Butuh waktu tidak kurang dari sepuluh menit bagi keduanya untuk menandaskan sepiring nasi goreng terasi spesial, favorit Ibrahim. Salah satu cara Hero dalam menunjukkan rasa sayang dan pedulinya kepada kakak sepupu yang juga idolanya itu tanpa harus repot-repot diucapkan.
"Makasih, Bar." Ibrahim merengkuh tubuh Hero yang duduk di sampingnya, di atas sofa panjang berwarna krem, yang ada di ruang keluarga. "Di jam-jam terakhir, kamu kasih info yang menyelamatkan nama Bareskrim dari cemoohan dan membuat orang-orang kembali mempercayai keseriusan kita dalam memberantas sindikat Black Orchid, yah ... walaupun pemimpin utamanya belum mampu kita sentuh."
"Tenang aja, Mas. Cepat atau lambat pasti kebongkar siapa sebenarnya si Mr. X itu dan langsung kita seret ke pengadilan."
Ibrahim beranjak dari sofa, mendatangi lemari es yang ada di pantry lalu mengambil minuman kopi kalengan. "Mau, Bar?" tawar lelaki itu sambil mengangkat sekaleng kopi.
"Isotonik aja, Mas," jawab Hero sambil menguap.
"Ngomong-ngomong kamu belum cerita lho ke mas, tentang jebakan kontainer. Gimana ceritanya kamu bisa tahu kalau transaksi sebenarnya ada di lepas pantai?" Ibrahim mengulurkan minuman kaleng isotonik kearah Hero, yang dengan cepat menerimanya lalu menegak isinya setelah menarik kaitan penutup kaleng.
"Aah ... seger." Hero mengusap bibirnya dari sisa air isotonik. "Jadi gini. Sore itu habis kelas, aku langsung ke Priok, ngecek ke terminal peti kemas. Dua orang anak buah Darto keluar dari pelabuhan setelah menerima telepon. Aku ikutin mas."
"Naik motor?" sela Ibrahim.
"Nggak. Aku ngumpet di bagasi."
"Sembrono kamu! Kalau mereka tahu gimana?"
"Ya ngilang lah! Udah deh jangan di sela mulu. Dengerin dulu napa. Singkatnya mereka itu pergi ke sebuah gudang. Dari percakapan mereka, baru aku tahu kalau kontainer yang ada di Priok itu isinya ikan asin! Langsung aja aku cek, masuk ke kontainer yang tadi aku intai dan memang bener kalau isinya ikan asin semua! Habis itu aku balik lagi ngumpet di bagasi dan ternyata di dalam mobil itu sudah ada Darto juga satu orang anak buahnya. Mobil yang aku tumpangi bergerak meninggalkan gudang, menuju ke sebuah pantai yang sepi, hanya ada satu dermaga kecil dari kayu. Mobil berhenti, aku keluar dari bagasi, nemplok di atas pohon kelapa sambil mengamati kedaan."
"Habis itu kamu telepon mas?"
"Belum telepon sih waktu itu. Aku telepon setelah tahu pasti kalau peti kayu yang ada di gudang itu isinya senjata. Bolak-balik lho mas aku mastiinnya. Pelabuhan, gudang, pohon kelapa. Begitu fix tahu rencana mereka, baru aku telepon Mas Baim."
"Untung kamu bisa Teleportasi jadi ngirit waktu dan ongkos, kalau harus bolak-balik begitu, Bar," seloroh Ibrahim . "Kok kamu yakin itu anak buah Darto? Kalau ternyata itu pegawai pelabuhan gimana?"
"Mas meragukan ingatan eidetikku?"
"Ya, kali aja salah, Bar, namanya juga manusia tempatnya salah dan lupa," cengir polisi ganteng itu.
Hero mendengkus mendengarnya, berbarengan dengan suara bel pintu apartemen.
"Kamu nunggu tamu?" tanya Ibrahim heran karena apartemen ini disembunyikan keberadaannya oleh Hero, bahkan Fahri satu-satunya sahabat juga tidak tahu.
Hero menggeleng tidak yakin. Kemudian bergegas ke pintu dan melihat siapa yang datang lewat layar monitor kecil yang ada di dekat pintu.
"Mbak Laras?" gumamnya. Hero berpaling kearah Ibrahim sambil tangannya menunjuk kearah tembok sebelah dan berkata tanpa suara. "Mbak Laras."
Ibrahim yang sadar siapa yang menekan bel, segera lari sembunyi ke balkon tidak jauh dari tempat dia duduk. Setelah dirasa aman, Hero segera membuka pintu.
"Eh, Mbak Laras. Ada apa ya, Mbak?" sapa Hero basa-basi.
Perempuan cantik yang dipanggil Laras itu menengok kearah dalam apartemen sambil tersenyum malu, ditangannya ada rantang berwarna biru. "Anu Dek. Ini tadi mbak masak sayur sama lauk, buat Dek Hero sama Mas Ibrahim makan siang. Diterima ya." Perempuan berkulit kuning langsat itu mengulurkan rantang biru dari tangannya.
Hero menerima rantang itu dengan ragu. "Kok tahu ada Mas Ibrahim, Mbak?"
"Iya, tadi subuh nggak sengaja lihat Mas Ibrahim keluar dari lift."
"O ... begitu."
"Eh ... iya, Dek." Wajah Laras menunduk menyembunyikan wajahnya yang cantik bersemburat merah. "Mas Ibrahimnya lagi apa Dek?" tanyanya kemudian dengan pelan.
Hero tertawa keras dalam hati melihat kelakuan tetangga apartemennya yang naksir berat kakak sepupunya. "Lagi tidur tuh, Mbak. Maaf ya Mbak Laras nggak bisa masuk, soalnya pamali. Mbak perempuan, lah ... disini dua-duanya Barongan."
"Apa?"
"Enggak, maksudku disini ada dua orang lelaki dewasa, jadi kalau Mbak masuk ke dalam bisa bahaya."
"Iya, Dek, mbak ngerti kok. Ya, udah sampein aja salam Mbak buat Mas Ibrahim. Jangan lupa dihabisin masakannya. Mbak pulang ya," pamit Laras sambil melirik ke dalam apartemen sekali lagi.
"Pasti kami habisin, Mbak. Terima kasih banyak Mbak Laras. Hati-hati di jalan." Hero tersenyum lebar sambil dadah- dadah kepada Mbak Laras yang juga tersenyum geli, hingga tubuh sintalnya menghilang dibalik pintu sebelah.
"Mas Ibrahim. Ada kiriman makan siang nih dari calon," seru Hero sambil meletakkan rantang biru ditangannya di atas meja makan. " Mas Baim ...."
"Berisik kamu, Bar. Ngapain si Laras kemari? Apa itu?" sembur Ibrahim dari balik gorden balkon lalu bergegas menuju meja makan.
"Penasaran 'kan. Makanya ditemuin, diomongin terus dinikahin biar tuntas. Cinta kok sembunyi-sembunyi. Ngomong Mas, Ngomong. Jangan lari kalau Mbak Laras kemari. Bilang I Love You susah amat!"
"Halah kayak kamu punya pacar aja, Le ... Le. Auch! Apaan sih, Bar, Lempar tutup rantang segala! Sakit beneran ini! Aku tuntut lho nanti."
"Tuntut sana sama yang punya rantang!" sungut Hero sambil menata rantang diatas meja. "Dari Mbak Laras buat Mas Ibrahim. Katanya dibuatnya pakai CINTA dan kasih sayang, jadi makanannya kudu dihabiskan."
Ibrahim melihat satu persatu lauk dan sayur yang ada di dalam rantang dengan mata berbinar. Hero yang memperhatikan perubahan ekspresi Ibrahim menjadi tersenyum bahagia, akhirnya ada juga perempuan yang mampu membuat senyuman mahal Kabareskrim itu mengembang.
"Udah langsung tancap, keburu dingin. Nanti susah lho ngangetinnya, harus seret Mbak Laras kesini biar hangat. Repot 'kan."
Ibrahim menatap tajam adiknya yang selalu saja menggodanya habis-habisan ketika bersinggungan dengan Laras, tetangga sebelah apartemen dengan status janda cantik tanpa anak. Wanita berambut panjang yang mampu membuat jantung orang nomor satu di Bareskrim itu berdebar kencang saat menatap wajah kalemnya dan kalang kabut sendiri ketika lama tak bersua.
Ibrahim menyantap kiriman makan siang itu sendirian karena Hero menolak dengan alasan masih kenyang dan memilih kembali ke sofa sambil merebahkan tubuh di atasnya.
Dering telepon mengusik ketenangan di siang hari. Hero yang tahu bahwa itu berasal dari ponselnya, membiarkan saja tanpa berniat mengangkat namun, dering itu terus saja berbunyi.
"Bar, angkat teleponmu. Ganggu orang lagi makan."
Apanya yang ganggu? Makan bukannya pakai mulut? bukan pakai telinga 'kan? Dasar bucin, nggak sadar kalau Bucin. Maki Hero dalam hati. Tangannya menggapai ponsel yang ada di atas meja bulat di depan sofa.
"Assalamu'alaikum. Napa, Ri?" ucap Hero malas-malasan ketika melihat nama si penelpon, 'Fahri Gemblung'.
"Bar –"
"Jawab dulu salam gue!"
"Waalaikumusallam. Bar, kemarin lo 'kan nyuruh gue ambil motor di parkiran. Nah, sekarang gue di parkiran, tapi motor lo kagak ada!"
"Ada lah! Nyarinya yang bener dong. Lo tahu ciri-ciri motor gue 'kan? Nopolnya juga?"
"Iye tahu. Tapi beneran kagak ada ini di parkiran, swear, kagak bohong gue! Yang ada justru titipan surat."
"Ngomong jangan ngaco. Gue suruh lo cari motor bukan cari surat! Lo pikir ini era 90-an, segala surat pakai dititip – titipin!"
"Yaelah malah ngegas sih, lo! Nih, gue bacain suratnya! Untuk kamu pemilik motor sport hitam. Maaf, motor kamu aku sita! Mau diambil? Hubungi aku di no 082313099666. NADIA. FIX, motor lo di culik!"
" HAH! KOK BISA!" Hero seketika berdiri melayang. Fahri memutus telepon, dan Hero jadi bengong.
"Ada masalah, Bar?" tanya Ibrahim penasaran. Lelaki itu belum selesai dengan makannya, kemudian beranjak mendekati Hero yang berdiri termangu di udara. "Turun!" sambungnya dengan nada tegas.
Tubuh Hero perlahan turun sambil menatap wajah Ibrahim dengan lemas. "Mas, motor yang tempo hari mas kasih buat hadiah ultahku." Ada jeda sesaat. "Diculik!"
"APA?!! KOK BISA?"