Sebuah BMW merah memasuki pelataran kampus Tehnik Informatika, kemudian berbelok dan memarkirkannya di tempat khusus mobil.
"Prita, gue udah di parkiran nih. Entar masuknya nungguin elu aja. Emang udah nyampe mana sih, lama amat?"
"Iya bentar. Gue muter dulu jemput Lulu. Sejak putus dari Niko Dia kagak punya kacung buat antar jemput kuliah. Auw ... sakit Luk! Udah ya, Nad. Tunggu gue diparkiran setengah jam lagi."
Nadia yang belum beranjak dari balik kemudi, segera mematikan ponsel, lalu menyimpannya di dalam tas.
Radio FM memperdengarkan sebuah lagu berirama cepat. Nadia memperbesar volumenya.
"Awali hari dengan musik yang menghentak memang ide yang brilliant," ucap Nadia sembari tersenyum. Badannya bergoyang sambil bernyanyi mengikuti lirik lagu.
Sebuah motor sport warna hitam tiba-tiba melintas di depan mobil Nadia, membuat gadis itu terdiam seketika. Tubuh padat berisi itu mendadak kaku dengan mata yang terbelalak.
Butuh beberapa detik bagi otaknya memproses tentang keadaan yang baru saja terjadi.
"Motor itu? Dia?" Bergegas Nadia membuka pintu kemudian berjalan cepat kearah depan mobil.
"Mana dia? Mana motornya?" Mata Nadia mencari-cari dimana motor sport itu berada. Sambil terus berjalan gadis itu mencari tempat parkir khusus motor di pelataran kampus yang luas ini.
Satu demi satu matanya menelisik, mencari motor sport warna hitam yang selama ini diburunya.
"Harus dapet ... hari ini aku harus ketemu, HARUS!" tekadnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian pencariannya berbuah senyuman manis. Sebuah motor sport warna hitam dengan plat nomor yang persis seperti dalam ingatannya kini berada tepat dihadapan.
Seperti orang gila, Nadia mengelus-elus jok motor sport itu penuh perasaan, seolah si pemilik motor berada di atasnya.
Kilasan peristiwa itu seperti sebuah slide film yang terus berputar dalam ingatannya.
Tentang bagaimana lelaki berhelm tersebut menolongnya. Tentang lengannya yang memeluk erat pinggang lelaki yang berbalut jaket denim beraroma maskulin dan berakhir dengan lelaki itu yang meninggalkannya di pos polisi.
Lelaki misterius yang menyembunyikan wajahnya di balik helm dan enggan menyebutkan nama. Hanya suaranya saja yang masih terngiang di telinga Nadia, meski tidak terdengar jernih karena teredam oleh helm.
"Nadia!" Suara teriakan Lulu membawanya kembali ke alam nyata. Sahabat Nadia itu berjalan cepat kearah gadis itu dengan Prita bergegas menyusul di belakangnya.
"Nadia! Lu ngapain disini, diparkiran motor? Hampir aja gue hubungi bokap lu?" teriak Lulu panik.
"Hah, ngapain hubungi bokap gue segala?" Nadia mengernyitkan dahi tampak kebingungan.
"mobil lu kagak ke kunci. Tas, laptop semua ada di dalam. Lu pikir kita-kita kagak panik apa? Gue pikir lu diculik lagi, Nad. Panik gue, sumpah. Mana lu anak baru di kampus ini, takut kenapa-napa." Prita menimpali sambil menata napasnya yang ngos-ngosan. Efek mencari Nadia kesana kemari.
"Gue nggak kenapa-napa kok, sehat dan selamat!"
"Terus kenapa lu di parkiran motor? Itu motor siapa yang lu pelototi pakai dielus-elus segala?. Lu lagi nggak kepikiran jorok 'kan, Nad?" Lulu menyipitkan matanya dengan tatapan tajam kearah Nadia.
"Apaan sih," elak Nadia dengan pipi merona.
"Eh, tunggu ... tunggu." Prita tiba-tiba berjalan mendekati Nadia sambil mengamati motor sport itu. "Jangan bilang kalau ini motor, motor yang selama ini lu cari. Maksud gue si pengendaranya."
Nadia mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Anjir. Lu yakin, Nad?" tanya Lulu memastikan.
"Yakinlah. Semuanya sama persis, baunya juga sama. Baunya dia." Nadia tersenyum semakin lebar sembari mendekatkan hidung mancungnya ke jok motor. kelopak matanya terpejam, menghadirkan kembali aroma kuat si pengendara yang selalu diingatnya.
"Fix, Nadia error!" Lulu dan Prita kompak mengucap sambil tersenyum miris.
Tiga puluh menit sudah Lulu dan Prita menemani Nadia duduk di pojokan gedung, dekat dengan parkiran motor. Beruntung ada sebuah bangku kayu panjang di situ sehingga mereka bisa duduk tanpa harus kaki pegal-pegal.
"Nad, bentar lagi kelas nih," ucap Prita dengan muka cemas, membayangkan Mr. Smith yang tidak pernah mentolerir keterlambatan mahasiswanya.
"Udah tinggal aja. Yang Lu tungguin Cuma motornya doang, yang punya juga kagak ada," bujuk Lulu kemudian. Gemas melihat sahabatnya yang terus saja menatap ke arah motor sport tanpa bicara.
"Menurut Lu kalau gue tungguin disini bakalan ketemu dia nggak?"
"NGGAK!" seru Prita dan Lulu berbarengan. Nadia sontak cemberut.
"Nad, udah deh. Lu 'kan sekarang udah tahu, kalau pahlawan Lu itu kuliah di sini. Masalah ketemuan, nanti kita bantu deh. Yang pasti ini parkirannya senior, berarti cowok itu senior kita di kampus." Tutur Lulu yang diangguki oleh Prita.
"Menurut kalian begitu ya?"
"Ya Allah, Nadia Bagaskara! Tolong ya itu bucin dikendalikan, belum juga ketemu sama orangnya! gue nggak bisa ngebayangin kalau udah jadian. ancur ... ancur. Lemah hati lo!" Lulu menepuk jidatnya, merasa kesal sendiri dengan kelakuan sahabatnya yang menurutnya di luar batas kebucinan.
"Udah ah, gue ke kelas. Kalau Lu masih ngotot nungguin, serah Lu!" Lulu beranjak dari bangku lalu berjalan menjauh. Sementara Prita bergeming, karena tidak bisa meninggalkan Nadia seorang diri di tempat yang baru saja dikenalinya.
"Nad." Prita menggeser tubuhnya kearah Nadia. "Kenapa Lu nggak minta tolong sama Bokap Lu soal ini? Lu 'kan bisa minta tolong beliau buat cari tahu siapa pemilik motor itu."
Nadia menundukkan kepala sambil berkata, "Bokap gue nggak tahu soal penculikan itu, Prit. Gue bakalan terkekang lagi kalau sampai ketahuan. Bakalan ada orang-orang suruhan bokap, buat jagain gue, dua puluh empat jam non stop."
"Tapi nyatanya sekarang nggak ada bodyguard yang jagain lu."
"Ada kesepakatan dengan bokap. Gue minta kebebasan tanpa pengawalan buat hadiah ulang tahun. Bokap setuju tapi ada syaratnya. Ada probation selama dua bulan."
"Syarat? Probation?" tanya Prita dengan heran.
Nadia mengangguk. "Jika selama dua bulan itu tidak ada sesuatu hal yang mengganggu keselamatan gue, maka bokap setuju untuk memberi kebebasan, no bodyguard."
Prita memandang Nadia dengan kagum. Mandiri sedari dini karena dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh. Sang mama meninggal disaat melahirkannya sementara papanya yang seorang Jendral bintang empat di kepolisian juga hampir tidak memiliki waktu untuknya. Nadia selalu dalam kesepian.
Sebagai anak semata wayang seorang Kapolri, Nadia mendapatkan banyak kemewahan dan pengawalan tetapi miskin perhatian dan kasih sayang.
"Kenapa nggak tanya ke polisi yang tolongin Lu itu? Bukanya mereka saling kenal?"
Nadia mendesah, wajahnya semakin muram. "Gue terikat kesepakatan sama polisi itu."
"Kesepakatan lagi?!" seru Prita dengan mata terbelalak. "Lu anak Jendral apa anak politikus sih? Hidup Lu penuh dengan kesepakatan, heran gue!"
"Polisi itu setuju tidak akan melaporkan kejadian penculikanku ke bokap dan sebagai gantinya, gue tidak boleh bertanya apapun soal pahlawan gue itu. Nyebelin 'kan! Sial ... sial ... sial!" teriak Nadia sambil menghentak -hentakkan kakinya ke lantai, dengan kedua tangan terkepal diatas pahanya.
"Lu kenapa, Nad. Malu tahu teriak-teriak di sini. Tuh banyak cowok ganteng ya ngeliatin aneh ke kita, gara-gara Lu!" ucap Lulu yang tiba-tiba nongol dihadapan kedua sahabatnya.
"Bodo amat! Eh ... kok Lu balik sih? Bukannya ada kelas?" sahut Nadia keheranan.
"Ck. Gue males sama dosennya. Cerewet bin nyebelin."
"Halah ... lagak Lu! Bilang aja kalau nggak bisa pisah dari kita. Lu 'kan nggak bisa hidup, tanpa gue dan Nadia! Pakai sok-sok'an ninggal padahal kepikiran 'kan?" cibir Prita sambil terkekeh.
"Berisik Lu pada. Geser Prit, gue mau duduk!" Prita menggeser tubuhnya dan segera diisi oleh tubuh Lulu yang seksi.
"Karena kita sudah bolos jam Mr. Smith. Maka gue bakal temeni Lu disini untuk dua jam ke depan. Habis itu Lu gantian temeni Gue ama Prita di kelasnya Pak Johan. Jangan menolak, nggak boleh protes atau kita bubaran!"
Mata Nadia membulat dengan mulut yang terbuka dan menutup. Gadis manis itu tak mampu membalas, tak bisa berkutik lagi, bila berhadapan dengan Lulu yang dalam mode menjengkelkan.
Tanpa disadari oleh tiga sahabat itu, seseorang yang ada di balik tembok. Mendengar percakapan mereka dengan jelas. Seorang lelaki dengan rambut terikat rapi terdengar mendesah pelan, sebelum meninggalkan tempat tersebut dengan langkah perlahan.