Chereads / Pedang Taraka / Chapter 5 - Kelembutannya Adalah Kelemahannya Sendiri

Chapter 5 - Kelembutannya Adalah Kelemahannya Sendiri

"Semuanya meminta maaf karena telah melajur nafsu amarah dan berterima kasih karena terlah membiarkan hidup. Begitu pun dengan Chokro Darat yang dibayar oleh si Dedeungkot Preman untuk menyerang kakekmu.

"Di ujung pembicaraan, kakekkmu menasehati mereka semua, dan mereka pun hendak bertaubat atas perilakunya. Kakekmu berpesan pada Chokro Darat, 'Kau jangan sampai menggunakan ilmumu lagi dengan sembarangan. Gunakanlah untuk kebaikan. Kalau sampai di kemudian hari kau melakukan hal serupa, aku pastikan semua ilmu kanuraganmu akan hilang dari dalam tubuhmu.' Semua yang ada di atas bale tercengang mendengar kalimat dari kakekmu itu, termasuk bapak, terkecuali ibumu. Si Jawara kumis tebal itu langsung menunduk bersimpuh dan memohon ampun, 'Bangunlah,' kakekmu mengangkat tubuh Chokro Darat yang bersimpuh itu, dan melanjutkan perkataanya 'Sekarang pulanglah, sampaikan salamku pada gurumu, Abdul Ghani,' Chokro Darat tercengang, seakan memeberikan respon kalau itu benar gurunya, lantas dia kembali bersimpuh ke pangkuan kakekmu. Kakekmu kembali mengangkat tubuhnya, dan melanjutkan perkatannya 'Abdul Ghani adalah adik seperguruanku saat dulu menimba ilmu. Abdul Ghani orang yang baik, dia tidak mungkin mengajarkanmu berbuat mungkar seperti ini. Kau masih terlalu muda, perjalanamu masih panjang, kau jangan mudah tergoda.'

'Dari mana tuan tahu?' Chokro Darat bertanya dengan gugup.

'Dua lambang kujang yang menyanggah nama perguruanmu itu adalah usulan dariku.' Dan benar saja, di punggung baju Chokor Darat itu terdapat lambang dua kujang yang menyanggah dua arit di atasnya.

"Dua kujang itu berasal dari lambang perguruan silat kakekmu belajar, perguruan Sapu Jagat," tegas Sentaya Pranama.

Batara langsung ingat kalau lambang perguruan itu pernah ia lihat di rumahnya, di dinding kamar ayahnya, dua lambang kujang yang di atasnya terdapat kepala harimau, dan dilingkari nama perguruasn Sapu Jagat menggunakan huruf Arab.

"Pernah ada cerita pula dari kawan dekat kakekmu, kalau kakekmu beda dari yang lain ketika turun dari pohon kelapa, setelah mangmbil buahnya. Orang pada umumnya turun menyusuri kembali pohon kelapa itu, sedang kakemu turun – terbang menaiki pelepah kelapa yang sudah kering. Di lain cerita, orang lain mengambil buah kelapa dengan memanjat terlebih dahulu, sedangkan kakekmu tidak! Kakekmu hanya melambaikan tangan seakan memanggil dan pohon kelapa itu sendiri yang melengkung mendekatkan buahnya kepadanya." Sentaya gemetar bangga, seakan ayahnya ada di hadapannya. Dia tersenyum menatap hamparan sawah, dan angin dari arah sawah itu berdesir menyambut tatapannya dan menerpa tubuhnya dengan kesejukannya.

"Masih ada kisah unik tentang kakekmu, sedikit lucu tetapi mashur di mana-mana. Ketika ia pulang di tengah malam setelah pertemuan yang sampai sekarang tidak pernah bapak ketahui pertemuan apa itu. Bapak dan Bunda Lestari nenekmu tidur sangat pulas, di depan pintu kakekmu mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil-manggil nenekmu berkali-kali, tetap saja nenekmu tidak terbangun. Lantas kakekmu berkeliling rumah; berbisik - memanggil nenekmu dari balik bilik luar kamar, tetapi tetap saja nenekmu pulas. Mungkin sangat lelah karena siang harinya telah memanen ubi di kebun. Setelah semua cara dilakukan untuk membangunkan nenekmu dengan cara yang tidak kasar, dengan cara di luar nalar, kakekmu masuk melewati sela-sela bilik yang sangat, sangat kecil. Entah oleh siapa cerita itu bisa menyebar, mungkin ada yang menyelidiki kakekmu saat ingin memasuki rumah kala itu, dan karena ajian itulah kakekmu dijuluki si Paser (sangat cepat, sampai tak terlihat). Saat pagi, nenekmu bersimpuh di hadapan kakekmu karena telah lalai menjadi seorang istri. Namun, kakekmu hanya menjawab 'Tidak apa-apa' dan tersenyum. Kakekmu selalu lembut pada siapa pun." Sentaya menghela napas, seakan berada di akhir sebuah kisah, dan kisah itu berakhir bersusah hati.

Sentaya kembali melanjutkan kisah ayahnya itu, "Semakin hari semakin banyak orang berdatangan ke rumah, mungkin salah satu dari merekalah yang menceritakan tentang kisah kakekmu masuk rumah melewati sela-sela bilik. Tak ada yang peduli pada rumah kami yang reot berbahan bambu di pinggiran hutan itu. Mereka datang untuk belajar ilmu silat, kadang-kadang sengaja meminta ilmu untuk kesaktian. Namun, dengan cara dan bahasa yang halus kakekmu menolak niat mereka. Ada yang langsung menyerah dan pulang, tetapi ada pula yang rela diam sampai berminggu-minggu untuk sampai diterima. Kakekmu hanya menjawab niat mereka dengan bahasa: 'Aku tidak bisa apa-apa.' Jawaban yang tidak diharapkan oleh mereka.

"Kakekmu orang yang sangat apik, dia takut kalau ilmunya dipakai untuk sombong, dan dengan alasan itulah kakekmu tidak menerima seorang murid walaupun orang itu menangis darah untuk meminta diterima. Semua ditolak dengan cara yang lembut. Termasuk pada bapak, kakekmu tidak mewariskan ilmu-ilmu kanuragannya." Sentaya meminum kembali air kelapanya, tetapi tidak dengan Batara, Batara masih penasaran dengan kisah kakeknya itu. Sentaya melanjutkan, "Kakekmu memang sangat lembut," katanya sambil mengangguk-ngangguk menatap ke arah hamparan sawah, "dan ternyata kelembutan itulah kelemahannya sendiri..."

"Kelemahan?" Batara merengut, nadanya menggantung, menunggu kalimat selanjutnya dari mulut ayahnya.

"Ya, suatu hari ada seorang gadis kecil yang pingsan di tepi jalan, saat itu kakek dan nenekmu pulang dari kebun, setelah menanam ubi. Gadis itu sangat cantik, rambutnya diikat dan berponi. Usianya kira-kira seusiamu sekarang, Batara, dan usia bapak waktu itu lima belas tahun menginjak enam belas. Kakekmu mencoba membangunkan gadis itu, namun tetap dia tidak bangun. Kemudian kakekmu menggendongnya dan membawanya ke rumah. Bapak waktu itu baru pulang dari pasar setelah menjual ubi dan sayuran, seperti kangkung, daun singkong, daun pepaya, dan macam lainnya yang didapat dari kebun. Tidak menentu. Saat bapak sampai di depan rumah, kakekmu sedang merawati gadis kecil berponi itu di atas bale. Lama sekali gadis itu tidak sadar-sadar. Setelah satu setengah jam berlalu, barulah gadis kecil itu sadar, matanya terbuka secara perlahan, dan berkedip-kedip memperjelas kembali penglihatannya yang telah hilang beberapa saat di tepi jalan itu.

"Gadis kecil itu seperti orang yang bingung, entah bingung kenapa. Entah karena malu, entah karena tidak kenal, atau entah takut karena saat membuka mata yang terlihat lebih dulu adalah kakekmu yang bermata tajam dan berkulit coklat gosong." Sentaya sedikit tersenyum, terbayang jelas warna kulit orang yang telah membesarkannya itu, tetapi memiliki wajah yang rupawan dengan rambut yang sedikit bergelombang dan sangat hitam. "Gadis itu terkejut dan langsung duduk selonjoran dengan kedua tangannya menopang badannya kebelakang – ketakutan. Gadis itu mundur sampai ke sudut bale, menyandar ke bilik rumah, mungkin memang benar dia takut, dan kakekmu diam dan merasa wajar. Kakekmu tidak bertanya apa-apa, hanya mengucap hamdalah (ucapan syukur: Alhamdulilah) dan memberinya segelas air minum seraya memintanya untuk meminumnya. Setelah terlihat air minum itu mengalir membasahi tenggorkannya, kakekmu langsung masuk ke dalam rumah

"Kemudian bagian nenekmu yang berperan untuk menanyai, dengan lembut dan dengan suara yang lembut pula. Namun, kelembutan itu tak berhasil dengan satu kali, tetapi batu tetaplah batu ketika ditetesi air dengan berkali-kali akan berlubang juga, dan setelah beberapa kali bertanya gadis itu baru membuka mulutnya seraya menjawab pertanyaan nenekmu atas namanya dengan lirih dan gugup. Namanya Hartini."

"Hartini..." Batara semakin penasaran mendengarnya. Dia memosisikan duduknya menatap ayahnya. Saking penasarannya, dia tidak peduli dengan tenggorokannya yang sedari tadi berteriak-teriak ingin aliri dengan air kelapa.

"Selain dari pertanyaan namanya itu, semua pertanyaan ia menjawabnya dengan kalimat 'Tidak tahu.' Setelah menimbang banyak dan lama, akhirnya Hartini diberikan tinggal oleh kakek dan nenekmu di rumah kita.

Dia gadis kecil yang baik, penurut, dan tidak manja. Dia selalu membantu nenekmu, bahkan bantuan itu kerap kali tidak diminta pun selalu dilakukannya. Membantu nenekmu masak di rumah, mengambil air dari sungai; untuk minum mau pun untuk mandi. Tidak sungkan juga dia selalu ikut ke kebun, mengambil apa pun untuk dijual di pasar, kadang-kadang dia ikut juga ke pasar bersama bapak dan kakek, sampai orang-orang pasar dan alun-alun kota Kertasari tahu padanya, termasuk premena-preman yang pernah menyerang kakekmu, sehingga Hartini pun seakan menjadi cendramata yang sangat berharga bagi preman-preman itu, mereka menjaganya dengan sigap – bila sedang kesusahan karena berat membawa barang dagangan, preman-preman itu selalu membawakan barang dagangannya sampai ke lapak pasar. Tak pernah bapak mendengar Hartini mengeluh karena cape, dia lebih sering tersenyum. Mungkin dengan cara itulah dia mengucapkan terima kasih kepada kami karena telah menolongnya. Dia melakukan itu setiap hari, sampai kakekmu menjatuhkan sayang kepadanya, dan memperlakukannya bagai putrinya: anaknya sendiri. Kakekmu senang, dia diajari mengaji dan diajari salat oleh kakekmu."

Dari mana asal muasal Hartini itu? Yang dikatakan ayahnya memiliki senyuman yang sangat manis itu. Di mana dia sekarang? Apakah dia masih hidup? Batara tak hendak pula meminum air kelapanya, dia malah menelan ludahnya untuk membasahai kerongkongannya. Kisah itu semakin membuatnya penasaran, perasaannya ditarik ulur dan diombang-ambing, tetapi dia tidak berani meminta agar kisah itu dipercepat untuk segera diselesaikan. Itu karena keingintahuannya atas kakeknya yang diakatakan ayahnya: "kelembutannya sendiri yang menjadi kelemahannya."

"Satu tahun telah berlalu, dia semakin pandai dalam mengaji dan tak elatnya dia selalu menunaikan salat. Dia juga semakin mengerti pekerjaan-pekerjaan di rumah, di sungai, di kebun, mau pun di pasar. Dia gadis yang cerdas. Bahkan, cara menjerat hewan buruan pun dia telah tahu."

"Gadis itu berburu?" Batara menyela. Sedikit kagum atas pencapain gadis kecil itu, walau dia pun sudah paham akan pekerjaan-pekerjaan yang biasa ia lakukan pula bersama ayahnya. Namun, tidak dengan berburu.

"Ya, dia lihai membuat perangakap untuk burung, atau ayam hutan."

"Dari mana dia bisa berburu?"

Sentaya tertawa mendengar pertanyaan anaknya itu. Mungkin dia telah melewatkan sesuatu untuk anaknya itu.

"Hahaha... bapak belum mengajarimu memasang perangkap untuk hewan buruan ya?"

Batara langsung memasang muka masam mendengar tawa itu. Bahkan dia baru tahu kalau ayahnya bisa memasang perangkap.

"Jangan cemberut... nanti bapak ajari kamu. Tetapi setelah pulang sekolah dan setelah berlatih silat." Janji Sentaya mengobati muka masam anaknya itu. Dan, Batara tersenyum mendengar pernyataan ayahnya itu.

Batara memosisikan kembali duduknya menghadap ke arah hamparan sawah, merasakan terpaan angin yang sejuk yang datang dari sebrang hamparan sawah hijau merekah itu. Dia mengambil buah kelapanya, dan menenggak airnya. Setelah buah kelapa itu di simpan kembali, Batara bertanya, "Lantas bagaimana kelanjutannya?"

Sebelum Sentaya menjawab, dia meminum kembali air kelapanya, dan itu adalah tegukannya yang terakhir. Setelah mulutnya kembali basah dan berenergi untuk melanjutkan kisah ayahnya itu, dia menatap kembali hamparan sawah, terlihat ada bayang-bayang ayahnya dan senyum manis Hartini berkelebatan tergiring oleh angin, yang kemudian membias dan hilang.