Gayatri tiba-tiba teringat dan pembicaraannya dengan Ganendra sebelum turun ke ruang makan.
"Jangan cari perhatian dan mengadu sama Eyang Noto. Awas kalau kamu macam-macam! Jangan harap aku akan mengampunimu," ancam Ganendra.
"Siapa yang mau cari perhatian? Memangnya aku ini ada tampang jadi tukang ngadu?" kilah Gayatri tak kalah ketus.
"Ya ... kali aja kamu mengadu pada Eyang Noto. Awas aja kalau kamu berani melakukannya."
"Tenang saja aku tak akan melakukannya. Asal kamu tahu aja, aku akan bilang kamu adalah suami yang baik, hingga saking baiknya di tubuhku banyak lebamnya."
"Apa maksudmu? Jangan menyindirku!"
Ganendra meninggikan suaranya. Hatinya meradang, merasa tersindir dan tertantang sekaligus dengan perkataan Gayatri yang seakan mempermainkannya.
'Apa Gadis Jelek ini akan mengadu pada Eyang Noto?' batinnya gusar.
"Ya, kalau misalnya kamu merasa tersindir juga syukurlah. Apa kamu mau aku kan ceritakan pada Eyang Noto apa yang terjadi? Pasti kamu akan dihajar sama Eyang nanti," kata Gayatri dengan berani
"Jangan coba-coba kamu lakukan atau--"
"Atau apa? Kenapa kamu nggak meneruskan perkataanmu?" tantang Gayatri, sudah merasa tak takut lagi dengan Ganendra.
Gayatri sudah merasa lelah selama ini terus saja mengalah dan menghindari Ganendra. Apalagi setelah laki-laki itu menyiksanya di malam pertama mereka. Dia bertekad tak akan membiarkan sang suami berbuat semena-mena lagi padanya. Untuk itulah dia membuang jauh-jauh rasa takut di hatinya.
"Sudah, jangan cerewet! Cepatlah turun, Eyang Noto sudah menunggu kita," kata Ganendra karena merasa kalah.
Gayatri hanya menggidikkan bahu lalu membuka pintu kamar. Dia berjalan lebih dulu menuju ruang makan. Noto telah duduk di sana menunggu cucu dan cucu mantunya datang. Melihat keduanya berjalan mendekat, Noto langsung tersenyum.
"Ayo sini pengantin baru! Duduklah dan makan yang banyak biar kalian punya tenaga yang besar," katanya sambil tersenyum.
Wajah Gayatri dan juga Ganendra memerah mendengar ledekan Noto. Gayatri berpikir bahwa Noto pasti akan syok jika mengetahui keadaan yang sebenarnya. Dia merasa tak tega harus berpura-pura bahagia dan membohongi laki-laki sepuh itu. Namun, dia belum menemukan cara untuk berbicara jujur padanya.
Keduanya duduk tepat di hadapan Noto. Bersikap layaknya sepasang pengantin baru seperti yang lainnya. Namun, tetap saja mata tua Noto tak dapat dibohongi. Dia bisa melihat gurat luka di wajah cucu mantunya itu. Untuk itulah dia ingin memastikan dugaannya.
"Apa Ganendra memperlakukan kamu dengan baik?"
Tiba-tiba saja Noto mempertanyakan hal itu. Gayatri yang sedang mengisi nasi di piring suaminya langsung menghentikan kegiatannya dan menatap Noto. Terus terang, dia tidak menyangka jika Noto akan bertanya seperti itu.
Gayatri baru saja hendak menjawab, tetapi Ganendra sudah terlebih dahulu menyahuti. "Apa Eyang curiga kepadaku?"
Gayatri jadi serba salah. Apakah dia harus bersandiwara di depan Eyang Noto untuk memperlihatkan jika mereka berdua baik-baik saja? Ataukah memberitahukan pada Eyang Noto perlakuan Ganendra padanya? Dia seperti dihadapkan pada buah simalakama.
"Eyang hanya memastikan Gayatri baik-baik saja. Nanti Dahayu memarahiku kalau cucu kesayangannya kenapa-napa," ucap Noto lalu tertawa.
Gayatri tersenyum mendengar perkataan Eyang Noto itu. Hatinya jadi menghangat karena menyadari perhatian yang diberikan oleh kakak Dahayu itu. Dia merasa mendapatkan dukungan sekarang.
Sementara Ganendra hanya melengos karena tidak suka mendengar perkataan Eyang Noto. Dia merasa cemburu pada Gayatri. Selama ini, istrinya itu telah merebut kasih sayang dari Eyang Putri alias Dahayu.
Dahayu sudah menganggap Gayatri sebagai cucu kesayangannya. Sekarang gadis itu hendak merebut kasih sayang yang selama ini Noto curahkan padanya. Sungguh, Ganendra merasa kesal sekali pada gadis itu.
Gayatri bisa melihat raut wajah suaminya berubah menjadi masam. Dalam hati dia tertawa, karena tahu jika Ganendra tidak suka dia terlalu dekat dengan Eyang Noto.
'Sepertinya dia cemburu. Baiklah, akan kubuat dia semakin cemburu. Rasanya senang sekali bisa menjahilinya,' batin Gayatri senang.
"Terima kasih, Eyang. Sekarang Eyang Noto bisa bilang sama Eyang Putri jika Gayatri baik-baik saja. Pasti Eyang Putri akan merasa senang melihat Gayatri tak kekurangan kasih sayang di sini. Bahkan di sini Gayatri dilimpahi kasih sayang dari dua orang pria sekaligus."
Ucapan Gayatri membuat Ganendra tersedak. Namun, dengan cepat dia langsung meminum air putih di depannya karena tak ingin jadi pusat perhatian. Dia merasa geram. Ucapan Gayatri seolah-olah menyindirnya.
"Makannya jangan buru-buru, Le. Pelan-pelan saja," tegur Eyang Noto.
Gayatri mengulas senyum, dalam hatu dia tertawa puas melihat reaksi Ganendra. Bisa dipastikan jika laki-laki itu merasa tak nyaman dengan ucapannya yang memang bernada sindiran untuknya.
'Baru kaya gitu aja kamu udah terpancing, Mas,' batin Gayatri.
'Sialan! Gadis ini sepertinya ingin bermain-main denganku. Dia sengaja mencari perhatian Eyang. Lihat saja, aku tak akan tinggal diam,' tekad Ganendra dalam hatinya.
Ganendra segera menghabiskan makanannya karena tak ingin berlama-lama berada di sana. Dia tidak ingin Gayatri semakin mempermalukannya. Dia juga tak mau jika Gayatri kembali mencari muka di hadapan Eyang Noto.
***
Malam mulai meninggi, Ganendra mengusap kasar wajahnya. Dia begitu geram melihat Gayatri tidur begitu pulasnya di ranjang, seolah tanpa dosa. Sementara dirinya bingung hendak tidur di mana. Dia merasa malas jika harus tidur seranjang dengan perempuan yang dia benci.
Ganendra merutuk dalam hati, merasa menyesal karena telah mengabulkan permintaan Eyang Noto. Laki-laki sepuh itu mengajaknya bermain catur. Mereka berdua memang biasa melakukannya hingga larut malam. Namun, itu hanya di waktu akhir pekan atau hari libur saja.
Ganendra sempat merasa jengkel karena Eyang Noto seperti tak menyadari jika dia sudah beristri sekarang. Tak seharusnya beliau mengajak begadang sang cucu sementara istrinya menunggu di kamar, begitu pikir Ganendra. Dia tidak tahu jika Eyang Noto memang sedang mengujinya.
Malam itu pun berlalu tanpa adegan romantis layaknya sepasang pengantin baru. Kamar pengantin terasa panas, bukan karena aktivitas di dalamnya tetapi karena amarah terpendam Ganendra. Laki-laki tampan tetapi dingin itu berkali-kali merutuk kesal, karena merasa tidak nyaman tidur di sofa.
Sofa itu terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya yang begitu tinggi. Terpaksa kakinya yang begitu panjang itu harus menjuntai, tak tertampung oleh panjang sofa. Benar-benar posisi tidur yang tidak nyaman untuknya.
Ganendra menelan ludahnya saat tanpa sengaja gaun tidur Gayatri tersingkap. Memperlihatkan bagian tubuhnya yang membuat jakun Ganendra naik-turun. Paha nan putih dan mulus itu begitu menggoda, seakan-akan memanggilnya untuk segera menjamah.
"Sial! Apa dia hendak menggodaku?" umpatnya kesal.
Ganendra segera mematikan lampu utama, menggantinya dengan lampu tidur. Namun, dalam keremangan cahaya, tetap saja bagian tubuh Gayatri itu terpampang dengan jelas.
Merasa tak tahan lagi, Ganendra segera terbangun dan membuka ke.ari pakaian. Dia menelisik tumpukan pakaian milik Gayatri. Hanya ada dua buah gamis dan sebuah baju yang terasa begitu lembut di tangannya. Tanpa pikir panjang lagi, dia segera menarik baju itu.
Dalam pikirannya pastilah itu piyama tidur yang agak sopan. Namun, betapa terkejutnya dia waktu melihat dengan saksama bentuk baju itu.
"Apa ini? Baju kok kurang bahan kaya gini?" gumamnya saking herannya.
Ganendra semakin kesal, karena ternyata baju itu tak sesuai ekspektasinya. Yang ada, jika Gayatri mengenakannya, tubuh Gayatri akan lebih banyak yang terekspose lagi.
"Sial! Siapa sebenarnya yang menyiapkan baju ini? Kurang ajar!" maki Ganendra kesal.
Jika saja yang ada di depan matanya adalah Anandita, kekasih yang hendak dinikahinya, tentu saja dia akan merasa senang. Namun, yang berbaring di ranjang adalah Gayatri, istri yang benar-benar tak diharapkannya.
"Sial! Ini pasti kerjaan Eyang Putri!" Ganendra kembali mengumpat saking kesalnya.