Ganendra menggeser duduknya, hingga posisi mereka semakin dekat. Mereka benar-benar berhadapan dan hanya berjarak kurang dari setengah meter. Gayatri berdebar-debar, menunggu kata demi kata yang akan diucapkan oleh suaminya itu.
"Kamu kan tahu, kita menikah karena terpaksa. Jangan harap aku bisa memberikan hatiku kepadamu. Aku tahu, kita tak bisa berpisah begitu saja. Demi eyang kita. Jadi, aku ingin menawarkan sebuah kesepakatan padamu. Nanti kamu baca dan tanda tangani segera."
Ganendra segera beranjak dan meraih tas kerjanya yang ada di nakas. Dia membuka tas berwarna hitam itu lalu mengambil sebuah map berwarna cokelat dari sana.
"Tunggu, jangan ke mana-mana. Aku mau print dulu," katanya lalu meninggalkan kamar menuju ruang kerja.
Ruangan itu sering dipakai oleh Noto, eyangnya, untuk memantau perkembangan bisnis batik miliknya. Setelah sang eyang pensiun bisnis diserahkan pada Panji Prawiro--bapak Ganendra.
Panji sendiri sebenarnya sudah mempunyai bisnis yang terpisah dari Noto. Namun, mau tak mau dia tetap menghandle bisnis keluarganya tersebut karena dia satu-satunya putra Noto. Semula Ganendra yang dia tunjuk untuk meneruskan bisnis itu tetapi putra semata wayangnya itu malah memilih untuk bekerja di sebuah bank swasta.
Ganendra pernah menghandle bisnis keluarganya itu. Ruang kerja Noto pun berubah fungsi menjadi ruang kerjanya. Baru beberapa bulan dia terjun ke bisnis batik, dia merasa tidak cocok dan bosan. Batik dan seni bukan passionnya.
Cucu satu-satunya Noto itu pun memutuskan untuk melepasnya dan kembali menyerahkan wewenang pada Panji. Sementara dia memenuhi panggilan kerja dari sebuah bank swasta.
Ganendra segera mencetak apa yang sudah ditulisnya di ponsel sewaktu menunggu Gayatri di mobil. Saat rasa bosan menyerangnya, dia membuat kesepakatan untuk mereka berdua. Tujuannya sudah jelas, untuk mengikat perempuan yang telah menjadi istrinya itu.
Laki-laki bertubuh jangkung itu menyadari, mereka menikah tanpa dasar cinta. Keduanya hanya terpaksa, demi menyenangkan Noto dan Dahayu. Ganendra tidak mau Gayatri suatu saat meninggalkan dirinya. Meminta cerai dengan alasan tidak cocok atau mungkin menikah dengan laki-laki yang dia cintai.
Ganendra bisa saja langsung menceraikan Gayatri beberapa hari setelah mereka menikah. Namun, dia tak ingin mempermalukan keluarga. Untuk itulah dia membuat surat perjanjian itu, agar Gayatri tidak ada secepatnya meminta cerai darinya.
Dalam beberapa menit, surat itu sudah Ganendra print. Dia pun bergegas kembali ke kamarnya.
"Baca dan tanda tangani!" tegasnya sambil menyerahkan map itu pada Gayatri.
Gayatri menerima map berwarna cokelat tersebut lalu membukanya perlahan. Matanya yang indah itu mengerjap, membaca kesepakatan yang dimaksud oleh Ganendra. Gadis bertubuh mungil itu membaca tiap poinnya dengan teliti karena takut laki-laki yang berstatus suaminya itu akan berbuat curang padanya
Dalam berkas tersebut disebutkan bahwa status mereka adalah menikah secara sah menurut hukum agama dan hukum negara. Namun, pernikahan itu hanyalah di atas kertas. Sekadar formalitas untuk menyelamatkan harga diri keluarga. Ganendra tidak mau ada kontak fisik di antara mereka. Setelah satu tahun pernikahan mereka, jika salah satu menghendaki perceraian maka perceraian itu pun akan diurus sebagai mana mestinya.
Gayatri berpikir sejenak. Sebenarnya, dia mau menikah dengan Ganendra karena membalas ingin membalas budi pada Eyang Putri dan Eyang Noto. Dia sadar jika pernikahan itu terjadi tanpa ada cinta di antara mereka. Maka dia pun tidak keberatan jika suatu saat mereka berpisah dan melanjutkan hidup mereka masing-masing.
Sebelum menandatangani tiba-tiba Gayatri teringat akan malam pertama mereka. Tentu saja dia tak akan lupa dengan apa yang dilakukan oleh Gerindra padanya. Kejadian itu membuat Gayatri mengalami trauma, tetapi dengan cepat gadis itu membuang jauh-jauh rasa traumanya.
Bahkan gadis itu sekarang bisa bersikap seenaknya, terkadang melawan pada suaminya. Gadis yang semula penurut dan tak pernah membantah itu telah terbuka hatinya. Dia menjadi gadis pemberani karena tak mau diinjak-injak oleh siapa pun juga, termasuk suaminya.
"Di sini tertulis tidak ada kontak fisik. Tapi kamu sudah memperkosaku di malam pertama itu. Bagaimana jika aku mengandung anakmu?" tanya Gayatri sambil menunjuk point yang dia maksud.
"Itu di luar perjanjian. Tapi aku udah memikirkannya. Jika memang kamu mengandung, setelah tes DNA dan dinyatakan itu anakku, maka aku akan mengakuinya. Tapi jika tidak aku akan menceraikanmu. Bahkan sebelum anak itu lahir," kata Ganendra tanpa beban.
"Apa katamu? Memang kamu pikir aku ini perempuan macam apa? Kamu tahu sendiri, kamu yang pertama kali melakukannya. Merampas paksa mahkotaku. Masih juga kamu seolah-olah menuduhku sudah tidak suci atau berbuat seperti itu pada laki-laki yang lain. Heran aku. Entah terbuat dari apa isi otakmu itu," sahut Gayatri penuh emosi.
Hilang sudah rasa respek di hatinya untuk Ganendra. Selama ini dia masih sedikit menghormatinya dengan tidak berbicara kasar. Namun, hari itu, seakan semua kosa kata kasar hendak dia pakai untuk mengungkapkan kekesalannya.
"Kalau suatu saat aku mengandung pasti itu anakmu. Bukan anak laki-laki yang lain!" imbuh Gayatri dengan kesal.
"Ya ... siapa tahu? Setelah melakukan itu denganku, kamu melakukan dengan laki-laki yang lain. Penampilanmu memang alim tapi nggak tahu kalau di luar sana," balas Ganendra sambil tersenyum miring. Mengejeknya.
"Astaghfirullahaladzim. Bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu. Apa serendah itu nilaiku di matamu?"
Gayatri menggelengkan kepalanya, tidak percaya jika Ganendra sampai berpikiran seperti itu. Sungguh terlalu!
Ganendra tidak menjawab, hanya terdiam. Dalam hatinya dia menyesal kenapa mempunyai mulut yang lancang. Dia merasa Gayatri telah termakan omongannya. Pasti gadis itu merasa sakit hati, begitu pikirnya. Namun, bukan Ganendra namanya jika dia harus meminta maaf. Laki-laki itu terlalu gengsi untuk mengucapkan kata yang menurutnya sangat sakral itu.
Gayatri meneruskan membaca perjanjian itu. Lalu dia sampai pada poin bahwa mereka harus berpura-pura bersikap mesra jika dihadapan Eyang Putri atau pun Eyang Noto. Pun di hadapan orang tua Ganendra.
Mereka tidak boleh bertengkar atau memperlihatkan ketidakharmonisan mereka di hadapan kedua Eyang mereka itu. Poin yang Gayatri langsung menyetujuinya. Jika mereka sampai terlihat cekcok atau pun tidak harmonis maka pasti kedua orang eyangnya akan curiga. Pasti mereka akan menanyakan apa yang terjadi dengan pernikahan keduanya.
Gayatri ingin membuat kedua eyangnya bahagia. Dia tak ingin mereka menjadi berpikir atau bersedih kita mengetahui kondisi pernikahan kedua cucunya itu. Gayatri dan Ganendra harus berusaha membuat pernikahan sandiwara itu agar terlihat seperti pernikahan yang baik-baik saja.
Setelah selesai membaca semua point-pointnya, akhirnya Gayatri menanda-tangani berkas tersebut. Ganendra yang melihat hal itu hanya tersenyum, tetapi dalam hatinya dia merasa luar biasa lega.
"Nih, sudah kutanda-tangani. Apa ada lagi?" tantangnya.
"Apa kamu terobsesi dengan surat perjanjian?" sarkas Ganendra.
Sesungguhnya Ganendra tak ingin mengekang Gayatri dengan perjanjian itu. Namun, egonya tak dapat lagi dia bendung. Entah mengapa, dia merasa tak ingin kehilangan gadis cantik yang telah menjadi istrinya itu. Hanya dengan perjanjian itulah dia bisa mempertahankan keberadaan Gayatri di sampingnya.
Dia sendiri tak mengerti, mengapa harus merasa takut kehilangan Gayatri. Terkadang dia berpikir jika dia telah jatuh cinta pada sepupunya itu. Namun, tentu saja dengan cepat dia menyangkal perasaannya itu.
'Tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta pada Gayatri. Tidak boleh!' batinnya berontak.