Sentaya melanjutkan, "Bapak tidak menyangka semuanya akan terjadi. Suatu hari, Hartini tidak ikut ke kebun, dia meminta diri untuk menunggu di rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah saja. Kami pun mengiakan permiantaan Hartini, mungkin dia kelelahan untuk ikut ke kebun.
Entah apa saja yang dilakukannya selama kami di kebun. Pendek cerita, saat kami pulang, di atas bale telah tersaji makanan beserta teko dan gelas untuk minum. Kami di sambutnya dengan menu yang istimewa bagi kami yang baru pulang dari kebun; ayam panggang, lalapan, sambal, dan nasi liwet. Kakekmu tersenyum bungah melihat hidangan itu, dan berkata 'Hartini anak yang baik.' Kakekmu pun duduk di atas bale, meminta nenekmu untuk menuangkan air dari dalam teko itu. Barang nenekmu menuangkan air, kakekmu memanggil-manggil Hartini untuk ikut makan bersama. Sedang bapak belum duduk di bale, bapak masih menata kayu bakar di samping rumah. Suara kakek padam, dan Hartini tak kunjung menjawab panggilan kakekmu. Tiba-tiba nenekmu berteriak – menjerit memanggil-manggil kakekmu. Bapak kaget dan langsung berlari tergopoh-gopoh menghampirinya. Ternyata kakekmu telah terbaring tak sadarkan diri di atas pangkuan nenekmu. Bapak membisu. Nenekmu memerinthakan untuk mengangkat kakekmu ke dalam rumah dan membuang makanan itu. Hartini tidak ada, dia telah kabur.
Sejak saat itu, bapak menyangka kalau dia adalah gadis kecil kiriman untuk membunuh kakekmu dengan memanfaatkan kelembutan kakekmu sebagai kelemahannya."
Batara tercengang mendengar itu, matanya nyalang, bola matanya bergetar.
"Kakekmu terselematkan, semua obat-obatan diracik untuk penawar racun itu. Hanya saja sejak saat itu kakekmu menjadi seorang yang sakit-sakitan dan renta."
"Bapak tidak mencari Hartini?" Tanya Batara mengepalkan tangannya.
"Kakekmu melarang..."
Batara bergumam dan berpikir: mungkin itu salah satu dari kelembutan kakeknya.
"Sempat bapak tanyai orang-orang pasar dan orang alun-alun kota Kertasari, dan informasi yang bapak dapat: Hartini dijemput mobil hitam, dengan simbol kelelawar bermata merah di bagian kaca depan dan belakangnya. Dan, penjemputannya itu di hari yang sama saat kakekmu keracunan, pada sore hari.
"Selama dua tahun kakekmu mudah tak sadarkan diri, dan di tahun ke tiga kakekmu hanya bisa berbaring di dalam rumah. Nenekmu hanya bisa menangis. Sedang bapak masih meradang ingin mencari Hartini dan komplotannya itu. Bimbang. Kakekmu hanya mengatakan 'Kau tak siap, Sentaya.' Bapak marah pada saat itu, marah pada kakekmu, kenapa si Paser itu tidak menurunkan ilmunya kepada anaknya; anak satu-satunya." Sentaya mengepalkan tangannya, seakan kembali ke masa mudanya, dan melihat Hartini di sebrang hamparan sawah itu.
Sentaya menghela napas dan melanjutkan, "Di akhir tahun ketiga, kakekmu menyuruh bapak untuk menemui kakek Jalal dan memintanya untuk datang ke Kertasari. Kakek Jalal adalah saudara sambung kakekmu, dia adalah seorang kiai, dan tinggal di Bumbulang, sebalah selatan kota kita."
Batara mengangguk-ngangguk. Hanya dapat membayangkan daerah Bumbulang, karena dirinya sendiri belum pernah bepergian ke sana.
"Dari terminal dekat alun-alun kota Kertasari bapak naik bus. Seharian. Menjelang matahari tenggelam, bapak baru sampai di halaman depan pesantrennya, setelah melewati bentangan sawah dan sungai yang jernih. Tempatnya sangat indah dan sangat sejuk. Itu pertama kali bapak ke sana.
Seorang santriwati menyambut bapak dengan ucapan salam yang sangat merdu. Bapak menjawabnya dengan takzim. Dia berkata, 'Ava sudah menunggu.' Mendengar itu bapak kaget, bertanya-tanya, dan merinding."
Batara tersenyum, dan menganggap kalau itu adalah salah satu ilmu orang tua dulu. Tidak perlu gawai lipat yang dibicarakan teman-temannya di sekolah, yang dimiliki oleh orang tuanya dan di miliki oleh Pak Ahmad guru Bahasa Indonesianya. Batara dekat dengan Pak Ahmad, karena Batara sering meminta sobekan-sobekan koran berisi cerita pendek, bahkan selesai semester pertama lalu Pak Ahmad memberikan sebuah novel yang lembaran kertasnya telah menguning, dan sampul depannya telah lepas. Buku itu sebagai hadiah karena Batara mendapat nilai yang baik dalam Bahasa Indoensia dan menjadi peringkat pertama di kelas. Meskipun buku itu tua, Batara menerimanya dengan bungah dan membacanya setiap menjelang senja. Kata Pak Ahmad ketika memberikan buku itu, "Buku ini langka, dan berat hati bapak diberikan pada orang lain, hanya padamu Batara."
Sentaya masih berhikayat, "Bapak diantar oleh santriwati itu, santri-santri yang lain melihat bapak seperti seorang artis yang berjalan naik ke atas panggung. Ragam mata yang mereka pasang, sebagian laki-laki seakan sinis karena melihat bapak berjalan berjejer dengan santriwati cantik itu, dan sebagian sastriwati tersenyum-senyum melihat bapak yang tampan ini"
"Hahaha..." Batara tertawa mendengar pernyataan itu, antara menerima dan tidak, tetapi dia tawanya itu mengakui kalau ayahnya memang tampan.
"Asli!" Sentaya menegaskan. Kemudian dia menghela napas, dan tersenyum simpul. "Kau akan merasakannya nanti, Batara. Sebab selain kakekmu jawara bertarung, kakekmu juga tampan rupawan dan disukai banyak perempuan."
Batara berdecak kagum. Dia mengangguk-ngangguk.
Syahdan Sentaya melanjutkan kisahnya, "Bapak disuruh duduk di pelataran rumah, dan santriwati itu masuk ke dalam rumah kakek Jalal. Setelah beberapa menit menunggu, yang dikatai kakek Jalal itu keluar. Tubuhnya tinggi segar, wajahnya tampan berseri, bersorban dan berpeci. Bapak berdiri takzim, rengkuh serta menyalami, dan kakek Jalal meminta bapak untuk duduk kembali. Setelah bapak duduk, sastriwati tadi keluar membawa segelas teh hangat. Hanya segelas? Pikir bapak waktu itu. Santriwati itu menyimpannya di hadapan bapak, lantas santriwati itu kembali di telan oleh rumah berbahan kayu jati yang berwarna coklat mengkilat. 'Minumlah' kakek Jalal mempersilakan. Dengan haus dan kering, bapak pun meminum teh hangat itu. Namun, setelah gelas itu disimpan kembali di hadapan bapak, kakek Jalal meminta diri untuk masuk ke dalam rumah. Dan, selang beberapa detik santriwati itu keluar lagi. Dia duduk di sebrang bapak, seakan menunggu, tetapi pandangannya terjaga; berpaling; tidak melihat pada bapak. Entah siapa yang ditunggu, entah bapak entah gelasnya. Bapak dibuatnya gugup. Bapak berinisiatif saja menghabiskan teh hangat itu, dan benar saja, ketika teh hangat itu habis santriwati itu berdiri dan berkata, 'Mari...' sambil mengangguk dan menunjuk ke dalam rumah dengan ibu jarinya. Bapak semakin gugup. Bapak pun berdiri dengan penuh tanda tanya. Kemudian santriwati itu kembali menyilakan bapak masuk ke dalam rumah. Bapak tidak berani bertanya, takut dianggap tidak sopan, karena itu wilayah pesantren. Bapak melangkah melewatinya dan berhenti di bibir pintu, membalikan badan melihat santriwati itu. Nampak dia sedang membungkuk mengambil gelas bekas teh hangat itu. Dia bangkit dan menatap ke arah bapak. Seketika bapak langsung memelingkan pandangan karena malu. Dia berjalan ke arah bapak, dan kembali menyilakan dengan ibu jarinya, 'Mari...' katanya. Dia berjalan di belakang bapak, dan menuduh-nuduh jalan dengan sopan dan lembutnya dari ruangan ke ruangan. Rumah itu cukup luas dalamnya, sampai di sebuah pintu santriwati itu berkata 'Kata Ava, Akang istirahatlah di kamar ini.' Bapak pun mengiakan dan mengucapkan terima kasih.
"Tugas santriwati itu telah selesai, dan dia meminta diri dan pergi. Setelah santriwati itu lenyap entah ke mana, bapak pun masuk ke dalam kamar itu. Bapak berpikir kalau pertemuan singkat dengan kakek Jalal tadi adalah salah satu sikapnya saat menyambut tamu yang datang dari jauh, tidak banyak menanyai dan tidak banyak berbicara. Bapak duduk di atas kasur, lalu menjatuhkan badan yang kelelahan." Sentaya membayangkan dirinya dijatuhkan di atas kasur itu. Desiran angin menggoyangkan pohon-pohon padi dan menerpa kembali bapak dan anak itu. Sentaya menghirup terpaan itu, "Tubuh yang kelelahan itu sampai tak sadarkan diri, sampai kokokan ayam jantan yang beriringan dengan suara bedug yang bertalu-talu yang kemudian di sambut dengan azan Subuh yang membangunkan. Bapak bangun, ada rasa tidak enak – rikuh, karena merasa sendiri di rumah itu. Ketika bapak membuka pintu ternyata kakek Jalal sudah menunggu di luar kamar, 'Kau benar-benar kelelahan, Sentaya...' ucapnya waktu itu menyambut, dan bapak mengangguk. Tidak tahu kapan bapak berkenalan dengan kakek Jalal, tetapi anehnya Kakek Jalal tahu nama bapak. Lalu kami berdua berangkat ke surau untuk menunaikan salat Subuh. Setelah salat, bapak disuruh membersihkan badan dan bersiap untuk kembali pulang.
"Setelah membersihkan badan bapak berdiam sejenak di dalam kamar, melihat dari dinding ke dinding, dari sudut ke sudut, dan di samping kanan bapak melihat bendera sapu jagat. Macan di bendera itu seakan hidup. Bapak baru tahu kalau Kakek Jalal itu bukan sekadar saudara sambung kakekmu, ternyata satu perguruan pula. Bapak terus memandangi bendera itu, dan tiba-tiba terdengar suara ketukan di balik pintu. Bapak beranjak dari atas kasur, dan membuka pintu itu. Bapak kira itu kakek Jalal, ternyata santriwati cantik itu. Dia membawakan sarapan kepada bapak, 'Kata Ava, sarapanlah dulu Kang, setelah selesai Akang diminta menunggu di pelataran depan.'
'Terima kasih,' kata bapak waktu itu sembari mengangguk. Dan santriwati yang pagi itu mengenakan kurung di kepalanya kembali ditelan oleh ruangan belakang, yang bapak kira ruangan itu adalah dapur. Singkatnya, setelah makan bapak langsung bergegas ke pelataran depan dan menunggu. Tak lama kakek jalal keluar mengenakan busana serba hitam, mengenakan peci hitam dan menggunakan batu akik berwarna hijau. Tak nampak seorang kiai, lebih nampak seorang jawara yang siap berkelahi.
Ada seorang santri tergopoh-gopoh mengahampiri Kakek Jalal, mengenakan sarung berwarna merah lusuh, baju koko, dan peci hitam ke merah-merahan, nampak sering terbakar sinar matahari dan tersiram air hujan. Mungkin peci itu sering dipakainya disemua medan, dan di samping sarungnya itu terselip sebilah bambu kecil berwarna kuning tua yang ujungnya terdapat dua lembar ikatan kain berwarna merah dan hitam. Santri itu membungkuk takzim di hadapan kiainya, 'Ava titip santri yang lain' ujar kakek Jalal, dan santri itu mengangguk. Dia masih membungkuk lalu mundur beberapa langkah, dan kembali ke tempat tadi dia berasal. Kira-kira usia santri itu lima tahun lebih muda dari bapak. Belum selesai santri itu lenyap dari mata bapak, Kakek Jalal berkata, 'Hayu...' dan bapak pun mengangguk.