"Elang?" tanya Ibrahim sekali lagi memastikan. Lelaki berseragam dengan tiga bintang berwarna emas, yang melekat pada masing -masing kerah kemeja berwarna cokelbat muda itu, menatap lekat ke manik seorang pria berseragam. Pria berpangkat bintang satu yang berdiri dengan sikap tegap, tepat di depan meja kerjanya.
Brigjen. Pol. Kristanto, menyerahkan setumpuk data yang berisi tentang informasi seseorang yang dicurigai sebagai salah satu tangan kanan Mr. X.
Ibrahim segera mengambil data tersebut, kemudian membacanya. Kening sang Kabareskrim berkerut tajam. "Darto alias Elang! Dan mereka akan bertransaksi malam ini. Kamu yakin informasi ini bisa dipercaya?"
Kristanto atau biasa dipanggil Kris, mengangguk cepat. "Salah seorang informan saya yang terpercaya memberitahu akan ada transaksi besar di pelabuhan pada menjelang dini hari nanti, Komandan."
"Oke," jawab Ibrahim pelan sambil terus memeriksa laporan.
"Kumpulkan semua tim, kita rapat sekarang," tegas Ibrahim setelah menutup lembaran terakhir laporan.
"Siap, Komandan!"
Selepas kepergian salah satu bawahannya tersebut Ibrahim menghela napasnya dengan kasar. Lelaki yang memiliki insting tajam itu menduga bahwa, ada yang tidak beres dengan kasus yang tengah dihadapi oleh timnya saat ini.
Komjen Pol tampan itu merasa ada yang berkhianat di dalam jajarannya. Setiap ada titik terang untuk mengungkap aktor utama dalam kasus human traffiking, perdagangan senjata dan narkoba itu, selalu berakhir dengan kebuntuan.
Hampir di setiap penggerebekan yang Ibrahim dan timnya lakukan, selalu terendus oleh mereka dan berakhir dengan kegagalan besar.
Sebagai orang nomor satu di Bareskrim Polri, sudah pasti beban yang dipikul Ibrahim melebihi anggota polisi lainnya. Tekanan yang datang dari pucuk pimpinan tertinggi POLRI, membuatnya semakin stres.
Banyaknya spekulasi yang berkembang diluaran sana, tentang sebab musababnya kegagalan tim Bareskrim dalam menangani sindikat ini yang terkesan bertele-tele, membuat timnya merasa memiliki beban mental yang sangat tinggi hingga nyaris frustasi.
LIMA MENIT KEMUDIAN DI RUANG RAPAT BARESKRIM.
Ibrahim meletakkan tumpukan data yang tengah digenggamnya ke atas meja berbentuk persegi panjang dengan keras. Semua pasang mata yang semula menatap kearah Komandan yang mereka segani itu, serentak mengalihkan pandangannya tertuju kearah kertas bertumpuk tersebut.
"Akan ada transaksi dini hari nanti di pelabuhan. Leo, aku ingin kamu kirim beberapa orang anak buahmu untuk memantau lokasinya dari sekarang dan laporkan hasilnya secara berkala."
"Siap, Komandan!" sahut Leo tegas.
"Maaf, Komandan. Bagaimana jika kali ini kembali lolos seperti kejadian di El Tari, Nusa Tenggara Timur?" tanya Pramudya sedikit cemas.
Ketika itu Pramudya beserta timnya menggerebek transaksi perdagangan senjata di bandara El Tari, NTT. Transaksi senjata api laras panjang yang di duga akan diselundupkan ke negara Timor Leste itu ternyata adalah sebuah pengalihan saja. Nyatanya mereka membongkar peti yang berisi bahan pokok makanan, yang berjumlah tidak kurang tiga peti berukuran besar, dari sebuah pesawat kecil jenis Cessna Caravan. Pesawat jenis ini biasanya digunakan untuk mengangkut bahan makanan, atau dokumen ke daerah-daerah pelosok, pada landasan berumput atau berkerikil.
Sementara itu di tempat berbeda pada waktu yang hampir sama, transaksi sebenarnya telah berhasil dilakukan melalui jalur darat, di perbatasan NTT dengan Timor leste.
"Bagaimana jika kali ini berhasil? Aku tidak akan pernah melepaskan kesempatan sekecil apapun untuk menghancurkan sindikat mereka, Pram. Kegagalan tempo hari harusnya membuat kita belajar untuk lebih berhati-hati dalam bertindak bukannya membuat kita putus asa dan dihantui dengan kegagalan."
"Siap, Komandan!" sahut Pramudya.
"Adi. Awasi pergerakan Hermawan, pantau dia, dua puluh empat jam. Aku curiga dia ada hubungannya dengan si X itu. Kamu bisa tempatkan beberapa orang untuk menyamar. Tetapi jangan mencolok, berbaur dengan lingkungan sekitarnya supaya dia tidak merasa diawasi. Kita harus tahu bagaimana cara si X menghubungi kaki tangannya dan kita hanya butuh kelengahan Hermawan untuk membuka kedok Mr. X." Ibrahim memberi instruksi kesalah satu anggota timnya yang berpangkat paling rendah diantara anggota lainnya.
"Maaf, Komandan. Sebenarnya saya sudah mulai mengawasi Hermawan seminggu ini."
"Kamu apa?" seru Ibrahim dengan wajah terkejut.
"Maaf, Komandan. Sedari awal saya sudah curiga jika lelaki itu adalah dalang dibalik beberapa kasus hilangnya gadis-gadis muda secara misterius. Saya sudah menempatkan beberapa anggota untuk menyamar di seputar rumah juga di dua klub miliknya."
Ibrahim tersenyum sinis lalu berkata dalam nada rendah. "Lalu kapan kamu berencana akan menceritakan ini semua kepadaku, Brigjen Sulistio Adi? Apa perlu aku ingat' kan kepada siapa kamu harus mempertanggung jawabkan semua tindakan yang akan dan telah kamu ambil?"
Adi menghela napas pelan dan dalam, merasa terlalu gegabah dalam mengambil sebuah tindakan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandannya. "Saya minta maaf, Komandan. Saya terlalu menuruti keinginan sendiri tanpa melapor terlebih dahulu."
"Ini kasus besar dan kita semua tengah disorot oleh masyarakat karena belum mampu menyeret aktor utamanya ke penjara! Belum juga tekanan dari Petinggi Polri yang lainnya yang menginginkan semuanya segera dituntaskan! Ini kerja tim dengan satu komando jadi seharusnya kamu tidak seperti ini!"
Ibrahim menatap tajam ke semua anggota timnya. Pembawaannya yang tenang dan tegas dalam mengambil tindakan, membuat Kabareskrim tampan itu dihormati oleh bawahannya serta disegani oleh para petinggi POLRI namun, sangat ditakuti sekaligus dibenci oleh musuh-musuhnya.
Sepak terjang Ibrahim dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, terlebih lagi tak mempan disuap, membuat banyak pihak yang berseberangan dengan prinsipnya menjadi gerah dan berniat menjatuhkan.
"Untuk semuanya, sekali lagi aku tegas 'kan. Tidak ada yang namanya bertindak sendiri tanpa koordinasi dulu denganku! Semua bertindak atas perintah dariku, dan akan ada sanksi Indisipliner bagi yang melanggar!"
"Siap, Komandan," ucap semua yang ada di ruangan rapat itu serempak.
"Masih ada beberapa jam lagi sebelum penyergapan. Persiapkan semua sesuai rencana. Pastikan semua clear. Cek secara menyeluruh, termasuk standar keselamatan semua anggota harus kalian perhatikan, supaya tidak ada korban dari pihak kita. Periksa kembali persenjataan dan alat komunikasi. Laporkan secepatnya jika ada kendala! Kita berkumpul tiga puluh menit sebelum keberangkatan." Ibrahim beranjak dari kursinya lalu meninggalkan ruangan dengan bergegas. Satu persatu tim Bareskrim mulai meninggalkan ruang rapat. Mereka harus mempersiapkan penyergapan dini hari nanti di pelabuhan Priok, sesuai dengan rencana.
Ibrahim yang telah masuk ke dalam ruangannya dan tengah bersandar pada punggung kursi, segera mengambil ponsel yang ada di dalam saku celana. Terdiam sebentar, sebelum jari tangannya mengetikkan pesan kepada seseorang.
"Kali ini kamu harus membantuku," gumamnya setelah memasukkan kembali ponsel pada tempat semula.
Menegakkan tubuhnya dengan cepat, lalu beranjak dari kursi, Ibrahim mengambil sebuah berkas yang ada di atas meja. Jendral Polisi itu pun bergegas meninggalkan ruangannya kembali.