Ayam panggang telah tercium semerbak memburu perut yang kosong. Aroma dan asapnya dibawa oleh udara pagi yang segar menyelusup ke penjuru hutan. Harimau dan serigala mengintip dari balik semak-semak, dan elang berputar-putar – mengintai di udara. Namun, mereka tidak berani mendekat untuk menerkam ayam panggang yang sedap itu.
"Kau sudah sadar?" Tanya seorang lelaki yang sedang duduk di atas batu sembari memutar-mutar ayam panggang di atas api sedang dengan bara api yang marah. Lelaki itu mengenakan sepatu beralas kuat dan tebal, mirip-mirip sepatu para pendaki gunung, tetapi bukan, sepatu yang jarang aku lihat; warnanya coklat, terbuat dari kulit. Pun demikian dengan pakaiannya: mengenakan jaket kedap air dan celana yang tidak ketat, di samping kiri dan kanannya terdapat dua saku yang lebar. Mungkin dia memang seorang pendaki, tetapi pendaki yang tak membawa ransel besar dan tenda yang diikat di bagian bawahnya. Di samping duduknya (di atas batu) terdapat pisau lipat yang tergeletak dan seruas bambu kecil berwarna kuning tua yang di pangkalnya diikatkan sobekan kain berwarna merah dan hitam, melambai-melambai tertiup angin yang datang sesekali.
Alex yang ditanyai tidak menjawab. Matanya berkedip-kedip mencerna sinar matahari pagi yang menyoroti wajahnya. Bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan, memastikan matanya masih bisa digunakan atau tidak. Lalu menajamkan pendengarannya; dia mendengar suara gemiricik air sungai yang tenang, dan samar-samar jauh: terdengar gemuruh air terjun yang telah menyempurnakan perjalanan gelap dan dingin kesakitan dan penderitaannya. Sesekali dia mendengar geraman seekor harimau dan dengusan seeokor serigala. Dan dia pun melihat matahari di araki oleh burung-burung kecil yang dipimpin oleh elang yang berputar-putar. Dia juga merasakan desiran angin menerpa kulitnya, dan mencium aroma daging panggang yang mengganggu perutnya sejak alam sadarnya kembali pulih. Setelah semua indera dirasa berfungsi, dia mencoba menggerakan jari-jari tangannya dan jari-jari kakinya. Hatinya tersenyum, sarafnya masih berfungsi dengan baik. Kemudian dia mencoba untuk membangunkan tubuhnya yang renta dan penuh luka itu. Namun, dia tidak mampu: Aaaa!!! Dia mengerang – hampir berteriak - merasakan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, dan apa lagi di dalam tubuhnya; luka dalam.
"Diamlah..." ujar lelaki itu, "kau masih tidak boleh begerak terlalu banyak. Luka luar dan dalammu cukup parah."
Alex meringis, mengerang kesakitan. Bola matanya diarahkan ke sekujur tubuhnya. Dia melihat sekujur tubuhnya dibalut oleh tumbukan akar, dedaunan, dan rempah-rempah yang dia tidak tahu jenis-jenisnya. Tidak ada selembar kain pun yang menempel di tubuhnya. Dia mencoba membuka mulut dengan rasa kesal atas dirinya yang tak berguna itu, "Siapa kau?" terpatah-patah, bercampur dengan ringisan dan erangan. Tangannya mengepal. Mungkin hanya dengan mengepalkan tangannya itu dia bisa melampiaskan kebenciannya; kepada Danil, kepada anak buahnya, dan kepada dirinya yang tak berguna; tidak bisa menyelamatkan Surya dan sekarang dirinya malah terkujur kaku di tempat yang asing baginya: di tengah hutan.
"Untuk ukuran manusia, kau berhak kesal, marah, benci, asal kau jangan putus asa." Jawab lelaki itu. "Lagi pula sebagian dunia diciptakan untuk hal itu. Namaku Tantuni. Kau sudah tak sadarkan diri selama satu minggu, terdampar di tepi sungai seperti tak bernyawa."
Alex kaget ketika dirinya tahu kalau dirinya telah tak sadarkan diri selama satu minggu. Namun, dia menyeka kekagetannya itu dengan keangkuhannya, "Heh, kau banyak bicara ternyata." Matanya menatap langit.
Lelaki yang mengenalkan dirinya dengan nama Tantuni itu hanya tersenyum mendengar ucapan Alex. Kemudian dia bersiul dan memanggil sebuah nama "Sedayu..." suaranya melengking.
Dari dalam hutan terbanglah seekor burung hantu berwarna putih. Sayapnya membentang lebar, matanya tajam, dan kakiknya kuat – gagah dengan kukunya yang menikam. Burung hantu putih yang dinamai Sedayu itu hinggap di atas batu, menghadap pada Tantuni yang sedang mengangkat ayam panggangnya dari atas bara api.
"Namanya Sedayu," Tantuni mengenalkan burung hantu itu sembari memberinya makan. Sedayu terlihat sangat suka dengan ayam panggang itu. Sedang Alex memalingkan bola matanya seakan tidak peduli. "Dan, dialah yang mengikuti saat kau menjatuhkan diri dan terhanyut, lalu menjagamu dari binatang buas yang mengintaimu siang dan malam."
Alex tidak dapat membayangkan apa yang dikatakan oleh Tantuni, yang dia ingat hanya gelap, cahaya, kematian Surya, dan pengkhianatan Danil. Bola matanya langsung diarahkan pada Sedayu. Hati kecilnya berkata terima kasih, namun mulutnya tetap berkata angkuh: "Aku lebih baik mati!"
"Mati itu bukan urusanmu. Lagi pula kau masih ada hal yang mesti dibereskan." Tantuni menjawab. Sedayu menatap pada Alex, seakan ikut mendakwahi. Alex kembali memalingkan bola matanya, menatap kosong ke arah langit yang sangat membiru. Tiba-tiba perutnya meronta, meminta tolong itu segera diselematkan: kelaparan. Hal itu membuat keangkuhannya luntur. Tantuni tertawa kecil. Serdayu pun menampilkan raut wajah yang menertawai. Alex langsung mengibaskan bola matanya ke arah aliran sungai, matanya melihat dedaunan kuning dan coklat yang gugur hanyut dibawa arus sungai yang tenang itu. Tantuni merobek bagian paha ayam pangganya dan menyimpannya di mulut Alex seraya berkata, "Kau bukan anak kecil, tidak mungkin aku menyuapimu." Sedayu tetap menampilkan wajah yang menertawai. Alex tidak sedikit pun menggerakan bibirnya, dia biarkan paha ayam itu menempel, menggoda bibir dan hidungnya. Dan, lagi-lagi perutnya meruntuhkan egonya, dan membuatnya harus menyerah atas kegengsiannya. Dia membuka mulutnya secara perlahan, dan membuat paha ayam itu jatuh pada lubang mulutnya, dengan lirih dia menjilat kulitnya dengan ujung lidahnya dan menggigitnya, sedikit, sangat sedikit; hanya sesuir. Tanpa dipegangnya, paha ayam itu berputar-putar di atas mulutnya, bergilir dari sisi ke sisi, sampai yang tersisa hanya tulangnya saja.
Tantuni mengambil pisau lipatnya dan menggantungkan seruas bambu kuning tua itu di pingganya, kemudian beranjak dari duduknya. Sedayu pun terbang dan hinggap di atas pundaknya. Tantuni mengelus kepala burung hantu itt dan berbisik, "Istirahatlah." Seaka paham, Sedayu langsung terbang kembali ke dalam hutan, mengepakkan sayapnya tanpa suara. "Siang ini kita harus segera ke luar dari dalam hutan!" Ucap Tantuni sembari melangkahkan kaki meninggalkan Alex ke dalam hutan.
Saat Tantuni masuk melewati semak-semak, harimau dan serigala langung meloncat merubungi Alex. Elang yang berputar mengintai jauh di langit sana sekarang berputar tepat di atas kepalanya, dan semakin rendah. Alex gemetar, dirinya dirubung oleh binatang buas. Suara harimau yang mengerang dan dengusan serigala membuatnya semakin ketakutan, dan pasrah.
Dari balik semak-semak terdengar teriakan, "Tenang, mereka tidak akan memakanmu. Mereka hanya ingin mendapat bagian ayam panggang itu!" tidak! Bukan teriakan, tetapi suara itu sangat dekat, seperti bisikan, dan sangat jelas.
Dan benar saja, setelah suara Tantuni itu hilang dibawa angin, harimau dan serigala yang kelaparan itu langsung loncat menerkam ayam panggang yang disimpan di atas batu oleh Tantuni. Tiba-tiba dengan sangat cepat, elang menyambar dan mencengkram sebagian daging ayam itu. Terjadilah tarik menarik, cengkraman dan gigitam. Cengkraman elang begitu kuat, pun demikian dengan gigitan dan tarikan harimau dan serigala. Harimau mengerang dengan suara yang garang, sedang srigala mendengus kelaparan; air liurnya menetes dari sela-sela giginya yang tajam, dan kepakan sayap elang semakin kencang membuat deduanan yang berserakan berterbangan tidak karuan, membuat bulu-bulu harimau dan serigala terseok-seok. Mereka saling memberikan peringatan satu sama lain, seakan sisa ayam panggang itu ditinggalkan untuk salah satu dari mereka.
Bret!
Ayam panggang itu tersobek menjadi tiga bagian. Harimau dan serigala langsung berlari ke hutan membawa bagian di mulutnya; ke arah yang berbeda, dan elang terbang bebas dengan robekan daging di cengkramannya.
Matanya Alex membelalak menyaksikan tiga ekor hewan buas yang kelaparan itu berebut makanan. Tubuhnya yang gemetar masih menderu. Dia masih memikirkan nyawanya, dan keanggkuhan atas keinginannya untuk mati ditolaknya sendiri dengan ketakutannya.
Perlahan deru gemetar tubuhnya mereda. Bola matanya mencari-cari kemana Tantuni pergi. Pikirannya mencerna pesan dari Tantuni terakhir, kalau "Kita" yang dia anggap termasuk dirinya yang terbaring tak berdaya harus segera keluar dari dalam hutan. Bagaimana? Digendong? Atau tiba-tiba Sedayu membesar, bisa ditunggangi, dan membawa Tantuni dengannya keluar dari dalam hutan? Kepalanya yang kesakitan bertanya-tanya.
Saat hari semakin naik dan matahari semakin menyengat - menjilat-jilat -berada tepat di atas kepala. Saat burung-burung beristirahat tidur siang. Tantuni kembali membawa satu stel pakaian di dalam kantong kresek hitam.
Saat derap langkah Tantuni terdengar oleh Alex, Alex langsung membuka matanya yang terpejam menahan silaunya matahari. Dia langsung protes, "Kau biarkan tubuhku tersengat matahari selama satu minggu ini!"
"Ya," Tantuni tiba-tiba mengangkat tubuhnya Alex, "Agar obat-obatan itu cfepat meresap dan luka luarmu cepat kering.
"Ka-Ka-Kau mau apa?!" Alex gagap meronta kesakitan.
"Duduk dan tahanlah!"
Trak trak trak!
Aaaaa! Teriakan panjang: kesakitan.
Suara tulang-tulang persendian dan teriakan serentak. Tak segan Tantuni langsung mentotok seluruh tubuhnya, dan memulihkan kembali tulang-tulang yang patah dengan menginjak, dengan lutut, dengan telapak tangan, dengan sikut.
Alex mengerang meringis kesakitan, sangat kesakitan, badannya terasa diremukan untuk yang kedua kalinya, bahkan lebih-lebih, sampai air matanya tumpah membasahi pipinya.
Tubuh Alex disanggah oleh kedua paha Tantuni dan kembali dibaringkan. Alex seakan tak sadarkan diri, tetapi matanya nyalang berderai menatap langit dengan pasrahnya, "Jangan cengeng!" Ucap Tantuni, "Sekarang gerakan tanganmu."
Alex terkulai lemas, dia tidak merespon perkataa Tantuni. Tantuni kembali menyeru, "Gerakan tanganmu!" dengan nada gemas, karena melihat air mata alex berderai. Setelah berulang-ulang menyeru tanpa ada sautan, Tantuni melakukan cara terakhir; dia mencubit tangan Alex dengan keras, sampai Alex seakan terbangun dari mimpi buruknya dengan berteriak, "Aaaaa!!!" sampai burung-burung yang beristirahat di dahan-dahan terbang berhamburan. Dan, di saat bersamaan Alex menghindarkan tangannya seraya berirama dengan menepis cubitannya Tantuni. Seketika dia sadar kalau tubuhnya bisa digerakan kembali. Dia mengepal-ngepalkan tangannya dan mengayun-ayunkan kakinya, semuanya kembali normal, meski masih ada rasa sedikit linu. Alex langsung bersemangat dan langsung berdiri, berjingkrak tanpa meperdulikan tubuhnya yang tak berkain sedikit pun.
Tantuni tersenyum melihat Alex yang kegirangan tidak tahu malu itu, yang lupa akan keangkuhannya saat terbaring tak berguna. Tantuni melemparkan pakaian yang ada di dalam keresek hitam. Alex yang berjingkrak kegirangan menerimanya dengan tangkas.
"Pakailah...!" Seru Tantuni.
Ketika Alex membuka bungkusan keresek itu, dia langsung mematung, sadar, kalau dirinya telanjang bulat dan bandulnya yang menggantung ikut meloncat - berjingkrak; ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah. Seketika dia langsung menutupi larangannya itu dengan kantong kresek yang dia pengang.
Tantuni tertawa geli dan terbahak, "Mandilah! Tubuhmu bau daun dan bau tanah."
Alex tidak bersuara, dia mundur perlahan-lahan, derap langkahnya menginjak bebatuan yang bercampur dengan pasir hitam, tumit kakinya terkena belaian ombak-ombak kecil, dan di langkah selanjutnya kakinya benar-baner tercebur ke dalam air sungai. Ketika setengah badannya telah terendam air, dia melemparkan kresek hitam itu ketepian sungai agar tidak terkena basah, tidak jauh dari ombak-ombak kecil itu. Dia nyengir dan sedikit meringis, tatkala luka luarnya terkena dinginnya air sungai. Tapi dia tetap memasukan seluruh badannya ke dalam sungai sampai benar-benar tidak terlihat lagi di permukaan. Di dalam air itu dia menggosok seluruh tubuhnya dengan bebatuan kecil yang dia ambil dengan jepitan kakinya dari dasar sungai untuk menghilangkan daki yang sudah hampir berupa lumut di tubuhnya.
Setelah urusannya selesai di dalam air, dia keluar dengan kedua telapak tangan membentuk mangkok menutupi bandulnya yang menggantung. Padahal Tantuni tidak memperhatiknannya, dan tidak peduli. Dia mengambil pakaian yang ada di dalam keresek itu, lalu membalikan badannya: memunggungi Tantuni, dan memekai pakain itu. Pakaian sederhana. Pakaian yang dikatai sebagai pakaian sayur. Yaitu celana katun berwarna hitam dan kemeja berwarna krem. Di dalam keresek itu juga terdapat sebuah sendal jepit berwarna hijau. Tampilan yang pas serupa tuan dagang yang hendak berangkat ke pasar atau tukang kebun yang akan berjualan singkong.
Alex selesai mengenakan pakaiannya itu, lalu dia mendekati Tantuni seraya menjulurkan tangannya, berterima kasih dan mengenlkan diri, "Aku Alex." Namun, belum sempat Tantuni menerima uluran tangannya, Alex langsung menarik kembali ulurannya. Di dalam pikirannya terbersit dan langsung di muntahkan di depan wajahnya Tantuni yan sedang duduk di atas batu, "Sebantar! Kenapa kau tidak menyembuhkanku ketika aku sedang tidak sadar selama satu minggu?"
Mendengar pertanyaan itu, Tantuni tertawa terbahak-bahak, "Oh iya ya..."
"Dasar kau!"
Tantuni tidak memberikan penjelasan sebenarnya, dia ingin mencairkan suasana saja, dan ,masih tertawa.
Akhirnya Alex menyerah dengan tawanya Tantuni, dan kembali menjulurkan tangannya, "Baiklah lupakan soal itu," Alex menatap wajah Tantuni. "terima kasih sudah menyelamatkanku." Alex menatap wajah Tantuni.
Tantuni behenti tertawa dan menatap wajah Alex yang tulus berterima kasih. Tantuni pun berdiri dan menyambut hangat uluran tangan Alex itu. mereka berjabat tangan, dan mengulang kembali perkenalan: "Alex."
"Tantuni."
Setelah perkenalan itu, Alex meminta diri untuk langsung pergi, niat hati untuk kembali membuat perhitungan pada Danil dan anak buahnya. Seakan tahu, Tantuni memeperingatkan, "Kau belum siap!"
Namun, peduli setan dengan perkataan Tantuni, Alex tetap melangkah pergi ke arah yang diyakini menuju perkotaan. Alex mengira kalau arah perkotaan itu dekat, sebab Tantuni medapatkan pakaian dengan waktu singkat, berartti tandanya ada sebuah pasar atau setidaknya ada segelintir warga. Dia berjalan ke arah timur; memasuki semak-semak, ketika pohon-pohon menjulang tinggi membatasi pemandangannya, terdengar dengus-dengus serigala yang kelaparan, dan benar saja dia bertemu dengan sekomplotan serigala yang kelaparan, dan matanya tajam menerka jiwanya. Dia mundur beberapa langkah, dan langsung membalikan badannya berlari ke arah lain, tetapi tingginya pepohonan yang menyeka pandangannya itu dia mendengar geraman harimau. Dia langsung berhenti berlari, terpaku, melihat kesekitaran yang terbatas itu. Tiba-tiba dari balik pohon besar di hadapannya loncat seeokor harimau yang sedang haus darah. Aku sekarang benar-benar mati! Hatinya menjerit. Pasrah. Dia menutup matanya dengan perlahan.