Chereads / Pedang Taraka / Chapter 3 - Gelap

Chapter 3 - Gelap

Alex hanya tersenyum.

Danil berang, tangannya mengepal erat. Dia pun sama, memikirkan pertanyaan yang serupa seperti para anak buahnya, 'Apakah Alex akan bunuh diri?'

Angin kencang kembali berhembus melewati pepohonan tinggi dan berdesir menepuk-nepuk dedaunan di dahannya. Di salah satu dahan, ada seekor burung hantu menyaksikan mereka, seakan-akan menjadi penata alur cerita seseorang yang berakhir dengan takdir yang tragis, sekaligus menjadi burung pengintai atas kematian seseorang.

"Lebih baik gue mati ditelan jurang ini, daripada harus mati di tangan pengkhianat seperti kau bajingan!" Alex memejamkan matanya lalu berbisik pada angin malam yang berhembus di depan mulutnya, "Surya, sampai bertemu di alam baka sana," ucapnya. Dan, Alex manjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang galap itu. Sangat gelap. Benar-benar gelap.

Ketika tubuh Alex jatuh melayang ke dalam jurang, burung hantu si Penata alur cerita itu mengikutinya, entah apa yang akan di lakukannya. Bulu-bulunya yang rapat tak mengeluarkan suara kibasan atas kepakannya, dia melesat cepat seakan memburu tubuh yang hampa itu.

"Alex telah binasa, sekarang aku yang memimpin Geng Brata!" Danil mendeklarasikan dirinya sebagai pemimpin.

Anak buahnya berteriak semengat menyambut deklarasi itu, dengan suasana hati memang karena mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar – uang yang lebih banyak. Bisnis narkoba akan dilakukan secara besar-besaran, dan akan lebih sistemartis dan tersembunyi.

Mereka semua meninggalkan jurang gelap itu dengan sorak sorai kemenangan, sedang Alex sudah hilang dari kepedulian mereka, dan dianggap telah mati.

Kembali ke markas besar.

***

Bulan itu tersenyum – menjauh dariku, dia membiarkanku di makan oleh jurang dalam dan gelap, sangat gelap, benar-benar gelap. Jurang itu meyambutku dengan segala kesunyiannya, belum lagi dingin menyelimuti dengan takzimnya. Aku entah dibawa kemana, sekali lagi: semuanya gelap, sangat gelap, benar-benar gelap.

Tiba-tiba dalam gelap itu aku bangkit, dan tak ada rasa sakit yang kurasai. Apakah jurang dalam itu hanya delusi? Atau apakah aku sudah mati?

Kegelapan itu membentuk lorong-lonrong. Dari salah satu lorong terdengar suara ingar-bingar, aku mencari suara itu. Derap langkah mengiringiku di tengah-tengah kesunyian. Sampai di ujung lorong, ada sebuah pintu yang aku yakini di sanalah sumber suara itu. Ketika pintu itu kubuka dengan perlahan, lampu-lampu berkelip menembus celah pintu yang kian membesar. Dan benar saja; suara ingar-bingar itu bersal dari balik pintu ini. Aku kaget. Mataku nyalang. Apa ini?

Orang-orang berpesta poya – wara-wiri, pejabat-pejabat itu bertukar tawa dengan kaum elit yang banyak duit, sesekali menepuk jidatnya karena tertimpa nasib sial. Wanita-wanita penghibur mengelilingi mereka, tubuhnya berlenggak-lenggok dengan gundukan besar menggantung dan kenyal, mereka bilang "Ini mengadu nasib." Suara dari box-box itu gaduh dan meledak-ledak, membuat tempat itu sempurna dalam kebebasan nafsu dan birahi.

Siapa itu?

Dia duduk di kursi empuk, bersender pada pangkuannya, dan menumpang kaki seperti raja. Dia nampak gelisah – termangu dan susah. Apakah itu aku? Asap lintingan mengepul dari mulutnya, bergumpal-gumpal. Tiba-tiba Surya datang menghampirinya dengan kancing kemeja yang terlepas semua, tangan kirinya basah karena habis memeper. "Surya!" Aku berteriak kepadanya, tetapi terasa jauh, sangat jauh. Ya, itu Surya, syukurlah Surya masih hidup. Namun, suaraku tak menembus dimensinya. Nampak Surya berbisik kepada lelaki yang duduk di kursi empuk itu. Setelah Surya mengangkat kepalanya tanda bisikannya selesai, dia langsung berdiri dan menjatuhkan lisongnya dan menginjaknya. Dia mengangkat tangan dan mengepalkannya di atas. Seketika musik dari box-box yang gaduh dan meledak-ledak itu berhenti, dan seisi ruangan itu menjadi senyap, juga lampu-lampu berkelip itu di matikan, hanya tinggal lampu neon saja yang menyala: terang. Aku melihat kesekitaran, semua orang pun sama kebingungan sepertiku. Lantas dia berteriak, "Danil!" teriakannya memecah keheningan. Mataku tersorot kepadanya, sama seperti mata-mata yang lain; pejabat, kaum elit, wanita penghibur, dan pelayan bar.

Ah apa ini? Kejadian itu.

Perkelahian tak terelakan, semua pengunjung berhamburan tak ingin terlibat apalagi sampai meregang nyawa.

Ah apa itu? Surya tidak! Surya kau tidak boleh mati, Surya....! aku melihat Surya meregang nyawa, memuntahkan darah, setelah menyelematkan lelaki yang tadi ia bisiki, sedang dia hanya terdiam saja.

Surya mati, dan lelaki yang telah diselamatkannya itu kabur; berlari keluar gedung: markas Geng Brata.

Aku beralih ke tempat yang lain, tempat yang dingin, gelap, dan sepi. Di mana ini? Jalanan. Bulan sabit. Hutan belantara. Di mana ini?

Lelaki yang kabur itu dicegat oleh mobil merah yang mengkilat, sedang di belakangnya puluhan orang telah menghadangnya pula. Dia turun dari motornya dan tak bisa ke mana-mana, kedua arah telah ditutup. Hanya samping kiri dan kanan yang lebat lebat, rimbun, rapat oleh pepohonan yang menjulang tinggi yang mengakibatkan hutan itu tak terlihat ujungnya.

Dia dijegal oleh dua orang tinggi besar berotot. Lalu di hajar oleh Danil. Satu dua.

Buk Buk!

Seakan memeberi pelajaran, padahal tubuh lelaki itu sudah babak belur akibat perkelahian di markas tadi.

Kemudia lelaki itu diseret ke dalam hutan. Gelap. Puluhan orang beserta Danil mengaraknya seperti mendapat hewan buruan.

Arak-arakan itu berhenti, mereka berhenti di bibir jurang. Dua orang tinggi besar berotot itu melepaskannya, dan lelaki itu kembali di pukuli, Buk Buk! Kulihat sesekali mereka bertukar suara, menawarkan dan menolak.

Buk Buk!

Lelaki itu tak gentar, tetap dengan penolakannya. Dia mundur perlahan, sampai dia berada di ujung bibir jurang. Kulihat bibiirnya berbisik, entah pada siapa, dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam jurang gelap itu. Sangat gelap. Benar-benar gelap.

Siapa dia? Apakah dia adalah aku?

Benar, dia adalah aku. Tubuhku melayang, terbentur batu dan pepohonan dan juga akar-akar, lantas disambut dengan selimut basah bercampur dengan perih luka di sekujur tubuh. Aku terhanyut dan terombang-ambing: kaki, badan, tangan dan kepalaku sesekali berbenturan dengan bebatuan besar dan juga kecil. Aku hanya bisa merasakannya. Semuanya gelap.

Di dalam kegelapan itu aku melihat secercah cahaya, ingin rasanya mendekat pada cahaya itu. Ternyata cahaya itu yang mendekatiku, nampak jelas, aku berkata pada cahaya itu, "Surya?" dia tersenyum kepadaku. Aku mencoba meraihnya, tetapi tanganku tak bisa digerakan, "Kita akan selalu bersama, Surya," kataku lagi. Namun, Lagi-lagi dia tersenyum. "Kenapa aku tidak bisa menyentuhmu?"

"Tidak, Lex." Suara itu menyahuti dengan nada yang tidak memiliki harapan. Senyumannya membuatku kesal, karena melahirkan banyak tanya di kepalaku, "Tidak? Apa maksudmu tidak?" aku menatapnya.

"Perjalananmu masih panjang, Lex..."

"Panjang?" kataku lemah.

"Kau akan menempuh perjalanan yang baru."

Wus....

Seketika cahaya itu lenyap seperti asap yang meminta diri, membawa Surya entah ke mana. Tubuhku tetap diselimuti kedinginan. Terombang-ambing dan terbentur-bentur. Seperti batang kayu di tengah derasnya air sungai. Lalu aku mendengar gemuruh yang sangat dekat, semakin dekat. Aku merasakan aku terjun dari ketinggian dan mendekati suara bergemuruh itu. Ingin rasanya aku berteriak sekencang-kencangnya.

Burrr...

Aku menembus ke dalam suara gemuruh itu, dan dengan perlahan tubuh naik lagi ke permukaan. Suara gemuruh itu menjauh, sedang aku kembali terapung, terombang-ambing, dan terbentur-bentur lagi.

Jauh aku berlayar di dalam gelap, aku merasakan deras itu berhenti dan diganti dengan aliran yang tenang dan bergemiricik. Tiba-tiba aku terhenti - aku menepi. Namun, semuanya masih gelap, sangat gelap, benar-benar gelap. Aku sudah mati. Dan, aku terlelap.

Kegelapan itu berlalu, aku melihat cahaya terang, sangat terang, benar-benar terang. Udaranya terasa sejuk. Hidungku mencium aroma kenikmatan dan kehidupan. Namun, rasa dingin dan perih ini masih mendera di sekujur tubuh. Apakah ini surga? Atau apakah ini neraka? Tak mungkin ini surga.

Ya benar, ini pasti neraka; cahaya itu mulai menyengat tubuhku dengan kehangatan; menjilat-jilati tubuhku yang penuh luka ini. Ah perih. Tulang-tulangku tak tertolong lagi. Aku terkapar, tidak bisa bergerak.

Aku mendengar suara burung-burung berkicau, dan gemiricik air sungai mengalir. Samar aku melihat pohon-pohon hijau menjulang tinggi – menggapai langit yang biru yang tengah dihiasi oleh awan-awan putih yang suci. Apakah di neraka ada kicau burung? Ada gemiricik air sungai mengalir? Ada pohon hijau tinggi? Dan ada langit biru yang tengah dihiasi awan-awan suci? Ah ternyata neraka tak semengerikan bayanganku selama hidup di dunia. Ini sudah lebih dari cukup sebagai balasan hidupku selama di alam fana. Aku tidak menginginkan surga yang indah itu, sebab aku sadar diri karena aku hanya seorang penjahat.

Aku mencium aroma sedap itu lagi, seperti daging yang sedang dipanggang. Aku semakin yakin ini adalah neraka, karena tidak mungkin di surga ada api, dan memang iya karena di neraka memang tempat memanggang daging, tetapi daging panggang ini aromanya sedap. Mungkin memang ada yang aromanya sedap.

Aku tak bisa menggerakan leherku, rasanya seperti patah atau remuk. Kugerakan bola mataku yang lebam dan samar ini ke sudut kanan lalu ke sudut kiri. Tatkala bola mataku mentok di sudut kiri, aku melihat sesosok siluet sedang duduk di depan api kecil dengan asap lembut yang melambai-lambai ke udara, sedang sosok siluet itu memutar-muatar daging panggang yang warnanya mulai kecoklatan di atasnya.

Apakah sesosok siluet itu adalah malaikat? Ah ternyata malaikat penjaga neraka itu baik juga, dia tidak merantaiku, tidak menghantamiku, dan tidak menyambukku. Dia malah menyiapkan daging panggang untukku, dan pasti untukku, karena malaikat tidak diberi pretensi oleh Tuhan, apalagi nafsu makan seperti aku, manusia. Atau mungkin dia iba? Karena melihatku terkujur tak berdaya dan banyak luka. Atau mungkin juga dia menungguku untuk pulih terlebih dahulu? Lalu setelah aku pulih barulah aku disiksanya sebagai seorang ketua perjudian kelas kakap. Kalau memang begitu, tidak apa, aku rida. Setidaknya malakat itu telah baik kepadaku sebelum menunaikan tugasnya sebagai malaikat penyiksa di neraka ini.

"Kau sudah sadar?"

Sayup aku mendengar siluet itu bertanya kepadaku.