Mayat wanita dengan luka di sekujur tubuhnya itu terpuruk di sudut gelap dengan bersimbah darah. Cahaya bulan penuh yang bersinar menerobos di sela kisi-kisi kayu menyoroti kulit membiru berkimono tak beraturan.
Seorang bertubuh jakung mengeluarkan tawa mengerikan. Walau tak dapat melihat wajahnya, pria bertopeng satunya bisa merasakan tawa kepuasan dari rekannya. Yang satu memakai topeng Oni dan yang satu topeng Kitsune.
Mereka adalah jagal yang senang membantai wanita.
"Semua wanita itu sampah!" desisnya.
"Murahan! Kecuali ibuku," pria satunya menanggapi.
"Kebalikan dariku, dia adalah wanita paling rendah yang pernah aku kenal!"
Lalu keduanya membelakangi mayat, dalam posisi berdiri. Mengarahkan wajah ke sinar rembulan. Kemudian melepas topeng dan mencampakkannya ke masing-masing sisi tubuh wanita yang tergeletak kaku tak bernyawa.
Seperti biasa, mereka meninggalkan tempat itu tanpa jejak yang berarti. Hanya dua topeng yang mengisyaratkan kalau keduanya adalah orang yang suka menantang.
Hanya orang gila yang meminta pejabat kepolisian untuk mengejar. Mereka suka tantangan, tapi juga terlalu sombong untuk tak dapat ditemukan.
Di lain tempat, seorang detektif negri kepolisian Tokyo membuka berkas kasus pembunuhan yang terjadi sepuluh tahun silam. Yang kini telah ditutup karena tidak membuahkan hasil. Negara sang korban juga tidak menuntut, karena menurut kepala negaranya, korban sudah sah menjadi warga negara Jepang. Keluarga saja ia tak punya.
Ia memandang sendu foto korban yang terbunuh tersebut. Seorang wanita berambut panjang dikepang. Mengenakan kimono berwarna merah, senada dengan bibirnya. Matanya yang indah dan besar menyihir pandangan sang detektif.
Maya Devasena. Itu yang tertulis. Seorang warga negara Indonesia yang menetap di Jepang. Mati mengenaskan dengan tertusuk katana--pedang khas Samurai--tepat di jantungnya.
"Jika kau masih hidup, usiamu sudah 42. Mungkin seharusnya kita sudah punya 3 atau 4 anak. Tapi kini, malah aku yang menikahi anakmu."
Laki-laki itu tertawa, antara geli dan miris.
"Setiap melihatnya, aku teringat dirimu. Aku tidak bisa menjadi suaminya, tapi aku menikahinya. Demi dirimu, Maya."
Tak lama ia bernostalgia, seseorang mengetuk pintu ruangannya. Malam-malam begini yang berani mengangungkan hanya satu wanita. Nakagawa Naomi. Kekasihnya.
"Masuk saja, Naomi." Laki-laki itu menyimpan berkas tadi di bawah meja, tepat di laci. Mengusap sudut mata yang hampir dibasahi oleh air matanya sendiri.
Pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita cantik berambut pendek dengan pakaian yang serba kekurangan.
"Halo, Shinsuke-kun."
Laki-laki bernama Shinsuke itu menggumam untuk menjawab sang kekasih.
"Ini musim dingin, tapi kau malah memakai pakaian musim panas."
"Pakaian ini mendukung untuk melakukan kegiatan panas, Sayang."
Shinsuke menyeringai. "Maaf, Sayang. Aku sedang tidak bergairah."
Naomi tertawa mendengar penuturan Shinsuke. Ia melirik ke arah pintu. Ia bertekad untuk mendapatkan kehangatan Shinsuke malam ini.
"Bukankah dia masih di rumah orangtuamu? Tak ada siapa pun di apartementmu, Sayang." Naomi berjalan mendekati Shinsuke yang tengah duduk di meja kerjanya.
"Lagi pula ... bukankah itu tidak ada pengaruhnya?"
"Bukan itu masalahnya,"
"Lalu?"
Belum sempat Shinsuke menjawab, tangan Naomi merangkul lehernya. Sedikit memijat untuk sekadar membuat santai.
Lalu selanjutnya, entah siapa yang memulai, dua manusia itu saling meraba tubuh, menanggalkan pakaian mereka untuk mereguk kenikmatan semu. Disaksikan oleh orang yang berstatus resmi sebagi istri Shinsuke. Sayangnya, Shinsuke tidak menyadari kalau gadis yang dinikahinya dua tahun lalu sedang berdiri tak jauh dari situ.
Berbeda dengan Shinsuke, Naomi jelas tahu bahwa adegan panasnya bersama Shinsuke tengah disaksikan oleh perempuan muda itu.
Sementara di belahan dunia lainnya, seorang komisaris polisi menggebrak mejanya. Kasus kematian misterius yang menimpa artis-artis Korea semakin marak saja.
"Inspektur Lee, hubungi duta besar Jepang dan minta mereka membantu kita mengusut kasus pelik ini!"
Demikian titahnya pada salah satu anggota kepolisian di bawah divisi yang ia pimpin.
"Baik, Pak Komisaris!"