua tiga hari untuk keluar dari hutan ini. Itu pun kalau tidak bertemu dengan hewan buas."
Mendengar kalimat konyol itu, Alex menyeka kesedihannya "Jangan membuat lelucon."
"Tidak ada yang membuat lelucon. Waktu itu paling cepat kalau jalan yang dilalui benar."
"Tadi kau keluar dari dalam hutan ini membawakan pakaian sayur baru ini untukku. Dan, itu kurang dari setengah hari"
Tantuni tersenyum simpul, "Ya... tergantung..."
Alex menunggu kalimat selanjutnya dari mulut Tantuni, yang dirasanya menggantung membuatnya semakin jengkel.
"Hahaha... jangan terlalu serius. Hayu ikut." Tantuni berjalan melewati Alex.
Alex hanya terdiam dan menatap Tantuni yang melewatinya, banyak tanda tanya, tetapi lebih banyak tanda konyolnya. Anatara percaya dan tidak, sekarang dia harus mengikuti orang konyol itu.
Alex mengumpulkan semua pertanyaan-pertanyaan atas Tantuni di dalam kepalanya. Dia menatap punggung Tantuni yang perlahan menjauh darinya, di pundaknya setia burung hantu menemaninya. Menjengkelkan, konyol, tetapi nyaman, seperti seorang kakak yang gemar menjaili adiknya tetapi tetap melindungi adiknya dengan sepenuh hati. Dia mencabut kakinya yang terpaku dan meringankan kakinya untuk mengikuti Tantuni dari belakang. Meskipun sedikit menjaga jarak.
"Awas harimau di belakang!" Tantuni menakut-nakuti Alex.
Seketika Alex mempercepat langkahnya.
"Heh!" Tantuni kembali tersenyum simpul. Kemudian mengelus kepala Sedayu yang berada di pundaknya. Sedayu pun terbang. Alex melihat Sedayu terbang mengepakan sayapnya yang lebar tanpa suara dari belakang Tantuni.
Alex melihat setiap pohon yang berjejer di samping kiri kanannya. Setiap sepuluh pohon dia melihat ada robekan kain merah dan hitam, sama persis dengan kain yang ada di seruas bambu milik Tantuni.
Seakan tahu Tantuni berkata, "Ini adalah penanda jalan ayang aku buat saat memasuki hutan ini."
"Kau baru masuk ke dalam hutan ini?"
"Ya, Sedayu yang menunjukan jalan ketika kau terdampar di tepian sungai."
"Dari mana Sedayu tahu?"
"Dia melihatmu ketika kamu disiksa di tepi jurang.'
Matahari telah menunjukan di akhir waktu asar. Mereka berdua baru sampai di jalan setapak yang sering dilalui oleh warga yang berangkat ke huma atau ke kebun. Mereka mengikuti jalan setapak itu sampai tiba di sautu kampung. Mereka berdua melihat anak-anak kecil sedang bermain di pipir rumah, suara selawat beralun di atas menara. Beberapa warga sedang mengobrol di pelataran rumah, Alex dan Tantuni takzim melewati mereka.
Ketika mereka berdua berlalu melewati warga, sebagian sorot warga begitu heran melihat tampilan Alex dan Tantuni. Bagaimana tidak! Jelas tidak nyambung. Tantuni menggunakan pakaian seperti seorang pendaki gunung, sedangkan Alex menggunakan pakaian sayur yang hendak pergi ke pasar. Mau kemana mereka berdua? Mungkin pikir warga.
Alex yang menyadari itu, setelah ajuh dari warga yang sedang menikmati sore hari, dia protes kepada Tantuni, "Kenapa kau belikan pakaian sayur seperti ini?! Orang-orang mengira kita akan pergi mengisi pentas drama." Sambil memperlihatkan baju yang dikenakannya.
Tantuni tertawa enak, "Maaf..." Tantuni menghela napas, "Aku hanya seorang pengarang baru, penghasilanku sedikit. Aku hanya bisa membelikan pakaian itu untukmu."
Alex lagi-lagi terdiam. Merasa tidak tahu malu. Sudah banyak ditolong tetapi masih protes.
Mereka masih melanjutkan perjalanan sampai keluar dari perkampungan itu.
"Sebentar lagi kita akan menemui jalan raya," ucap Tantuni, "Kau bisa ikut menumpang pada mobil pembawa sayuran yang menuju kota."
Alex merenung mendengar kalimat itu. Dia berpikir percuma berangkat ke kota, hanya akan membunuh diri sendiri.
Tibalah mereka berdua di tepi jalan, lalu-lalang kendaraan bisa terhitung di setiap menitnya. Mereka berdua berdiri di tepi jalan, mellihat arah satu dan arah satunya lagi. Tantuni menunggu mobil tumpangan untuk Alex, memastikan dia bisa menumpang sampai ke kota.
Alex masih berpikir. Pikirannya itu melahirkan tanya pada Tantuni, "Kau sendiri mau ke mana?"
"Aku?"
Alex mengangguk, menungggu jawaban Tantuni.
"Aku akan kembali ke Bungbulang. Di sana aku tinggal."
Alex baru pertama kali mendengar daerah itu. Tiba-tiba Tantuni memberhentikan sebuah mobil pik up pembawa sayuran dari arah Bungbulang, dengan melambai-lambaikan tangannya. Monbil puk up itu berhenti tepat di depan mereka berdua, "Naiklah! Kau akan sampai di kota sekitar jam duabelas malam nanti" Seru Tantuni bersahutan dengan deru mesin dari mobil tua itu.
Alex memandang Tantuni. Di balik kekonyolan Tantuni, dia baru sadar kalau Tantuni adalah seorang yang baik. Telah merawati dan menjaganya selama satu minggu di dalam hutan, memberinya makan, menyembuhkannya dari luka dan patah tulang, memberi pakaian yang baik; dan tak marah ketika diprotes. Dalam hatinya dia berkata: "Tantuni seorang yang baik."
Alex mendekati mobil pik up tua itu, dan "Pak saya tidak jadi ikut menumpang"
Pak sopir dan kondekturnya menganggukan kepala. Pun demikian dengan Alex. Syahdan mobil itu melanjutkan perjalanannya.
"Kenapa kau tidak jadi ikut?" Tanya Tantuni dengan nada tinggi.
Alex berdiri menghadap – menatap Tantuni, ujung lengan pakaian sayurnya bergerak diterpa angin yang mengikuti mobil puk up tua itu. Hati kecilnay berkata terima kasih, tercermin dari matanya. Namun, bibirnya bungkam untuk mewakili secercah kerendahan hati itu, jiwa ketua gengnya menyelimuti itu semua.
Selang beberapa detik, Alex berkata: "Aku ingin ikut denganmu."
"Apa?" Tantuni mengerutkan dahinya, "Aku berharap kau sedang tidak pingsan lagi."
"Tidak! Kau bilang aku belum siap. Aku inigin pertanggung jawaban atas kalimatmu itu."
"Haha... sudah kubilang, kau jangan terlalu serius."
Tantuni kembali melanjutkan langkahnya menuju Bungbulang. Dan dengan sendirinya Alex mengikuti Tantuni dari belakang. Jarak langkahnya tidak jauh dan tidak dekat. Alex mulai merasa segan berbicara dengan Tantuni. Walau dia beranggapan kalau Tantuni tidak lebih dari seorang konyol, tetapi dia merasakan hal lain yang kekonyolannya itu sendiri adalah topeng belaka atas Tantuni yang asli.