"Ketika bapak memutarkan badan untuk pergi, sepintas bapak melihat santriwati tadi melihat kepergian bapak di balik bibir pintu. Matanya cemerlang dan bibirnya begitu merah berembun. Seakan-akan ingin melemparkan senyuman, tetapi nampak pula bibirnya menahan getaran hatinya sendiri."
Sentaya tersenyum membayangkan wajah santriwati itu, pun demikian dengan Batara.
"Di perjalan, bapak dan Kakek Jalal tidak banyak bicara, Kakek Jalal hanya sesekali menyakan keadaan bapak. Sedang bapak sendiri merasa ada yang tertinggal di pesantren itu..."
"Pasti santriwati itu!" Batara memungkas lamunan ayahnya.
Dan, Sentaya tertawa kecil mendengar kesimpulan anaknya, lalu melanjutkan kisahnya, "Ketika sampai terminal alun-alun kota Kertasari, saat turun dari bus, kakek jalal menanyai bapak apakah bapak ingin makan, dan bapak mengiakan pertanyaan itu. Kami berdua pun berjalan menuju warung nasi, belum utuh kaki melangkah masuk ke dalam warung nasi itu, dari belakang tiba-tiba Kakek Jalal ditarik bahunya oleh seorang lelaki yang tidak tahu siapa, tetapi dari auranya memancarkan aura gelap, seraya berkata 'Sia nu ngarana Jalal teh?!' Membentak. Tubuhnya kecil tapi terlatih, awalanya bapak kira dia sendiri, ternyata dia bersama gerombolannya: sembilan orang, dan mereka menggunakan syal merah di lengan kirinya.
Tanpa basa-basi mereka langsung menyerang Kakek Jalal. Kakek Jalal memasang kuda-kuda terbuka dan pasangan tangan yang menjulurkan satu jari telunjuk tangan kanannya, mancing maung dina jero guha (Kuda-kuda memancing harimau di dalam gua) Matanya tajam, bola matanya bergerak cepat melihat posisi masing-masing lawan. Setelah semuanya telah terkunci di matanya, Kakek Jalal menganggukkan kepalanya tanda siap bertarung. Mula-mula serangan datang dari arah depan dengan pukulan kanan dan kiri lalu disusul dengan tendangan kaki kanan, tetapi Kakek Jalal berhasil mengangkis tiga serangan itu. Kakek Jalal membalas satu dua pukulan dan lawan itu berhasil menghindar tetapi serangan ketiga, sikutnya berhasil masuk telak di uluh hati lawan. Lawan itu mundur dengan memegang uluh hatinya, tiba-tiba dari dua arah kiri dan kanan menyerang menggunakan tendangan, Kakek Jalal menghindar ke belakang dengan membalikan badan, dan menyerang lawan yang berada di belakang. Wuhhhh.... gerakan mereka sangat cepat. Bapak hanya bisa melihat, karena Kakek Jalal memberikan kode agar tidak ikut campur. Bapak yakin sepuluh orang itu adalah jawara-jawara silat, tetapi bapak lebih yakin kalau Kakek Jalal lebih hebat dari sepuluh orang itu. Gerakan Kakek Jalal lebih cepat dari gerombolan itu.
Namun, keyakinan bapak salah, musnah. Kakek Jalal diserang oleh tiga orang dari depan, salah satu tendangan dari tiga orang itu terkena wajah Kakek Jalal sampai membuatnya terpental ke belakang. Belum sempat membuat kuda-kuda kembali, Kakek Jalal langsung diserang dari belakang, dari sampaing kiri kanan, dan dari depan tak hentinya menyerang bertubi-tubi, seperti herder lapar yang memerebutkan tulang. Wahhhh semua orang hanya melihat dari kejauhan, sebagian ibu-ibu menjerit-jerit histeris, namun tetap tidak ada yang berani melerai apalagi menyelamatkan kakek Jalal. Alih-alih menolong yang ada mereka yang akan meregang nyawa. Bapak gemetar. Kakek Jalal benar-benar dikeroyok tanpa belas kasihan. Bapak meradang. Ketika bapak hendak berlari untuk menghajar gerombolan itu, tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menepuk pundak bapak seraya berkata, 'Hayu'. Bapak kaget, sangat kaget dan langsung menoleh memasang kuda-kuda, dan ternyata itu adalah Kakek Jalal. Sungguh, itu lebih mengagetkan dari serangan musuh. Antara sadar dan tidak, itu memang Kakek Jalal yang mulutnya sedang membersihkan sisa-sisa makanan dengan lidahnya.
Batara membelalak dan kulitnya merinding mendengar bagian kisah itu. Sentaya masih melanjutkan, "Kakek Jalal berbalik badan lalu berjalan tanpa memerdulikan sekelompok orang yang sedang rusuh itu. Bapak mengikutinya dari belakang, Kakek Jalal menegur bapak, 'Tadi katanya mau makan, kenapa tidak masuk warung?' Dengan santainya, asli!" Sentaya menegaskan, kulitnya ikut merinding.
Batara tertawa, "Hahaha... benarkah, Pak?!"
"Asli! Benar-benar santai. Bapak kebingungan dan bertanya-tanya. Dengan gagap bapak memastikan dengan bertanya siapa yang sedang dipukuli oleh orang-orang tak dikenal itu. Jawabnya, 'Sudah... setelah nanti kita keluar terminal ini, kamu lihat ke belakang.' Bapak mengangguk paham. Ketika salah satu kaki bapak menginjak luar terminal bapak langsung membalikan badan dan ternyata gerombolan itu sedang menghantami sebongkah kayu tua ...
"Sebogkah kayu...?" Batara membelalak.
"Itulah ilmu beralih rupa."
"Wah... hebat...." Batara berdecak kagum, "Jadi selama orang-orang panik melihat pengeroyokan itu, kakek Jalal asyik-asyik saja makan di dalam warung." BAtara mengonfirmasi kisah itu.
"Ya begitulah... katanya, rupanya itu bisa menjelma sampai 40 warna, dan hanya bisa disadari oleh pemiliknya saja."
Batara mengangguk-ngangguk mengerti.
"Pendek kata, saat malam dengan gelapnya menaungi, sampailah bapak dan Kakek Jalal di rumah, ibu menyambut kedatangan kami dengan bahagia. pun demikian dengan kakekmu yang sedang terbaring."
"Lalu untuk apa kakek meminta Kakek Jalal datang?" Batara mengertukan dahi lagi, penasaran.
"Keesokan harinya Kakek Jalal pamit pulang. Entah apa yang mereka obrollkan saat malam secara utuh. Namun, sepintas bapak mendengar: 'Orang-orang itu akan tetap datang ke sini, melakukan kelicikan-kelicikan untuk mengambil Pusaka Taraka ini. Sekarang tubuhku sudah tak berdaya lagi, racun itu ternyata racun dari Gintarto.' Kakek Jalal murka mendengar nama itu, 'Biar aku Kang yang buat perhitungan pada dia.' Tetapi kakekmu tetaplah kakekmu, dia melarang itu, kakekmu berkata: 'Tidak... Aku hanya ingin kau menjaga pusaka ini. Sampai suatu saat nanti pusaka ini akan kembali lagi kepadaku.' Begitulah percakapan yang sekilas bapak dengar dari balik bilik kamar bapak."
"Pusaka Taraka...?"
"Ya, Pedang Api. Konon pedang itu hanya bisa dikuasai oleh kakekmu, setelah gurunya. Namun, sekarang kakekmu telah tiada. Setelah sebulan pusaka itu di bawa oleh kakek Jalal, kakekmu wafat. Mungkin selama tiga tahun sakit-sakitan dan menahan nyeri karena racun yang sangat cepat menyebar di dalam tibuhnya itu, kakekmu hanya mempertahankan pusaka Taraka itu, agar tidak jatuh ke tangan orang yang salah. Kalau tidak ada pusaka itu, mungkin kakekmu telah wafat sejak racun itu diminumnya."
"Lantas maksud dari pedang itu akan kembali lagi pada kakek?"
"Entahlah, Kakek Jalal tidak pernah memeberitahu bapak."
"Bapak pernah menanyainya?"
"Tidak, hanya saja setelah kakekmu meninggal, nenekmu jatuh sakit dan nenekmu meminta agar bapak segera menikah."
"Dan, bapak menikah dengan ibu?"
"Ya, dialah Dewi Nila Ningrum, santriwati yang melayani bapak ketika kali pertama bapak datang ke pesantren Kakek Jalal. Dan, saat bapak datang kali kedua untuk meminta ibumu untuk dinikahi, Kakek Jalal tidak menceritakan apa pun tentang pusaka itu, dia hanya memberi restu atas santriwatinya itu."
Batara bergumam.
"Lalu setelah satu tahun bapak menikah dengan ibumu, nenekmu menyusul kakekmu pulang ke alam yang abadi, Surga,"
"Amin Allhumma Amin." Batara mengamini.
"Di usia yang hampir senja ini, barulah kau lahir ke dunia, Batara. Kau penuh dengan keseakanan. Wajahmu serupa dengan kakekmu, terutama matamu."
Sentaya melemparkan daun ilalang dengan sangat cepat ke arah buah kelapa yang menjulang tinggi di tepi sawah.
Sret!
Blug Blug Blug
Tiga buah kelapa jatuh ke tepian sawah; dua kelapa tua dan satu kelapa muda, "Habiskan air kelapamu, ambil kelapa-kelapa itu, dan besok kita belajar berburu."
Batara terpukau melihat gerakan yang tidak sistematis seperti pelajaran-pelajaran di sekolahnya itu. Cepat! Hanya dengan sebitan daun ilalang, tiga buah kelapa jatuh tidak melawan.