Dentingan terdengar dari sebuah lift yang berhenti pada lantai dua puluh di salah satu gedung apartemen di daerah Jakarta Selatan, pada waktu subuh.
Ibrahim mengayunkan langkahnya dengan cepat. Melewati kotak besi tersebut, menuju ke salah satu pintu bernomor 7037.
Bunyi klik terdengar saat pintu dengan kunci digital itu terbuka, yang segera menutup secara otomatis ketika tubuh Ibrahim memasukinya. Lelaki berpakaian serba hitam itu segera membuka topi dan jaket, sambil berjalan melintasi ruang, antara dapur di samping kanan dan meja makan berbentuk bundar di sebelah kirinya.
"Tangi, Bar. Subuhan!"(bangun, Bar. Subuhan) Ibrahim meletakkan topi tepat di wajah sang adik sepupu yang tengah terlelap. Air liur mengalir melewati mulutnya yang menganga. Polisi berbintang tiga itu bergidik, jijik.
Dia kembali melempar jaket hitamnya diatas tubuh sang adik dengan sedikit keras.
Ibrahim berjengkit. Mulutnya mengumpat, saat melihat tubuh Hero yang tidur terlentang tepat di depannya, tiba-tiba menghilang.
"HERO AKBAR RAMADHAN! Bangun dan cepat keluar dari kamar! kita jamaah!" Teriak Ibrahim dengan wajah letih bercampur kesal. Dia tahu pasti berada dimana tubuh sepupunya saat ini.
Raga jendral polisi itu teramat Letih karena dua puluh empat jam lebih belum beristirahat dan sekarang bercampur kesal dengan kelakuan Hero yang suka ngilang sembarangan. Jantung Ibrahim harus sering di check up demi kelangsungan hidupnya!
Ibrahim mengatur napas untuk menormalkan kembali detak jantun yang jumpalitan setiap kali melihat kelakuan abnormal Hero.
Makan pakai sendok yang bergerak sendiri, sementara kedua tangannya mengetik diatas Laptop! Muncul tiba-tiba di dapur kakak sepupunya dengan pakaian pendaki yang dipenuhi butiran salju, hanya untuk membuat secangkir besar kopi panas, yang akan di minum diatas puncak Himalaya! atau membeli Sukiyaki di Nagoya, untuk disantap di Pantry apartemen pribadinya di Kemang!
Super absurd sekali Hero Akbar Ramadhan ini!
Ibrahim segera menuju ke kamar mandi yang ada di pojok ruangan, untuk berwudu. Waktu azan Subuh berkumandang sudah satu jam lalu.
"AKBAR! Cepat wudu sekarang atau nunggu malaikat Izroil yang samperin kamu!" teriak Ibrahim sambil bersungut-sungut.
Baru saja bibir cokelat Ibrahim menutup, tiba-tiba dari arah lantai dua, tubuh Hero yang masih dalam posisi tidur, melayang turun secara perlahan. Ibrahim berdiri dengan mata melotot mulutnya sedikit terbuka saat tubuh terbang itu melintasinya. Badan kekar berbalut jaket itu lalu berbelok dengan cepat, mengarah ke kamar mandi dan ....
"STOP!" teriak Ibrahim seketika dengan wajah panik. Tubuh melayang Hero pun langsung berhenti tepat di depan pintu toilet. "Jaket mas!" seru Ibrahim sekali lagi.
Jaket hitam yang semula menutupi bagian atas badan Hero, seketika melesat cepat kearah pemiliknya. Si empunya jaket terlonjak kaget sambil mengumpat beberapa kali. Jaket itu jatuh tepat mengenai wajah menawannya. Ibrahim kembali mengumpat dan disusul suara pintu kamar mandi yang tertutup keras! BLAM ...!
Lima menit kemudian,
"Bar!" Hero yang berdiri disebelah kanan Ibrahim dengan posisi agak ke belakang, mengalihkan tatapannya kearah Kakaknya tersebut. Kabareskrim ganteng itu menyorot tajam Hero sembari berkacak pinggamg.
"Opo meneh, Mas?"(apa lagi, Mas?) jawab Hero dengan malas. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Ibrahim menunjuk kearah kaki Hero menggunakan dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Lelaki berwajah manis yang rambutnya dibiarkan tergerai itu seketika melihat kedua kakinya dengan kening berkerut, karena tidak paham dengan kode yang dimaksud.
"Turunin kakimu! Jangan melayang kayak hantu! Nggak sah nanti salatnya!" hardik Ibrahim yang sudah habis kesabaran menghadapi sikap absurd adiknya pagi ini.
Hero tersenyum kecut sembari menapakkan kembali kedua kakinya diatas sajadah. "Maaf, Mas. Masih ngantuk." "Asem ... asem," rutuknya dalam hati.
Setelah selesai solat subuh yang tidak tepat waktu gara-gara kelakuan Hero, Ibrahim langsung tertidur pulas diatas sajadah, tanpa melepas sarungnya terlebih dahulu. Rasa lelah dan kantuk yang sedari tadi lelaki itu tahan, sudah melebihi kekuatan tubuhnya untuk tetap terjaga.
Hero yang baru saja kembali dari kamar mandi untuk menunaikan kebutuhan dasarnya di setiap pagi, tertegun melihat Ibrahim yang tidur meringkuk dengan memakai sarung beralas karpet. Dipandangi wajah kakak sepupunya itu lekat-lekat.
Kakak yang selalu menyayanginya layaknya kasih sayang Ibu dan Ayah sekaligus.
Waktu itu Hero masih kelas 3 SMP di salah satu sekolah negeri di Semarang, sewaktu terjadi peristiwa kecelakaan pesawat terbang komersil yang meledak sepuluh menit setelah take off. Kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia itu membuat seluruh penumpang beserta crew pesawat meninggal dunia, termasuk di dalamnya kedua orang tua beserta adik perempuan satu-satunya dan kedua orang tua beserta adik laki-laki Ibrahim.
Semenjak itu Ibrahim yang kala itu menjabat sebagai Kepala Kepolisian Banten segera mengambil alih hak asuh Hero dan tinggal dengannya setelah Hero menyelesaikan SMP-nya di kota Lunpia tersebut.
Nasib dan status yang sama meski rentang umur selisih tujuh tahun membuat hubungan keduanya semakin erat, dengan ikatan batin yang kuat. Mereka berdua saling mendukung dan saling bantu dalam hal apapun.
Hero sering membantu menyelesaikan kasus-kasus yang Ibrahim tengah hadapi, sehingga banyak mendapatkan pujian dari berbagai pihak dan membuat kepercayaan masyarakat umum terhadap polisi meningkat, berdampak pada karier kepolisian Ibrahim yang saat ini menjabat sebagai seorang Kabareskrim Polri Komjen Ibrahim Ahmad.
Ibrahim dengan jabatannya yang tinggi akan selalu membereskan kekacauan yang ditimbulkan oleh adik kesayangannya itu saat menggunakan kekuatan penghancur yang dimiliki oleh Hero, sewaktu menghadapi para penjahat negara, sehingga identitasnya tidak diketahui oleh masyarakat.
Hero bekerja di bawah tangan dalam perlindungan penuh Ibrahim.
Tubuh Ibrahim menggeliat sebentar ketika tangan Hero menyentuhnya dan seketika tubuh kekar itupun berpindah tempat, berada di atas kasur empuk milik Hero, di lantai dua, apartemen type loft. Apartemen 1,5 lantai yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri sebagai seorang Trader dan Programmer.
Hero memandang Ibrahim sekali lagi sambil berucap dalam hati sebelum menghilang ke pantry. 'Tidur yang nyenyak. Aku bikin sarapan dulu.'
Sebagai seorang yatim piatu yang mandiri dengan predikat jomblo abadi, Hero mahir mengurus dirinya sendiri termasuk urusan perut. Meski masakannya belum seenak chef Juna tapi lebih juara dibanding asisten rumah tangga, apalagi Ibrahim, beda level. Ibrahim boleh punya jabatan mentereng, disegani banyak orang, tetapi kalau urusan dapur, Komjen itu jagonya. Jago menghancurkan rasa!
"Bar, baunya enak banget. Kwe masak opo, Le?"( Bar, baunya enak sekali. Kamu masak apa, Le?) Ibrahim yang melangkah turun dari lantai atas, menguap sambil merenggangkan tangannya. Kepalanya menoleh ke pantry yang ada di seberang tangga, indera penciumannya mengendus bau sedap, harum dan pedas, membuat perut kotak-kotak kebanggaannya berbunyi dangdutan.
"Le ... le ... le ... le, emangnya aku Lele, Mas!" Hero selalu jengkel bila dipanggil dengan sebutan itu. Ikan yang membuatnya selalu bergidik jijik, meski hanya membayangkannya saja.
Ibrahim terkekeh pelan dan langsung meletakkan lengannya yang besar dan liat itu di atas pundak Hero. "Iya, maaf ... maaf. Nggak lagi-lagi. Le," ledek lelaki maskulin itu yang langsung disambut sikutan di pinggang. "Aduh! Sakit, l – " belum selesai bicara, Hero sudah melotot sinis kearahnya.
"Sabar ... sabar. Ini ujian!" lontar Ibrahim cengengesan, sambil melihat nasi goreng yang sedang di plating adiknya diatas piring berbentuk kotak, menggugah selera untuk dihabiskan tanpa sisa.