Chereads / Predestinasi Cinta Gayatri / Chapter 16 - Perjanjian vs Permintaan Eyang Noto

Chapter 16 - Perjanjian vs Permintaan Eyang Noto

"Gayatri ndak bohong, Eyang. Ganendra memperlakukanku dengan baik," sangkal gadis itu, masih berusaha untuk menutupi kesalahan Ganendra.

"Tapi Eyang tadi sempat mendengar saat memanggil kalian untuk makan. Dia mengancammu, bukan?" tanya Noto pada Gayatri

"Sepertinya Eyang salah paham. Dia tidak mengancam Gayatri. Justru dia mengajak Gayatri turun untuk makan siang bersama Eyang."

Lagi-lagi Gayatri membuat alasan untuk menutupi kelakuan suaminya. Dia tidak mau Noto mengetahui jika mereka berdua tidak akur dan hanya berpura-pura bahagia di depan laki-laki sepuh itu.

"Eyang masih ragu apakah Ganendra benar-benar bersikap baik kepadamu. Eyang tahu cucu Eyang itu laki-laki yang keras hati dan tidak mudah jatuh cinta. Eyang bisa melihat dia begitu mencintai Anandita melebihi apa pun. Jadi mungkin baginya pernikahan denganmu ini adalah sebuah keterpaksaan saja. Eyang bisa maklum kalau dia belum bisa menerimamu sepenuhnya sebagai istrinya."

Noto mengatakan itu sambil menatap prihatin pada Gayatri. Sementara Gayatri menundukkan kepala, mendengarkan setiap perkataan Noto dengan serius.

"Eyang mohon padamu, bersabarlah dalam menghadapinya. Ganendra sebenarnya laki-laki yang baik. Hanya saja Eyang pikir saat ini hatinya masih terluka karena kelakuan calon istrinya itu," imbuh Noto.

Gayatri masih terdiam, menyimak perkataan Noto lalu memikirkannya. Memang benar siapa pun tahu Ganendra sedang terluka. Ditinggalkan seseorang yang sangat dicintainya di hari pernikahan pasti menimbulkan sebuah rasa sakit di hatinya. Bahkan mungkin trauma itu akan membekas sepanjang hidupnya.

Bisa saja Ganendra jadi sangat membenci perempuan setelah itu. Lalu tak ada lagi kepercayaannya pada mahluk Tuhan yang bernama perempuan. Namun, Gayatri tak bisa menolak permintaan Dahayu dan Noto untuk menikah dengan Ganendra waktu itu.

Dan dia berharap suatu saat Ganendra akan bisa menerimanya sebagai seorang istri. Bukan hanya sebagai istri di atas kertas yang tak ada artinya. Namun sebagai istri yang dia cintai selama hidupnya.

Walaupun tak pernah terpikirkan oleh Gayatri bahwa dia akan menikah dengan Gerindra. Namun, kali ini Gayatri bertekad akan mempertahankan pernikahan mereka. Tak peduli dengan perjanjian konyol yang Ganendra buat.

Buat Gayatri, menikah itu cukup sekali seumur hidupnya. Tekad itu semakin bulat mengingat kebaikan Dahayu dan Noto padanya selama ini. Rasanya, dia tak akan sanggup membalas kebaikan mereka kecuali dengan mengabdikan diri menjadi istri Ganendra.

"Kalau suatu saat Ganendra memperlakukanmu dengan tidak baik, bicaralah sama Eyang. Jangan kamu diam saja. Eyang akan menegurnya agar dia tidak bisa berbuat macam-macam lagi padamu. Mengerti?"

"Iya, Eyang. Gayatri mengerti."

"Nduk, Eyang tahu, kamu juga mungkin berat menerima ini semua. Mungkin kamu sudah mempunyai laki-laki yang menjadi pilihan hatimu tapi kamu terpaksa harus menikah dengan Ganendra. Bukankah begitu?"

"Nggak ada, Eyang. Gayatri nggak punya kekasih, kok."

"Baguslah kalau begitu. Setidaknya Eyang yakin jika hatimu tidak akan terbagi untuk laki-laki lain selain suamimu itu."

Gayatri tersenyum. Dalam hati dia bergumam, dia memang tidak mempunyai kekasih, tetapi sebelum pernikahan itu, dia sedang menjalani proses taaruf. Dan terpaksa dia membatalkan proses itu.

"Maukah kamu berjanji pada Eyang satu hal?"

"Berjanji apa, Eyang?"

"Berjanjilah pada Eyang, bahwa kamu akan selalu berada di sisi Ganendra apa pun yang terjadi. Jika suatu saat Eyang meninggalkan kalian, Eyang harap kalian tetap bersama-sama. Jangan sampai ada perpisahan. Eyang percaya kamu bisa, Nduk. Eyang yakin kamu bisa mendampingi Ganendra dan mengubahnya menjadi lebih baik lagi."

Gayatri terdiam. Dia benar-benar berada dalam dilema. Sudah seperti makan buah simalakama. Di satu sisi dia teringat akan perjanjian yang pernah dia tanda tangani bersama Ganendra. Perjanjian yang entah sampai berapa lama akan berlaku. Mungkin sesuai dengan yang tertulis. Namun, bisa juga kurang atau lebih dari waktu itu.

Di satu sisi lainnya, Eyang Noto memintanya untuk berjanji. Agar selalu ada di sisi Ganendra dan jangan sampai berpisah dengan cucunya itu. Gadis cantik berkerudung biru itu pun menjadi bingung.

"Apakah kamu mau memenuhi permintaan Eyang ini? "

Sekali lagi Noto menanyakan pada Gayatri. Seolah dia mendesak Gayatri agar menuruti keinginannya. Tentu saja istri Ganendra itu menjadi serba salah.

"Insya Allah, Eyang. Gayatri akan selalu berusaha untuk selalu berada di sisi Ganendra semampu Gayatri."

Akhirnya gadis itu pun memutuskan. Dia sudah tak peduli lagi dengan perjanjian itu. Yang dia pedulikan hanya Noto dan juga Dahayu.

"Eyang senang sekali mendengarnya, Nduk," ucap Noto sambil tersenyum. Kakek dari Ganendra itu merasa lega karena cucunya sudah berada di tangan perempuan yang menurutnya sangat tepat.

Noto pun mengganti topik perbincangan. Laki-laki sepuh itu malah menceritakan masa kecil Ganendra yang sedikit banyak juga Gayatri mengetahuinya. Selisih usia mereka yang hanya lima tahun membuat mereka tentu saja mengetahui masa kecil masing-masing.

Gayatri juga masih ingat betapa laki-laki yang bernama Ganendra itu dari kecil seperti membencinya. Dia sendiri tak tahu kenapa, tetapi dia hanya bisa mengira-ngira mungkin karena rasa cemburu Ganendra terhadap Gayatri.

"Kalian sedang membicarakan apa? Kelihatannya seru sekali."

Tiba-tiba saja Ganendra sudah berdiri di ujung tangga, rupanya baru turun dari kamar. Sapaannya otomatis menginterupsi perbincangan kedua orang itu.

"Duduk sini, Le! Gabung sama kami," ajak Noto pada cucu semata wayangnya itu.

Ganendra pun menghampiri mereka. Dia terlihat curiga dengan Gayatri, takut jika istrinya itu membuka mulut dan mengadukan kelakuannya kepada Noto. Laki-laki itu menatap Gayatri dengan tatapan intimidasi. Seakan dia mengancam gadis itu agar tidak berbicara macam-macam di depan Eyang Noto.

***

"Pasti kamu ngadu yang enggak-enggak sama Eyang Noto," tuduh Ganendra waktu mereka sudah kembali lagi ke dalam kamar usai berbincang dengan Noto.

"Nggak, kok. Aku nggak bilang apa-apa sama Eyang Noto. Eyang cuma ceritain tentang masa kecil kamu. Terus Eyang memintaku untuk selalu ada di sisimu kalau suatu saat Eyang meninggal."

"Kamu nggak usah mengada-ngada, ya! Lagi pula kamu jangan menyumpahi Eyang akan cepat-cepat meninggal."

"Aku nggak mengada-ngada. Eyang Noto sendiri yang ngomong kayak gitu. Aku juga bukan mau nyumpahin Eyang cepat-cepat meninggal. Tanpa kusumpahi pun, bukankah semua orang memang akan meninggal? Hanya saja kita tak tahu kapan kita akan meninggal. Bisa saja kamu yang lebih dulu atau aku yang lebih dulu daripada Eyang Noto," tukas Gayatri, menampik tuduhan Ganendra.

Ganendra langsung terdiam dan mencerna ucapan Gayatri. Gadis itu memang benar. Semua orang di dunia ini pasti akan meninggal, tanpa tahu kapan. Dia sendiri juga tidak tahu berapa lama jatah umur yang dia punya hingga ajal menjemputnya.

Namun, rasa gengsi kembali menguasainya. Walaupun dalam hatinya membenarkan ucapan Gayatri, tetapi dia enggan mengakui. Dia tetap saja ingin menghina dan menyakiti istrinya itu.

"Sudah, nggak usah sok berkhotbah di hadapanku. Awas aja kalau kamu berani cerita macam-macam sama Eyang!" ancam Ganendra lalu masuk ke kamar mandi. Dia membanting pintunya hingga berbunyi bedebum dan mengagetkan Gayatri.

"Dasar laki-laki tak punya hati!" rutuk Gayatri kesal.

Gayatri sudah pasrah. Dia tak ingin lagi terbebani oleh perjanjian itu. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana dia bisa tetap bertahan di sisi Ganendra sesuai permintaan Noto.