Di tengah hari, Batara Pranama sedang mendengar kisah pendahulunya dari mulut ayahnya, Sentaya Pranama, saat itu usianya baru menginjak sepuluh tahun. Mereka duduk di sebuah dangau dengan suguhan hamparan sawah yang hijau mengembang. Di masing-masing samping mereka terdapat satu buah kelapa muda yang sudah dilubangi, yang sedang mereka nikmati airnya.
"Kau cepat sekali menguasai jurus-jurus yang bapak ajarkan," ucap ayahnya bangga.
Batara tersenyum, "Anaknya pun harus hebat seperti bapaknya." Begitu jawab Batara.
"Kita memang memiliki warisan darah jawara, bahkan mashur di mana-mana. Siapa yang tak kenal kakekmu, Basra Pranama, dia dijuluki si Paser."
"Dijuluki si Paser?" Batara mengerutkan dahi penuh tanda tanya yang bersari pukau dalam hatinya.
"Dulu... kakekmu, ketika masa pembunuhan masih menjadi hal yang lumrah di masyarakat, di mana HAM belum ditegakan, tatkala banyak mayat-mayat yang tergeletak tanpa sebab yang jelas; bukan di hutan, atau di jurang, atau di sungai, tetapi di pasar, di alun-alun kota dan di tempat-tempat ramai lainnya, seakan pembunuhan itu ingin mengenalkan akan kekuasaannya, siapa pun yang bersikap ceroboh maka nasibnya akan mati mengenaskan dan tidak jelas duduk perkaranya. Sikap itu dalam tanda kutip: salah-salah ngomong akan bernasib buruk di hari berikutnya.
"Kakekmu pernah diserang di alun-alun kota Kertasari oleh enam orang preman yang malak minta duit. Didesak, dimaki-maki, dihujat, bahkan dikatai dengan bahasa hewan. Dengan perlakuan itu semua, kakekmu tetap menjawab dengan ramah, dengan tenang dan santun; menjelaskan kalau dia tidak memiliki uang. Preman-preman itu menanggapi kalau itu hanya sekadar alasan atau omong kosong, lantas mereka marah dengan memaki-maki, semua kata-kata kotor dan kata-kata hewan semakin menjadi - di lemparkan pada kakekmu. Kakekmu masih tetap bersikap tenang kala itu, tidak terpancing sedikit pun. Namun, ketika makian itu ditujukan pada Bunda Lestari, nenekmu, kakekkmu langsung naik pitam, matanya merah seakan ada api yang berkobar. Sontak enam preman itu mundur menjaga jarak, dan gemetar melihat mata yang menyala-nyala. Barang mereka akan menyerang, kakekmu bersidakep - berdiri tegap menantang. Belum sempat preman-preman itu melangkahkan kaki untuk melancarkan serangannya, kakekmu menggerakan jarinya satu kali dan seketika mereka semua ambruk di atas jalanan yang masih campuran tanah dan bebatuan kecil; dua di antara mereka pingsan tak sadarkan diri dan empat orang lainnya tak mampu berdiri."
Batara membelalak kagum, matanya berbinar, dan semakin penasaran dengan adegan selanjutnya.
"Padahal semua orang tahu kalau preman-preman itu dikenal sadis," tegas Sentaya Pranama.
"Setelah itu, Pak?" Batara penasaran. Dia menggeser posisi duduknya menghadap pada ayahnya, dan memasang telinganya lebar dan lebih cermat.
"Kakekmu mendekati keempat orang yang tak mampu berdiri itu. Matanya masih merah menyala-nyala. Empat orang preman itu mundur berangsur-angsur dengan kakinya yang digusur-gusur karena ketakutan. Kakekmu menghentikan langkahnya, dan berkata 'Bilang pada dedeungkot (ketua) kalian, salam dari Basra Prnama, si Paser!' Suaranya terdengar menggelegar, selayaknya suara harimau yang diandaikan bisa berbicara. Dan, mendengar julukan itu, empat orang yang ketakutan itu meminta ampun – bersujud-sujud."
Batara semakin kagum atas dirinya sebagai turunan jawara, mewarisi darah jawara. Dia mengepalkan tangannya, bertekad akan menjaga warisan darah jawara itu dengan senyuman kecil penuh percaya diri.
Sentaya meminum air kelapanya, terlihat jakunnya bergerak naik turun ketika dialiri kelapa, dan dia melanjutkan lagi, "Cerita itu tersebar di mana-mana. Membuat meradang dedeungkot preman itu, sampai preman itu mencari kakekmu dengan membawa seorang jawara dari tanah Jawa," Sentaya menunjuk arah selatan, "namanya Chokro Darat. Waktu itu bapak dan kakekmu baru pulang dari hutan mencari kayu bakar. Ketika sampai di halaman rumah, jawara Chokor Darat yang menggunakan baju belang-belang merah putih, celana hitam, serta sebilah arit di pinggangnya berdiri jumawa dengan kumisnya yang tebal. Dedeungkot preman dan enam anak buahnya yang waktu itu dihajar di alun-alun berdiri mentereng di depan pintu. Belum sempat kayu bakar yang bapak dan kekakmu panggul diturunkan, dedeungkot preman itu berdiri dari atas bale seraya menodongkan telunjuknya, 'Hey kau, si Paser! Sudah lama aku menunggumu di sini' dengan tenang kakekmu menaruh ikatan kayu di pundaknya ke atas tanah, di senderkan pada pohon jambu air yang berada di depan rumah (pohon jamu air itu masih ada, dan usianya telah tua dan berjanggut dengan lumut-lumut dan parasit-parasit yang merambat). Bapak pun menyimpan ikatan kayu yang bapak panggul di samping ikatan kayu milik kakekmu. Bapak tahu kalau mereka para preman itu, namun bapak tidak mengenal siapa lelaki yang berkumis tebal itu.
"Dedeukot itu kembali mengoceh, 'lebih dari satu menit lagi barusan kau tidak datang, aku akan obrak-abrik seisi rumahmu dan akan aku jarah istrimu yang cantik jelita itu yang sedang ketakutan di dalam...' dedeungkot itu tertawa cekikikan diikitu dengan enam anak buahnya yang kala itu meresa mereka akan menang. Anak buah yang tak tahu diri!
"Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas ocehan dedeungkot preman itu, kakekmu langsung menghentak tanah dan sektika enam anak buanya yang sedang tertawa asyik itu runtuh tak berguna, tak sadarkan diri. Tawa dedeungkot preman itu langsung terbungkam melihat ke enam anak buahnya runtuh ke tanah. Jawara Chokro Darat langsung mencabut arit dari pingganya, matanya tajam menatap ke kakekmu yang matanya merah menyala.
"Kakekmu berkata pada bapak, 'Kau masuklah, jaga ibumu.' Dengan pandangannya yang tetap awas pada lawan-lawan di hadapannya.
"Si Dedeungkot preman itu tiba-tiba menyerang kekakmu, dia berlari dengan amarah tak terkendali karena merasa dirinya dilecehkan. Ketika larinya baru setangah jalan, kakekmu langsung memasang kuda-kuda panjang dan menyerang dedeungkot preman itu dengan pukulan jarak jauh, BUK" Sentaya memeragakan pukulan yang sangat dahsyat itu di depan mata Batara sampai urat-urat tangannya bermunculan ke permukaan kulit. Sentaya melanjutkan, "Si Dedeungkot Preman itu langsung terpental jauh menghantam pohon kelapa di samping rumah, dan mulutnya memuncratkan darah segar, dia mengerang dan darah segar itu melumuri giginya sampai tak nampak putih lagi. Napasnya tersentak – dadanya tersengal-sengal seakan orang yang sedang dijemput ajalnya. Belum selesai bapak melihat kejadian yang cepat itu, si Jawara Chokro Darat menyerang, dia loncat – terbang dengan arit di tangannya yang diacungkan, siap untuk membacok kakekmu. Di saat itulah bapak berlari ke dalam rumah, memastikan nenekmu baik-baik saja..."
"Bagaimana keadaan nenek?" Batara gereget terbawa suasana.
"Alhamdulillah, nenekmu baik-baik saja. Ketika bapak membuka pintu, nenekmu sedang mengintip dari balik jendela penuh dengan kekhawatiran. Bapak langsung memeluk nenekmu, dan menenangkannya, 'Tenang, Bu, bapak akan baik-baik saja.' Kata bapak pada nenekmu. Bapak pun ikut melihat dari balik jendela.
"Kakekmu menghindar satu langkah ke samping kiri ketika arit itu di tebaskan ke bawah, lalu menghindar lagi dengan merunduk ketika arit yang tajam mengkilat itu ditebaskan dari samping kanan, lalu dengan sangat cepat, tebasan arit itu menyarang lagi dari arah sebaliknya, kakekmu menangkisnya lalu mencengkram pergelangan tangan Chokro Darat. Si Jawara kumis tebal itu berteriak kesakitan sampai arit yang dipegannya terlepas. Pergelangan tangannya remuk. Kakemu menghantam otot tangan bagian bawahnya, sampai tangan itu terkulai lemas. Chokro Darat menyerang lagi dengan pukulan tangan kirinya, namun tangan kiri itu bernasib sama, remuk dan terkulai seakan tak berguna lagi. Kakekmu melihat kaki dari si Jawar kumis tebal itu akan menyerang, tetapi serangan itu baru sampai di pikiran si Jawara kumis tebal itu, kakekmu langsung berposisi setengah jongkok dengan lutut kirinya bertumpu pada tanah dan menghantam sendi-sendi kaki si Jawara kumis tebal itu dengan telapak tangannya. Sangat cepat." Sentaya memperlihatkan bagian telapak tangan yang digunakan untuk menyerang agar mematikan, sambil menepuk-nepuknya. Yaitu bagian bawah telapak tangan. Di lain hari dia pernah menjelaskan kalau pukulan menggunakan telapak tangan itu lebih mematikan dari pukulan menggunakan kepalan tangan. Dia masih melanjutkan,"Tubuh si Jawara kumis tebal itu bergetar, dia tidak kuat lagi menahan tubuhnya. Tak lama, kedua lututnya ambruk ke tanah, kekekku memegang dagunya dan mendongakkannya – menatap wajah kakekmu yang matanya menyala-nyala. Kakekmu mengacungkan tangannya ke samping, memasang serangan dengan pisau tangannya. Barang pisau tangan itu akan ditebaskan ke leher Chokro Darat, nenekmu berteriak melaranganya, dan seketika mata yang menyala-nyala itu padam dan pisau tangan yang belum sempat di tebaskan itu diturunkannya. Kakekmu melepaskan dagu si Jawara kumis tebal itu, dan membiarkannya jatuh tengkurep di atas tanah. Kakekmu berdiri tegap dan meniupkan napas dari mulutnya. Kakekmu kembali tenang. Nenekmu berlari keluar dan berdiri di lawang pintu, dengan tubuh gemetar. Bapak menyusulnya." Sentaya meminum kembali air kelapanya, sedangkan Batara sejak tadi tidak meminum air kelapanya, dia begitu bersemangat dan terbawa suasana mendengar kisah kakeknya itu.
Sentaya menyimpan kembali kelapanya di sampingnya. Angin dari arah hamparan sawah menerpa tubuh mereka. Matahari semakin tergelincir ke sebelah barat. Namun, sedikit enggan untuk berlalu dengan cepat, seakan matahari itu pun asyik mendengar kisah kakeknya Batara itu.
Sentaya melanjutkan, "Tubuh-tubuh tak berdaya dan tak sadarkan diri bergeletakan di halaman depan rumah. Ketika kakekmu benar-benar sadar dari amarahnya, kakekmu melihat tubuh yang terkapar di bawahnya, entah apa yang terjadi saat itu... kakekmu langsung merangkul tubuh Chokro Darat dan berteriak memanggil-mangggil ibumu.
"Nenekmu langsung berlari ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. Bapak pun mengikuti nenekmu dari belakang. 'Ada apa?' tanya nenekmu. 'Siapkan air minum dan obat-obatan. Sentaya bantu bapak mengangkat tubuhnya, bawa ke atas bale.' Tanpa bertanya nenekmu dan bapak langsung menuruti titahnya. Nenekmu langsung berlari ke dalam rumah membawa gelas dan teko gemuk terbuat dari kaleng, dan obat-obatan dari daun dan akar-akaran. Kakekmu selalu bilang, 'Kalau di kita (Indonesia) itu semua tumbuhan adalah obat-obatan, hanya sekarang, orang semakin tidak tahu akan jenis tanaman-tanaman itu.' Setelah tubuh jawara kumis tebal itu dibopong sampai ke atas bale, kakekmu juga meminta agar bapak membantunya untuk mengangkut tubuh dedeungkot preman itu beserta enam anak buahnya. Bapak heran waktu itu." Sentaya menarik napas. Sedang Batara masih memasang telinganya dengan cermat dan matanya yang cemerlang penuh kebanggaan.
Sentaya lanjut bercerita, "Bapak masih keheranan waktu itu, sebenarnya ada apa? Orang-orang yang telah berniat jahat padanya malah diobatinya? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu hanya mendongkol di dalam kepala, bapak tidak berani menanyakannya langsung.
"Singkatnya, Chokro Darat dan dedeungkot preman itu keadaannya menjadi lebih baik, dan enam orang yang tak sadarkan diri telah kembali membelalak. Suasana menjadi teduh, dedeungkot preman yang tadinya seperti serigala yang haus darah pun berubah menjadi lunak. Dan, sendi-sendi kaki Chokro Darat telah kembali pulih, hanya saja pergelangan tangannya yang remuk masih harus menunggu satu minggu untuk kembali normal, tangannya di ikat menggunakan kain hitam yang di dalamnya terdapat racikan dedauanan dan akar-akaran.